ISTIAZAH: MEMBANGUN RELASI SPIRITUAL TRANSENDENTAL ILAHIAH

Ahmad Mujahid

Kata istiazah merupakan istilah yang berkonotasi makna memohon perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. Seperti ditunjuk oleh kalimat yang paling populer, yakni "auzu billahi minas syaithanir rajim." Menurut hemat penulis, kalimat istiazah ini menggambarkan tiga bentuk relasi, yaitu: 

Pertama. Relasi negatif yakni relasi permusuhan antara manusia dengan setan. Setan sangat membenci dan memusuhi manusia. Setan ingin manusia terjatuh dalam kebinasaan pengingkaran dan kesesatan, sebagaimana dirinya telah terjatuh dan tenggelam di jurang kesesatan dan pengingkaran yang dalam.

Kedua, relasi negatif setan terhadap Allah. Di mana setan telah membangun relasi spiritual transendental negatif dengan Allah. Setan menolak perintah Allah bersujud kepada Adam as. Dengan kata lain, setan pengingkaran perintah Allah. Akibatnya setan terlaknat dan jauh dari kebajikan, rahmat dan keberkahan, Makna ini ditunjuk oleh kata "rajiim,"  yang menjadi kata sifat dari kata setan. 

Ketiga, relasi positif manusia terhadap Allah. Yakni di mana manusia membangun relasi spiritual transendental positif dengan Allah. Wujud relasi tersebut adalah manusia menjadikan Allah sebagai perlindung, pemelihara dan penjaganya dari bahaya dan keburukan gerakan kebencian, permusuhan dan penyesatan setan terhadap manusia. Iblis dan setan, sangat ingin manusia terjatuh dalam pengingkaran dan kedurhakaan kepada Allah, sebagaimana ia telah melakukannya. 

Mencermati bangunan relasi kedua hamba Allah dalam istiazah, yakni manusia dan setan, menurut penulis, pemihakan Allah kepada manusia sangat kuat dan nyata. Buktinya dalam al-Quran, Allah sering memperingatkan manusia bahwa setan itu musuhmu yang nyata. Bahkan Allah menegaskan, maka jadikanlah ia musuhmu (QS. Al-Mukminun/ 23: 97-98). Dalam ayat yang lain, yakni QS. Al-A'raf/ 7: 27, Allah memperingatkan kepada manusia sebagai anak cucu Adam, agar tidak lagi tertipu lagi kepada setan, seperti setan telah menipu bapak dan ibu anak cucu Adam. Masih banyak ayat lain yang berisi pesan demikian. 

Bukti lain dari pemihakan Allah kepada manusia, adalah adanya perintah Allah kepada manusia agar berlindung kepadaNya dari gerakan kejahatan penyesatan iblis dan setan. 
Pertanyaannya sekarang adalah siapa setan dan bagaimana sifat dan gerakan kejahatannya, bagaimana petunjuk al-Quran kepada manusia terkait dengan gerakan kejahatan penyesatan yang dilakukan oleh setan terhadap manusia? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini dapati ditelusuri dari kata setan itu sendiri dan kata "rajiim" yang menjadi sifat setan pada kluasa istiazah tersebut. Berikut uraiannya.

Kata setan dalam al-Quran disebutkan sebanyak 88 kali. Katsetan berakar pada kata "syathana."  Makna pokok kata ini adalah jauh dari kebajikan atau rahmat. Dari makna pokok ini, dapat dipahami bahwa setan adalah bangsa jin yang tidak memiliki kebajikan dan rahmat. Dengan perkataan lain, apa pun dari setan merupakan keburukan, kejahatan dan kesesatan. Itulah sebabnya ia disifati dengan sifat "rajiim,"  yang bermakna terlaknat. Dengan begitu sifat "rajiim" mempertegas kejahatan dan kesesatan setan. 

Dari sekian banyak ayat tentang setan, al-Quran mengemukakan beberapa petunjuk kepada manusia tentang bagaimana mengatasi gerakan kejahatan penyesatan setan, antara lain: 
Pertama. Perintah Allah kepada manusia agar memohon perlindungan, pemeliharaan dan penjagaan dari Allah dalam menghadapi setan dan gerakan kejajatan penyesatannya. Ditemukan 4 ayat yang memerintah agar manusia beristiazah kepada Allah dari setan pada beberapa keadaan dan kegiatan, yaitu:
1) Diperintahkan beristiazah kepada Allah ketika membaca al-Quran dan ketika mengerjakan amal ibadah lainnya. Seperti ditegaskan dalam QS. An-Nahl/ 16: 98. Ayat ini menegaskan bahwa ketika membaca, baik sebelum dan sesudahnya, maka berlindunglah kepada Allah dari setan yang terkutuk. 
Menarik dipertanyakan mengapa dalam berinteraksi dengan al-Quran mesti beristiazah? Keburukan apa yang dapat hadir dari setan ketika seseorang berinteraksi dengan al-Quran tanpa perlindungan, pemeliharaan dan penjagaan Allah Swt? Menurut hemat penulis, jawaban atas pertanyaan ini, dapat dipahami dari relasi ayat 98 tersebut dengan sebelum dan sesudahnya dalam surah yang sama.

Di mana pada ayat sebelumnya, yakni ayat 97 mengemukakan tentang beramal saleh yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan berdasarkan keimanan yang benar (imanan haqqan). Maka orang mukmin yang beramal saleh tersebut akan dihidupkan di dunia dengan kehidupan yang bermanfaat (thayyiban) dan di akhirat ia memperoleh balasan yang lebih indah dan menyenangkan dari apa yang ia telah perbuat. Sedang pada ayat sesudahnya, yakni 99 bahwa setan tidak memiliki kekuatan sedikit pun atas orang-orang yang benar-benar beriman dan bertawakkal kepada Allah. Adapun pada 100 dikemukakan bahwa setan hanya mampu berkuasa dan memberikan pengaruh jahat dan buruknya terhadap orang-orang yang mau menjadikan setan sebagai pemimpinnya dan terhadap orang-orang yang berlaku syirik. 

Apabila kandungan ketiga ayat dalam surah an-Nahl tersebut diperpautkan dengan kandungan ayat 98 dalam surah yang sama, maka dapat dipahami bahwa beramal saleh seperti berinteraksi dengan al-Quran dalam bentuk pembacaan, mesti hadir dan berlandaskan keimanan yang haqqan kepada al-Allah dan tentunya kepada al-Quran itu sendiri. 

Berinteraksi dengan al-Quran, apa dan bagaimana pun bentuknya, tanpa landasan iman yang benar (haqqan), maka sangat mungkin berada di bawah bimbingan setan. Dengan kata lain, setan menjadi gurunya ketika berinteraksi dengan al-Quran. Akibatnya ia salah dan keliru di dalam memahami ayat-ayat al-Quran. Setan membodohinya dan menyesatkan pemahamannya tentang ayat-ayat al-Quran. 
Di antara contoh penafsiran yang keliru terkait setan adalah pandangan yang menyatakan bahwa setan masuk surga. Alasannya, karena setan melaksanakan peran dan tugasnya sebagai penegak gerakan penyesatan. Pandangan ini menduga, gerakan penyesatan yang ditegakkan setan adalah tugas dari Allah. Padahal Allah tidak pernah memerintahkan atau menugaskan setan melakukan gerakan kejahatan dan penyesatan. Setan sendiri yang ingin dan memilih melakukan gerakan kejahatan penyesatan, setelah ia dikeluarkan dari surga kenikmatan disebabkan kenggangannya kepada Adam as. padahal Allah yang memerintahkannya sujud.

Ada lagi pandangan yang mengatakan setan adalah makhluk yang paling bertauhid. Alasannya ia tidak mau sujud kepada Adam meskipun Allah yang memerintahkannya. Pandangan yang demikian ia sangat keliru, berdasarkan hawa nafsu dan dalam bimbingan setan. 

Bantahannya adalah kalau memang setan makhluk bertauhid, maka ia pasti patuh kepada perintah Allah, apa pun bentuk dan obyek perintah Allah tersebut. Salah satu makna dari konsekwensi logis dari kesadaran tauhid adalah kepatuhan kepada Allah tanpa syarat. Buah lain dari kesadaran tauhid adalah menghadirkan keyakinan bahwa apa pun yang diperintahkan dan dilarang Allah pasti benar, baik dan tidak mungkin bertentangan dengan konsepsi tauhid. Dari sini, dapat dipahami dengan tegas dan jelas, bahwa perintah Allah kepada malaikat dan iblis atau setan dari bangsa jin tidak mungkin bertentangan dengan tauhid. 

Jadi pendapat yang menduga bahwa keenggangan iblis sujud kepada Adam menjadi bukti nyata ketauhidan iblis, merupakan pandangan sesat, dan menyesat. Pandangan yang demikian ini berlandaskan hawa nafsu dan dalam bimbingan setan yang menyesatkan.

Dalam bentuk praktis, manusia yang menjadikan setan sebagai guru al-Qurannya, maka ia pasti terjatuh dalam gerakan menjual ayat-ayat al-Quran dan digunakan ayat-ayat al-Quran untuk meraih keuntungan dunianya semata, baik secara sosial-budaya, sosial-politik, maupun secara sosial ekonomi. Perbuatan menjual ayat Allah untuk kepentingan dunia merupakan perbuatan kesetanan. 

Manusia yang berinteraksi dengan al-Quran tanpa perlindungan, pemeliharaan dan penjagaan Allah, maka interaksinya dengan al-Quran tidak akan menembus kalbunya dan berhenti di kerongkongannya. Manusia seperti ini adalah manusia yang telah berada dalam kuasa setan dan hawa nafsunya. Bahkan Rasulullah Saw. menegaskan dalam sabdanya, bahwa pembaca al-Quran yang bacaannya hanya berakhir di kerongkongan dan tidak menempus hatinya, mengakibatkan ia mudah dan cepat murtad atau keluar dari Islam dan ia sulit kembali lagi ke Islam, seperti anak panah yang lepas dari busurnya secara cepat dan tidak akan dapat kembali lagi ke busurnya. 

Uraian di atas, kiranya telah cukup menggambarkan betapa urgennya beristiazah ketika beinteraksi dengan al-Quran, baik sebelum dan atau sesudahnya. Demikian pula ketika melaksana ibadah-ibadah lainnya. Pendek kata, orang mukmin membutuh perlindungan, pemeliharaan dan penjagaan Allah khususnya ketika ia berinteraksi dengan al-Quran dan menegakkan ibadah-ibadah lainnya. Bahkan kebutuhan akan istiazah dibutuhkan di setiap langkah kehidupan. Tujuan agar tidak terjerumus pada langkah-langkah setan. 
Kesimpulannya beristiazah pada hakekatnya bermakna membangun hubungan spiritual transendental ilahi dalam hidup dan kehidupan, baik ketika menegakkan ibadah-ibadah mahdha maupun pada saat berinteraksi sosial-masyarakat (bersambung).


Makassar 17 Januari 2022

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT SULAWESI SELATAN

SISTEM KEKERABATAN ORANG BUGIS, MAKASSAR, MANDAR DAN TORAJA

SEKILAS SEJARAH MASUKNYA KRISTEN DI ALOR