TERJEBAK DALAM JEJARING SENTUHAN-BISIKAN SETAN (CATATAN MELEPAS TAHUN LAMA MENYONGSONG TAHUN BARU)

Ahmad Mujahid

Sepintas, kalau seseorang mengamati fenomena keberagamaan, maka ia akan merasa kagum dan berkesimpulan bahwa ritual-ritual agama sungguh telah tegak setegak-tegaknya. Bagaimana tidak, salat-salat sunnah, mulai sunnah rawatif, sunnah dhuha, sunnah tahajjud dan bahkan sunnat isyrag, enggan ditinggalkan. Bahkan tidak sedikit, orang lebih memilih berdiri melaksanakan salat sunnah isyraq padahal sedang mengikut kajian agama atau tadabbur al-Quran yang hukumnya wajib. Dengan perkataan, sunnah terkadang telah didahulukan dari pada yang wajib. Demikian semangatnya menegakkan ritual-ritual agama. 

Pelaksanaan ibadah puasa pun demikian. Di mana fenomena menunjukkan bahwa tidak ada puasa-puasa sunnah yang terabaikan, mulai puasa sunnah senin-kamis, puasa hari-hari putih, puasa dawud, puasa asyurah, puasa 10 di awal zulhijjah dan puasa 6 hari di bulan syawal, semuanya telah dilaksanakan. Alhamdulillah.

Ibadah haji dan umrah pun telah dilaksanakan secara berulang-ulang, padahal kewajibannya hanya sekali. Bahkan ibadah haji dan ummah sudah dinamai dan dikategorikan sebagai bentuk wisata seperti wisata-wisata lainnya. Hanya saja haji dan umrah sebagai wisata dilabeli kata religius, yakni wisata religius. 

Ibadah sunnah lainnya yang tak kalah semaraknya adalah infak dan sedekah. Salah satu buktinya adalah di mana-mana orang melakukan jumat berkah. Membagi-bagikan makanan dan minuman di hari jumat. Kesukaan bersedakah dan berinfak yang demikian, banyak dipopulerkan di media sosial. Pendek kata, ritual keagamaan begitu semarak dalam kehidupan. 

Praktek keagamaan yang tak kalah pentingnya dikemukakan sebagai fenomena yang bagaikan jamur tumbuh di musim hujan adalah gerakan membaca al-Quran. Demikian intensnya gerakan pembacaan al-Quran, ada yang menghatamkan al-Quran sekali sebulan. Ada juga sekali seminggu. Bahkan mungkin ada yang khatam sekali dalam tiga hari. Selain itu, rumah-rumah tahfiz al-Quran pun tumbuh menjamur, baik yang berbayar maupun yang gratis. Penulis tidak tahu yang mana prosentasinya lebih besar, yang berbayar atau yang gratisan. 

Demikian pula, pengajian di mana-mana. Majelis taklim tumbuh berkembang. Itu terlihat dari baju seragam majelis taklim sudah beraneka ragam bentuk dan warnanya. Mungkin tak terhitung lagi. Bahkan mungkin sudah sulit mencari warna tertentu, akhirnya memilih yang berwarna warni. 

Fenomena keberagamaan yang demikian intens dan semarak, tumbuh berkembang dengan pesatnya, patut disyukuri, al-hamdulillah. Akan tetapi, yang menggajal akal fikiran filosofiku  adalah femona lainnya, yaitu; mengapa di saat yang bersamaan, kaum fakir-miskin, masih saja belum tersenyum karena himpitan kesusahan hidupnya, karena ujian kefakiran dan kemiskinannya. Mengapa anak-anak yatim dan para janda, masih dalam kerendahannya, belum terangkat naik menuju kemuliaan? 

Mengapa anak-anak muslim masih banyak yang putus sekolah? Pendidikannya tidak berlanjut. Akibatnya mereka menjadi generasi muda tanpa ilmu dan skill. Akhirnya mereka tidak jarang dianggap tidak berguna dalam kehidupan sosial-masyarakatnya. Bahkan dianggap sebagai beban masyarakat.

Fenomena lain yang tak kalah pentingnya dikemukakan adalah sulitnya mewujudkan persatuan umat Islam. Sebaliknya perpecahan di kalangan umat, sangat mudah terjadi. Bahkan gerakan takfiri banyak dan marak dilakukan oleh kelompok umat tertentu. Mereka menganggap kafir kelompok lain yang berbeda paham dengannya. Padahal perbedaan mereka bukan pada pokok agama tetapi hanya pada persoalan yang dikategorikan sebagai cabang agama, yang memang terbuka lebar peluang berbeda. 

Kedua fenomena yang kontra produktif, yang terjadi di kalangan umat Islam, menghadirkan beberapa pertanyaan kritis, antara lain; "apakah memang tidak hubungan kausalitas atau hubungan timbal balik antara tegaknya berbagai ritual ibadah sebagai petanda kesalehan pribadi atau individu dengan hadirnya kebajikan sosial dalam kehidupan masyaraka?" Apakah ritual-ritual agama yang ditegakkan hanya menghasilkan keselamatan pribadi di akhirat dan tidak punya biasa dalam bentuk keselamatan sosial masyarakat di dunia? 

Ataukah jangan-jangan kesalehan pribadi yang ditunjukkan dengan penegakan berbagai ritual ibadah, jika mengabaikan dan tidak menghadirkan efek kesalehan sosial dan keselamat sosial, menjadi petanda bahwa penegakan ritual-ritual ibadah tersebut tidak mencapai hakekat penghambaan. Sebaliknya hanya berhenti dan tertahan pada bentuk dhahirnya saja minus makna batin?

Demikian beberapa pertanyaan yang kuat mengusik akal filosofiku dan kalbu spiritualistasku. Akhirnya penulis mencoba mencari, jawaban apa yang mesti diberikan. Akal dan kalbu spiritualku, suatu saat berbisik kepadaku memberikan fatwanya. Bukankah Rasulullah Saw. bersabda mohonlah fatwa kepada kalbumu. Akal-kalbu berkata dan memberikan pertimbangan, yaitu perhatikanlah ayat ayat al-Quran dan sabda Rasulullah Saw. sebagai berikut.

Terkait dengan berbagai ibadah. Contohnya ibadah salat. Bukankah al-Quran, khususnya surah al-Maun menegaskan bahwa ada kelompok yang menegakkan salat baik yang difardukan maupun yang disunahkan, namun mereka dikategorikan sebagai tukang salat yang celaka dan bahkan dikategorikan sebagai pendusta agama. Pada QS. al-Ankabut/ 27: 45, juga ditegaskan bahwa fungsi utama dari salat yakni mencegah perbuatan fakhisyah dan kemungkaran. 

Dari sini, dapat ditegaskan bahwa ketika salat tidak mengakibatkan hadirnya kesalehan dan kebajikan sosial masyarakat, dalam bentuk tegaknya etika moralitas akhlak mulia, dan hanya kesalehan pribadi, maka itu petanda penegakan salat bermasalah, ada sesuatu yang kurang dan bahkan kesalahan padanya, sehingga tujuannya belum dan tidak tercapai. Pelaku salat yang demikian, bahkan dapat dikategorikan dan atau masih berada pada kelompok yang celaka. 

Dengan kata lain, salat yang ditegakkan tetapi disfungsi membebaskan pelakunya dari fakhsyaa, dosa, kemaksiatan pribadi dan sosial, belum membebaskan dari kemungkaran pribadi dan sosial, juga belum mampu menyelamatkan dari menjadi kelompok sosial pelaku salat yang celaka dan menjadi pendusta agama, menurut penulis, salat dan pelaku salat yang demikian ini, masih saja terjebak dalam jejaring sentuhan bisikan iblis-setan.

Tidak jauh berbeda dengan orang yang berpuasa, baik menjalankan puasa wajib dan sunnah, apabila puasanya belum atau tidak membentuk etika religius-spiritual takwa sebagai puncak moralitas akhlak dan masih terjebak pada kuasa hawa nafsu, maka pelaku puasa yang demikian, masih terjebak dalam jejaring sentuhan bisikan iblis dan setan. Keberadaan pelaku puasa yang demikian diisyaratkan dalam sabda Rasulullah Saw..yang masyhur yakni; "berapa banyak orang yang berpuasa, tidak ada baginya nilai puasanya kecuali ia hanya merasakan lapar dan haus. 

Orang-orang telah menunaikan ibadah haji dan umrah pun demikian, baik ia telah berhaji dan berumrah berkali-kali, tetapi belum terbebas dari prilaku rafas, fusuk dan senang berdebat untuk menang dan bukan mencari kebenaran, maka haji dan umrahnya disfungsi. Oleh karena itu, orang tersebut masih terjebak dalam.jejaring sentuhan bisikan iblis dan setan. 

Terkait dengan interaksi bersama al-Quran. Ternyata, juga banyak ditemukan hadis yang berisi ancaman keras terhadap mereka yang menjadi pembaca al-Quran. Hadis-hadis ini patut menjadi bahan pertimbangan untuk mengoreksi bangunan relasi interaksi kita dengan al-Quran. Di antara hadis yang dimaksud, sebagai berikut.

Rasulullah Saw; "berapa banyak pembaca al-Quran, namun al-Quran melaknatnya." Rubba taali al-Quran wa al-Quran yal'anahu." Beliau juga bersabda bahwa: " anta taqrau al-Qurana maa nahaaka faiza lam yanhaka falasta taqrauhu." Engkau (benar-benar dinyatakan telah) membaca al-Quran, di saat al-Quran mencegahmu (dari berbuat dosa). Jika tidak demikian, maka engkau (dikategorikan) belum membacanya." pada kesempatan yang lain Rasulullah Saw. juga bersabda: "sesungguhnya di neraka jahannam terdapat penggiling dari besi. Di situlah kepala para pembaca al-Quran dan ulama bejat digiling. "inna fi jahannama rahaaan min hadiid tuthhanu bihaa ruusu al-Qurra wa al-ulamai al-mujrimiin."

Menurut penulis, keberadaan kelompok pembaca al-Quran yang digambarkan dalam beberapa sabda Rasulullah Saw. di atas, juga diisyaratkan oleh QS. al-Furqan/ 25: 30-31. Kedua ayat ini mengemukakan pengaduan Rasulullah Saw. kepada Allah terkait dengan kelompok orang bersikap makjur terhadap.al-Quran, yakni bersikap mengabaikannya dan tidak mengamalkannya. 

Bertolak dari ayat al-Quran dan beberapa sabda Rasulullah Saw. di atas, maka tidak salah, apabila penulis tegaskan bahwa berinteraksi.dengan al-Quran tidak cukup dengan hanya membacanya, meskipun dengan niat memperoleh pahala atau berkah. Hakekat pembacaan terhadap al-Quran adalah ketika al-Quran telah fungsional mencegah pembacanya dari dosa dan maksiat, kelalaian dan kemungkaran. Puncaknya adalah apabila al-Quran telah menjadi dan mewujud sebagai moralitas akhlak pembacanya. 

Menurut penulis, kelompok orang yang bersikap makhjur terhadap al-Quran dan al-Quran disfungsi mencegah diri mereka dari dosa maksiat, serta al-Quran tidak menjadi moralitas akhlaknya, maka kelompok orang tersebut masih terjebak dalam jejaring sentuhan bisikan iblis dan setan. Bagi kelompok orang seperti ini, al-Quran berhenti di kerongkongannya atau berhenti di pembacaan lisan dan tak tembus ke hatinya. Kategori manusia seperti sangat mudah murtad dari Islam, sebaliknya sangat susah bahkan mustahil kembali kepada islam. Keterangan tentang golongan ini telah dikemukakan dalam sabda Rasulullah Saw. dalam banyak riwayat termasuk riwayat Imam Bukhari dan Muslim.

Sebagai closing statement tulisan ini, penulis ingin tegaskan bahwa sekiranya dalam setahun terakhir perjalanan spiritual kita, masih terjebak dalam jejaring sentuhan bisikan iblis dan setan, masih kita bergembira dan merasa senang di akhir tahun ini, melepas tahun lama dan menyongsong tahun baru. 

Ataukah sebaiknya kita melakukan gerakan "HADAP.DIRI" seperti yang dilakukan oleh Adam dan Hawa. Yakni gerakan menyesali perjalanan waktu kehidupan yang masih terjebak dalam jejaring sentuhan bisikan iblis setan, dengan penyesalan yang dalam, sebagai bukti pengakuan kita atas kedhaliman diri kita. Lalu disusul dengan gerakan istigfar, sebagai perisai dari akibat buruk dari perbuatan dosa, maksiat dan kedhaliman. Lalu diikuti dengan gerakan taubat sebagai bukti bahwa betul-betul telah kembali dan berdiri kokoh di jalan Allah. Selanjutnya senantiasa memohon rahmat dan kasih sayang Allah. 

"BELUM TIBAKAH SAATNYA KITA MELEPASKAN DIRI DAN TERBEBAS DARI JEJARING SENTUHAN BISIKAN IBLIS SETAN, BERGANTI DENGAN KWALITAS HATI YANG KHUSYU."   

Wa Allah A'lam. Semoga manfaat dan mencerahkan. Amin.
Makassar 31 Desember 2021.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT SULAWESI SELATAN

SISTEM KEKERABATAN ORANG BUGIS, MAKASSAR, MANDAR DAN TORAJA

SEKILAS SEJARAH MASUKNYA KRISTEN DI ALOR