KHAZANAH SEJARAH: PROBLEMATIKA BUDAYA LITERASI

by Ahmad M. Sewang 

Setiap akhir tahun DPP IMMIM melaksanakan sebuah perhelatan antara pengurus IMMIM dan para dai serta pengurus masjid se kota Makassar. Pertemuan yang dilaksanakan Sabtu, 4 Desemer 2021 lalu, saya istilahkan sunnatan hasanah, tradisi positif, karena juga digunakan untuk muhasabah. Pertemuan dilaksanakan dengan tetap mengikuti prokes, baik secara on line dan of line yang menurut laporan diikuti kurang lebih 200 peserta. Walau sebagian diikuti lewat webinar, namun tidak mengurangi antusiasme para peserta.

Sambil membagikan jadwal khatib tahun 2022, juga melakukan evaluasi kinerja, pengurus DPP IMMIM, masjid, dan dai dengan pembicara, 
1. Saya sendiri dengan tema, Problematika Dai dan Materinya
2. Ir. H.M. Ridwan Abdullah, M. Sc., tema, Evaluasi Kinerja Organisasi.
3. Dr. H. Nurhidayat M. Said, M.A., tema, Peningkatan Kualitas Masjid.
Pada pertemuan tersebut dimoderatori oleh Hasan Pinang, S.Ag. M. Fil.i.
Sedang yang memandu pertemuan on line adalah Dr. H.M. Ishaq Shamad, M.A. dan  Dr. Hj. Nurjannah Abna. M. Pd.

Pertemuan itu telah memunculkan banyak problem. Saya sendiri mengemukakan bahwa dai masa kini ditutut memiliki kompetensi substantif dan metodologi. Kedua substansi ini telah pernah diposting, karena itu tidak perlu lagi mengulanginya kecuali pada penekanan tertentu pada kompetensi itu, yaitu seorang dai hendaknya tidak mengenal halte untuk meng-up date diri. Sebab salah satu yang harus melekat pada diri seorang dai adalah dia harus lebih menguasai trend perkembangan mutaakhir daripada rata-rata jamaahnya. Jika dalam kenyataan ada dai penguasaannya lebih rendah dari rata-rata jamaah, lebih baik ia berganti posisi, sang dai turun duduk bersilah di lantai sebagai jamaah biasa, sebaliknya jamaahlah yang naik mimbar sebagai khatib.

Untuk itu ada penekanan pada kompetensi yang perlu dimiliki seorang dai, yaitu:
Pertama, budaya literasi yang berhubungan dengan membaca, menulis, dan berpikir kritis. Hanya dengan kemampuan membaca seorang bisa menulis dengan baik serta berpikir kiritis. Budaya literasi perlu dipelihara dan menjadi materi utama dakwah yang wajib ditumbuhkembangkan di tengah masyarakat yang dimulai dari diri dai sendiri. Karena itu, seorang dai tidak mengenal tempat pemberhentian, ia terus menurus menyuarakan dan mencontohkannya dengan banyak membaca dan membaca. Semangat budaya literasi ditularkan kepada  generasi baru, sejak usia masih anak-anak. 

Dalam riset saya di Belanda selama setahun penuh. Suatu saat, saya naik trem dari Ibu kota Amsterdam ke Leiden di samping kiri saya seorang anak masih berumur sekitar enam tahun, sedang asyik duduk membaca sendirian. Saya dekati dan mencoba menggodanya dengan bertanya pada anak itu. Selesai bertanya, anak itu meletakkan bukunya. Kemudian menjawab pertanyaan saya. Setelah menjawab dia ambil kembali bukunya dan meneruskan bacaannya. Kemudian saya tanya lagi, lalu ia letakkan lagi bukunya dan menjawabnya. Demikian secara berulang saya tanya dan berulang pula meletakkan bukunya. 

Kisah ini sekedar gambaran bahwa sejak awal di negara yang sudah maju telah menanamkan budaya baca pada anak-anak mereka. Pertanyaannya, mereka menanamkan budaya baca, pada hal kita sendiri sebagai bangsa Indonesia dan mengklaim 87% muslim. Menurut kitab suci ayat pertama turun ke Nabi Muhammad saw adalah iqra' (membaca), tetapi budaya literasi umat masih sangat rendah. Sebagai bukti, saya akan menunjukkan sebuah hasil riset bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara yang diriset soal minat baca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Padahal, dari segi penilaian infrastuktur untuk mendukung budaya baca, peringkat Indonesia berada selevel negara-negara maju.
 
Kedua, penduduk Indonesia yang 87% muslim itu adalah pemiliki gadget urutan keempat dunia terbanyak. Lembaga riset digital marketing Emarketer memperkirakan pada 2018 jumlah pengguna aktif smartphone di Indonesia sudah lebih dari 100 juta orang. Dengan jumlah sebesar itu, Indonesia akan menjadi negara dengan pengguna aktif smartphone terbesar keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika.
 
Ironisnya, meski minat baca buku rendah, tapi data wearesocial per Januari 2017 mengungkap orang Indonesia bisa menatap layar gadget kurang lebih sembilan jam sehari. Tidak heran dalam hal kecerewetan di media sosial, orang Indonesia berada di urutan ke-4 dunia. Jakarta dianggap kota paling cerewet di dunia maya karena sepanjang hari, aktivitas kicauan dari akun Twitter yang berdomisili di ibu kota Indonesia ini paling padat melebihi Tokyo dan New York. Laporan ini berdasarkan hasil riset Semiocast, sebuah lembaga independen di Paris.
Sekali lagi, Indonesia mayoritas muslim dari seluruh populasi dan merekalah punya warisan wahyu Iqra', tetapi budaya bacanya masih sangat rendah, yaitu nomor dua terakhir setelah Bostwana, sebuah negara yang terkurung oleh daratan di Afrika. Sementara anak-anak di Belanda seperti yang saya saksikan sendiri, sejak kecil sudah ditanamkan budaya baca, padahal mereka bukanlah pemiliki warisan wahyu iqra'.

Natijah:
Semangat tulisan ini untuk memotivasi umat menjadi terdepan dalam mengembangkan budaya literasi yang berkaitan dengan membaca, menulis, dan berpikir kritis. Umat Islam patut bangga karena merekalah pemilik modal keimanan penerima wahyu pertama berupa ayat igra' (membaca).

Wasalam,
Makassar, 6 Desember 2021

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT SULAWESI SELATAN

SISTEM KEKERABATAN ORANG BUGIS, MAKASSAR, MANDAR DAN TORAJA

SEKILAS SEJARAH MASUKNYA KRISTEN DI ALOR