SETAN DAN AL-QURAN

Ahmad Mujahid

Tema tulisan di atas, terinspirasi dengan kandungan QS. Al-Takwir ayat 28, yang menegaskan bahwa al-Quran bukanlah perkataan setan. Menurut penulis, kandungan ayat 28 ini mengisyaratkan makna adanya relasi antara al-Quran dengan setan. Bangun relasi keduanya adalah relasi pengingkaran. Al-Quran mengingkari karakteristik-karakteristik setan di satu sisi. Karena itu, al-Quran menegaskan kepada manusia bahwa setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia. Maka jadikanlah setan sebagai musuhmu dan jangan sebagai teman karibmu. Di sisi lain, setan adalah pengingkar utama al-Quran. Oleh karena itu, apa pun bentuk dan warna bisikan setan pasti ujungnya bertentangan dengan al-Quran. Dengan kata lain, apa yang diperintahkan al-Quran dilarang oleh setan. Sebaliknya apa yang dilarang al-Quran diperintahkan oleh setan. Tegasnya bangunan relasi al-Quran dengan setan adalah relasi kontra produktif. Dengan demikian, al-Quran bukan perkataan setan dan tidak mungkin berasal dari setan..

Isyarat makna lainnya, sebagai lanjutan isyarat makna pertama di atas adalah bahwa dengan berpegang teguh pada al-Quran, atau dengan menjadikan al-Quran sebagai pedoman dan life stayle kehidupan, maka kemuliaan akan hadir dalam kehidupan. Berbeda, apabila mengabaikan al-Quran dan atau bersikap makhjur terhadap al-Quran (QS. al-Furqan/ 25: 30-31), maka kehinaan hadir dalam kehidupan. Jauh dari kebajikan, sebaliknya berlumpur keburukan dan kejahatan, berlumur bau busuk kedhaliman, dosa dan kemaksiatan. Hati menjadi tertutup, pada akhirnya tergolong dalam kelompok yang dimurkai dan terkutuk,.seperti setan. Tegasnya tanpa al-Quran di hati, maka manusia jadi manusia setan. 

Keterangan kritis yang juga patut dikemukakan terkait dengan tema di atas adalah pertanyaan, mengapa Allah menegaskan bahwa al-Quran bukanlah perkataan setan? Bukankah sudah dimaklumi demikian? Apa makna yang dikehendaki Allah dengan adanya penegasan bahwa al-Quran bukanlah perkatan setan yang terkutuk. 

Menurut penulis, apabila ayat 28 surah al-Takwir di atas diperpautkan atau dimunasabahkan dengan ayat sebelumnya, yakni ayat 19, di mana ayat 19 ini menegaskan bahwa al-Quran adalah perkataan Jibril as. Disandarkannya al-Quran sebagai perkatan malaikat Jibril as., karena beliaulah yang menjadi utusan Allah menyampaikan al-Quran kepada Rasulullah Saw. Jadi al-Quran adalah kalam atau firman Allah yang diperkatakan oleh Jibril as. sebagai utusan Allah kepada Rasullah Saw. 

Bertolak dari ayat 19 tersebut, dapat dipahami bahwa al-Quran sebagai kalam Allah dinisbahkan kepada malaikat Jibril as. Sedang pada ayat 28, dipahami bahwa al-Quran sebagai kalam Allah dinegasikan dari setan, yakni bukan perkataan setan. Dengan kata lain, malaikat Jibril as. sebagai utusan yang membawa kalam Allah diperhadap-hadapkan dengan setan sebagai pengingkar al-Quran. 

Mencermati struktur kedua ayat di atas, menarik diajukan pertanyaan kritis, yakni mengapa Allah menisbahkan kalamNya kepada malaikat, untuk diperhadap-hadapkan dengan kalam  penegasan bahwa al-Quran bukan perkataan setan? Mengapa Allah tidak menisbahkan al-Quran sebagai kalamNya kepada diriNya sendiri?  Yakni dengan langsung mengatakan bahwa al-Quran adalah kalam-Ku, lalu diperhadap-hadapkan dengan kalam negasi, yakni bahwa al-Quran bukan kalam setan..

Menurut penulis, struktur kalimat yang demikian, mengisyaratkan makna bahwa makhluk termasuk iblis dan setan tidak wajar diperhadap-hadapkan sebagai lawan sang Pencipta. Oleh karena posisi makhluk tunduk patuh kepada Penciptanya, baik secara terpaksa maupun secara sukarela. Tidak ada keinginan makhluk yang dapat terwujud secara mandiri tanpa kehendak dan izin Allah, termasuk keinginan makhluk menjatuhkan pilihannya pada pengingkaran, kedurhakaan dan dosa maksiat. 

Contohnya keinginan iblis agar berusia panjang di dunia untuk melakukan gerakan penyesatan terhadap manusia, hanya dapat terwujud, setelah Allah menghendaki, mengizinkannya. Hal ini sangat dipahami oleh iblis. Buktinya iblis hanya memohon kepada Allah agar ia diberi penangguhan waktu. Allah pun mengabulkan permohonan iblis. 
Dengan kata lain, Allah menghendaki dan mengizinkan pilihan iblis menjadi penegak gerakan kesesatan terhadap manusia. Tanpa kehendak dan izin Allah, maka keinginan iblis tersebut tidak terwujud. Namun demikian, penulis, patut tegaskan bahwa adanya izin Allah yang diberikan kepada iblis, bukan berarti Allah meridhai gerakan penyesatan yang dilakukan iblis. Bahkan sebaliknya Allah memurkainya. Gerakan penyesatan yang dilakukan iblis sebagai wujud pilihan bebas yang dianugrahkan kepadanya.

Konotasi makna klausa ayat yang menyatakan bahwa al-Quran bukan perkataan setan yang dikemukakan pada ayat 28 juga berfungsi sebagai penguat klausa yang menyatakan bahwa al-Quran adalah sungguh perkataan utusan (Allah) yang mulia yakni malaikat Jibril as. Klausa pada ayat 28 juga berfungsi sebagai jawaban tegas atas tuduhan yang dinyatakan oleh kelompok sosial.kafir yang menginkari Rasulullah Saw dan kitab al-Quran. 

Ditinjau dari sudut diperhadap-hadapkannya malaikat dan setan sebagai dua makhluk yang kontra produktif, di mana keduanya membisik ke dalam hati manusia, dapat dipahami, bahwa disandarkannya kalam Allah kepada malaikat bermakna bahwa bisikan malaikat adalah al-Quran dan atau sesuai dengan al-Quran. Sementara bisikan setan ke dalam hati manusia pasti kontra produktif dengan al-Quran. Setan tidak akan pernah berhenti menjauhkan manusia dari al-Quran. Oleh karena itu, hal.yang paling membuat setan bersedih dan menangis dengan terseduh-seduh adalah ketika al-Quran dipelajari, dikaji atau ditadabburi kandungan makna hatta terpahamkan dengan baik, kemudian dijadikan sebagai pedoman hidup atau diamalkan.. 

Konotasi makna lain yang diisyaratkan dari penyandaran al-Quran kepada malaikat pada ayat 19, dan tak kalah pentingnya dikemukakan adalah bahwa al-Quran sebagai kalam Allah dan kitab suci hanya dapat didekati dengan akal dan bukan dengan nafsu. Dengan perkataan lain, klausa ayat 28 mengisyaratkan makna al-Quran tidak.dapat diimani dan diterima dengan dan oleh hawa nafsu. Maka dari itu setan yang tenggelam dalam kuasa hawa nafsunya, menjadi pengingkar al-Quran. Al-Quran hanya dapat diterima dan diimani oleh mereka yang memfungsikan akal-kalbunya merajai hawa nafsunya. Malaikat adalah makhluk Allah yang berakal dan terbebas dari hawa nafsu. Bukankah malaikat memang makhluk yang tidak dianugrahi hawa nafsu. Maka malaikat beriman, menerima, menjadi pengawal dan pembawa al-Quran.

Berbeda dengan setan, (demikian juga manusia), adalah makhluk yang dianugrahi akal dan hawa nafsu. Oleh karena setan tenggelam.dalam kuasa hawa nafsunya dan akal yang dianugrahkan Allah kepadanya, disfungsi merajai hawa nafsunya, maka setan menjadi pengingkar al-Quran. Demikianlah di antara makna klausa yang menegaskan bahwa al-Quran bukanlah perkataan setan. Manusia yang menjadi pengingkar al-Quran dinamai manusia setan (syayathiin ins, QS. al- An'am/ 6: 112). Manusia menjadi manusia setan, karena akal kalbunya gagal berinteraksi dengan al-Quran. Sebaliknya hawa nafsunya yang berfungsi dalam berinteraksi dengan al-Quran.  Padahal al-Quran diturunkan untuk menghidupkan akal kalbu dan mengendalikan hawa nafsu. 

Sebagai closing statement tulisan ini, silahkan memilih menjadi manusia setan.atau menjadi manusia malaikat atau bahkan lebih mulia dari malaikat. Kata kuncinya hanya satu adalah menolak atau menerima al-Quran. Menjadi pengingkar atau pengamal al-Quran. Wa Allah A'lam. 

Makassar 4 Januari 2021

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT SULAWESI SELATAN

SISTEM KEKERABATAN ORANG BUGIS, MAKASSAR, MANDAR DAN TORAJA

SEKILAS SEJARAH MASUKNYA KRISTEN DI ALOR