SADAR PERJUMPAAN DENGAN ALLAH DI DUNIA, NIKMAT TERAGUNG DI AKHIRAT

Ahmad Mujahid

Berjumpa dengan Allah, Rabb al-alamiin adalah cita-cita tertinggi, teragung dan puncak harapan bagi seorang mukmin sejati. Berbeda dengan kelompok kafir, mereka mendustakan perjumpaan dengan Allah, Rabb al-alamiin baik di dunia, demikian pula di akhirat.

Istilah yang digunakan al-Quran dalam menunjuk makna perjumpaan dengan Allah Rabbul alamiin adalah frase "liqaullah atau liqaurabb." QS. Al-Insyiqaaq/ 84: 6, telah menyerukan kepada manusia dalam bentuk peringatan dan sekaligus renungan bahwa manusia pasti berjumpa dengan Rabbnya di akhirat. Oleh karena itu, manusia wajib mempersiapkan diri dengan perjumpaan yang pasti terjadi tersebut, seperti pastinya kematian. Kematian sendiri adalah pintu menuju perjumpaan dengan Allah Rabbul alamiin di akhirat. 

Perjumpaan manusia dengan Allah di akhirat, terbagi dalam dua kelompok dengan dua bentuk perjumpaan; pertama, manusia yang berjumpa dengan Allah, menggunakan catatan amal yang diterima lewat tangan kanannya. Kedua, adalah kelompok manusia yang berjumpa dengan Allah menggunakan catatan amal yang diterima lewat belakang punggungnya. Kelompok pertama merasakan kenikmatan perjumpaan dengan Allah. Berbeda dengan kelompok kedua, mereka berjumpa dengan Allah dalam kesensaraan. Demikian yang penulis pahami dari relasi ayat 6 dalam surah ke 82 dengan ayat sesudahnya, yakni ayat 7-13 dalam surah yang sama.

Menurut hemat penulis, kedua model perjumpaan dengan Allah Rabbul alamiin di akhirat sangat ditentukan oleh kehidupan di dunia. Apabila manusia senantiasa menyadari dan merasakan perjumpaan dengan Allah Rabbul alamiin di dunia, maka ia pasti tergolong dalam kelompok pertama. Sebaliknya apabila manusia tidak menyadari atau lalai dengan perjumpaan dengan Allah di dunia dan bahkan mendustakannya, maka pasti ia dikelompokkan pada golongan kedua. 
Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana berjumpa dengan Allah Rabb al-alamiin di dunia? Benarkah manusia senantiasa berjumpa dengan Allah di kehidupan dunia?
Menurut penulis jawaban atas pertanyaan di atas, dapat dipahami dari frase "liqaaur Rabb" dengan frase "liqaullah." Kedua frase ini digunakan dalam al-Quran. 

Kata "liqaa" dari sudut kebahasaan menunjuk makna menemui sesuatu dan bertepatan, bertemu dan menghadap. Kata "liqaa" dapat digunakan dalam hal yang bersifat indra lahir dan batin. Dengan perkataan lain, pertemuan lahir dan pertemuan batin. Kata liqaa juga dapat bermakna menyampaikan dan atau melemparkan sesuatu. 
Konotasi makna kata "liqaa" yang lain adalah hari kiamat. Hari kiamat dinamai liqaa sebagai hari pertemuaan  karena pada hari itu akan dipertemukan semua orang dari generasi pertama hingga generasi terakhir; akan dipertemukan antara penduduk langit yakni malaikat dengan penduduk bumi. Masing-masing dari mereka akan diperlihatkan amal perbuatan yang telah mereka lakukan. Maka dikatakan dalam suatu perkataan; "laqiya fulan khairan wa syarran" yang berarti fulan dipertemukan dengan perbuatan kebajikan dan keburukannya."

Adapun kata Rabb berkonotasi makna rububiyah Allah. Yakni Allah sebagai Pencipta, Pemilik, Penguasa, Pengatur, Pemelihara, Pendidik dan Pemberi kebajikan kepada makhluk. Menurut penulis, dari makna Rabb tersebut maka manusia mukmin dengan keimanan yang haqqan,, sejatinya selalu menyatakan dan mengingkarkan kepada dirinya bahwa ia adalah ciptaan dan Allah sebagai Penciptanya; berikrar bahwa dirinya adalah dimiliki dan dikuasai oleh Allah sebagai Pemilik dan Penguasa makhluk; manusia mukmin sejatinya selalu berikrar bahwa dirinya hanya dipelihara dan diatur oleh yang Maha Pemelihara dan Maha Pengatur; berikrar bahwa dirinya diberi kebajikan oleh Allah yang Maha baik dan bahwa dirinya dididik oleh Allah Rabb al-alamiin. Inilah yang dimaksud dengan pertemuan dengan Af'al Allah, sebagai nama lain dari pertemuan Rububiyah Allah.

Menurut penulis, manusia yang senantiasa menghadirkan kesadaran yang demikian, dalam hidup dan kehidupannya di dunia, berarti ia telah senantiasa merasakan pertemuan dengan Rabbnya (liqaa Rabb) di dunia. Sebaliknya manusia yang lalai menghadirkan kesadaran yang demikian, meskipun ia tahu dan mengakui rububiyah Allah, maka ia digolongkan sebagai manusia lalai dan tidak merasakan pertemuan dengan Rabbnya di dunia. Biasanya manusia seperti ini mendustakan pertemuan dengan Allah di akhirat.

Sedangkan kata Allah menunjuk makna uluhiyah Allah. Kata Allah berakar pada aliha. Demikian pula kata ilah dalam kalimat tauhid seakar dengan kata aliha yang menunjuk pada uluhiyah Allah. Kata ilah tersebut berkonotasi makna yang Maha Ada, yang Maha terpuji, yang dituju, yang dicintai, dan yang disembah. 
Dari makna ilah yang demikian, apabila diperpautkan dengan makna liqaa di atas, maka frase "liqaaullah" berkonotasi makna ubudiyah kepada Allah. Yakni menyakini bahwa Allah adalah sumber keberadaan. Semua yang ada diadakan oleh Allah yang Maha Pengada, yang tidak pernah tidak ada, karena itu Allah tidak diadakan. 
Bentuk ubudiyah kepada Allah adalah senantiasa memuja dan memuji Allah, mencintai-Nya dan menjadikan Allah sebagai tujuan. Puncak dari uluhiyah adalah menghambakan diri kepada Allah secara totalitas dan holistik universal. 

Landasan penghambaan kepada Allah adalah dengan memakrifati Allah yakni mengilmui, mengetahui dan mengenal Allah sebagai satu-satunya wujud yang mengadakan wujud-wujud selain-Nya. Mengetahui, menyakini dan mengenal Allah sebagai satu-satunya tujuan dan tempat kembali. Landasan kedua dari puncak penghambaan kepada Allah adalah cinta kepada Allah.

Menurut penulis, manusia yang memiliki dan senantiasa mengikrarkan, menghadirkan, dan merasakan kesadaran uluhiyah atau penghambaan tersebut dalam hidup dan kehidupannya, maka itu petanda bahwa ia sungguh telah bertemu dengan Allah dalam kehidupannya di dunia. Sebaliknya manusia yang tidak demikian, maka digolongkan sebagai manusia lalai dan tidak merasakan pertemuan dengan Allah di dunia. Manusia seperti digolongkan manusia yang mendustakan pertemuan dengan Allah di akhirat.

Bertolak dari uraian di atas, penulis dapat simpulkan bahwa di dunia ada dua bentuk pertemuan dengan Allah yakni pertemuaan dengan rububiyah dan atau pertemuan dengan af'al Allah yang dipahami dari frase " liqaaur Rabb" dan pertemuan uluhiyah-ubudiyah yang dipahami dari frase "liqaaullah." Kedua bentuk pertemuan ini satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dengan perkataan lain, liqaur Rabb itu juga liqaaullah. Atau liqaaullah itu juga liqaaur Rabb. 

Berangkat dari uraian di atas, juga dapat dipahami dengan jelas dan tegas bahwa pada hakekatnya tidak ada manusia yang tidak bertemu dengan Allah di dunia. Karena memang manusia tidak bisa berlari dan melepaskan diri dari rububiyah Allah. Oleh karena tidak ada rububiyah selain rububiyah Allah. Dengan perkataan lain, manusia selalu bertemu dengan af'al Allah dan berada dalam rububiyah-Nya. Hanya saja kebanyakan manusia tidak mengetahuinya, melalaikannya. Akibatnya manusia mendustakan pertemuan dengan Allah. Puncaknya, manusia tidak merasakan liqaur Rabb dan atau liqaaullah dalam kehidupannya di dunia. Kelompok manusia seperti ini tergolong kelompok yang merugi di akhirat termasuk merugi di dunia

Puncak dari kesadaran dari liqaaul af'al atau liqaur rububiyah adalah pengakuan akan keagungan dan kebesaran Allah, yang disimbolkan dalam kalimat takbir, Allah Akbar. Kalimat pengakuan ini menjadi landasan setiap penghambaan atau ubudiyah kepada Allah. Ibadah salat misalnya didahului dengan kalimat takbir Allah Akbar. Artinya penghambaan kepada Allah lahir dari kesadaran akan keagungan dan kebesaran Allah di satu sisi dan di sisi lain lahir dari kesadaran akan kerendahan dan kehinaan di hadapan Allah. 

Penghambaan yang berlandaskan pada kesadaran akan Allah Maha Besar atau Allah Akbar, menghasilkan penghambaan yang sempurna kepada Allah, yakni membuahkan puncak moralitas akhlak takwa kepada Allah. Akhlak takwa merupakan puncak kemuliaan di sisi Allah. Inilah puncak pertemuan dengan Allah di dunia yang wajib dicapai dan menjadi cita-cita serta harapan tertinggi dalam hidup dan kehidupan mukmin sejati. 
Maka untuk dapat meraih takwa maka takwa kepada Allah, sejatinya setiap saat diikrarkan kepada diri sendiri agar dapat meraih derajat "haqqa tuqatihi". Atau paling tidak mengikrarkannya pada setiap jumat ketika seorang khatib mewasiatkan takwa dengan sebenar-benarnya takwa. 

Cucu Rasulullah Saw. telah mencontohkan kwalitas tertinggi dari pengikraran dan pengakuan akan keagungan dan kebesaran Allah (Allah Akbar) di satu sisi dan di sisi lain, pengakuan akan kerendahan dan kehinaan diri di hadapan Allah, seperti tergambar dalam munajat cucu Rasulullah Saw. yakni Imam Ali Zainal Abidin yang bergelar as-Sajjad (ahli sujud). 
Dalam untaian munajatnya, beliau berkata: "Maulaya Maulaya anta al-Maulay wa ana al-'aabid, hal yarham al-'aabida illa al-Maulay. Maulaya Maulaya anta al-Khaliq wa ana al-makhluk, hal yarham al-makhluk illa al-Khaaliq. Maulaya Maulaya anta al-Maalik wa ana al-mamluuk. Hal yarham al-mamluuk illa al-Maalik.... 

Dari munajat di atas tergambar dengan jelas penyandaran seorag hamba kepada Tuhan Penciptanya, seorang makhluk kepada sang Khaliq; seseorang yang dimiliki kepada Pemiliknya. Kemudian dalam setiap ikrar dan pengakuannya, cucu Rasulullah Saw. tersebut bertanya; "apakah hamba, ciptaan, yang dimiliki dapat terkasih tanpa Allah, Tuhan sang Maha Pencipta, Maha Penguasa dan Maha Pemilik. 

Berdasarkan munajat tersebut, maka dapat ditegaskan bahwa imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad telah bertemu dengan Allah dalam kehidupannya di dunia sebelum ia bertemu dengan Allah dalam kehidupan selanjutnya di akhirat. Imam Husain telah menyadari kesadar-sadarnya keagungan dan kebesaran Allah di satu sisi dan kehinaan, kerendahan dirinya di aiai lain. Imam Husain benar-benar telah menggantungkan dirinya hanya kepada Allah dan tidak kepada selainnya. 

Apabila di dunia, tidak ada manusia yang tidak bertemu dengan Allah, seperti dinyatakan di muka, maka di akhirat pun demikian. Hanya saja di akhirat ada manusia yang bertemu Allah dengan sifat Rahim-Nya dan sebagian lainnya, berlaku atasnya sifat adil dan ghadab-Nya. Pertemuan dengan Rahiim Rahmannya Allah adalah pertemuan kenikmatan. Sebaliknya pertemuan dengan sifat adil dan ghadab Allah adalah pertemuan kesensaraan. Tinggallah manusia yang menentukan bentuk pertemuaan yang mana yang akan berlaku atasnya. Apakah pertemuan kenikmatan ataukah pertemuan kesensaraan. Silahkan pembaca tentukan sendiri sekarang di dunia fana ini. Ingat jangan salah pilih dan salah menentukan. Wa Allah A'lam. Semoga manfaat.

Makassar, 13 Januari 2022

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT SULAWESI SELATAN

SISTEM KEKERABATAN ORANG BUGIS, MAKASSAR, MANDAR DAN TORAJA

SEKILAS SEJARAH MASUKNYA KRISTEN DI ALOR