ALLAH BERTANYA: ...YA AYYUHAL INSAN MAA GHARRAKA BI RABBIKAL KARIIM?

Ahmad Mujahid

Al-Quran adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Rasulullah Saw. Al-Quran adalah bentuk komunikasi Allah dengan hamba-hamba-Nya. Dengan perkataan lain, apabila seorang ingin berkomunikasi dengan Allah, maka hendaknya ia berinteraksi dengan al-Quran. 

Al-Quran adalah kitab yang diliputi kesucian. Al-Quran sendiri adalah kalam Allah yang suci. Allah sendiri sebagai pemilik kalam adalah Maha Suci. Al-Quran sendiri adalah kitab suci. Dibawa turun oleh malaikat yang suci, yakni Malaikat Jibril as.. Diterima pertama kali oleh Muhammad Saw. Beliau adalah manusia suci. Diturunkan di waktu yang suci. Yakni malam yang lebih baik keberkahannya dari seribu bulan. Juga diturunkan di tempat yang suci dan disucikan, yakni Makkah al-mukarramah dan Madinah al-munawwarah. 

Dengan demikian, hamba yang berinteraksi dengan al-Quran, berarti berinteraksi dengan kesucian. Oleh karena itu, hamba tersebut mesti dalam keadaan suci baik secara lahir (punya air wudhu), terlebih lagi suci batin. Al-Quran memang diturunkan sebagai jalan bagi hamba untuk menjadi suci dan kembali kepada Allah dalam kesucian. 

Di antara kandungan al-Quran yang menarik dicermati dan direnungkan adalah wacana tentang pertanyaan-pertanyaan Allah kepada manusia. Berikut uraiannya lebih lanjut.
Misalnya pertanyaan Allah QS. Al-Infitar/82: 6-8. Dalam ayat-ayat ini, Allah bertanya kepada manusia (al-insan), yakni apa yang menyebabkan kalian wahai manusia terpedaya dan berpaling dari Allah, Rabbmu yang Maha Mulia? Apa yang menyebabkan kalian mendurhakai Allah, yang telah menciptakan kamu, telah menyempurnakan penciptaanmu dan menjadikan penciptaanmu seimbang dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki? 

Kalimat pertanyaan dalam klausa "maa gharraka bi Rabbikal Karim," yang berarti apakah yang telah memperdayakan kamu (sehingga kamu mendurhakai) Tuhan Penciptamu yang Maha Mulia? merupakan bentuk istifham ingkari, yakni pertanyaan yang mengandung makna ancaman dan celaan. Dengan perkataan lain, lewat pertanyaan tersebut, Allah mengecam, mengancam dan mencela manusia yang telah diciptakan-Nya dalam bentuk.penciptaan yang sempurna dan seimbang, namun mereka berpaling dari Allah, mendurhakai Allah dan bermaksiat kepada-Nya. 

Menurut penulis, bentuk pertanyan Allah tersebut, juga memberikan kesan "keheranan" Allah atas manusia yang bersikap ingkar kepada-Nya, mendurhakai-Nya. Bagaimana bisa manusia berprilaku durhaka kepada-Ku, padahal Aku telah menciptakannya berdasarkan kemuliaan-Ku (sifat Kariim-Ku). Aku telah menciptakannya dengan penuh kasih sayang. 

Dengan perkataan lain, sejatinya manusia itu tidak akan pernah berprilaku ingkar dan berpaling dari Allah serta mendurhakai dan bermaksiat kepada-Nya, jika manusia mengenali, menyadari sesadar-sadarnya bahwa Allah adalah Rabb yang menciptakan, memiliki, menguasai, mengatur dan memeliharanya serta mendidik dan memberikan kebajikan kepadanya. 

Dari sini penulis, ingin tegaskan bahwa manusia berkewajiban dan semestinya, senantiasa menghadirkan dalam hidup dan kehidupannya kesadaran akan rubuniyah Allah. Manusia mesti selalu berkata kepada dirinya sendiri dan berikrar bahwa dirinya adalah ciptaan dan Allah adalah Penciptanya; bahwa aku hanyalah dimiliki dan dikuasai oleh Allah dan bukan sebagai pemilik dan penguasa; bahwa dirinya hanyalah diatur oleh Allah dan tidak dapat mengatur, karena itu, aku wajib mengikuti aturan Allah yang pasti benar, lurus, bermanfaat dan tidak pernah salah. 

Manusia sejati selalu berkata dan mengikrarkan kepada dirinya sendiri, bahwa aku senantiasa hidup dalam pemeliharaan Allah. Apa pun yang terjadi atasku, apakah itu menyenangkan dan atau menyusahkanku adalah wujud pemeliharaan Allah. Bahwa Allah telah memberikan pendidikan yang sempurna untukku dan Allah telah memberikan kebajikan kepadaku. Allah yang Maha baik tidak pernah berbuat buruk dan dhalim kepadaku, meskipun aku mendurhakai-Nya. 

Menurut penulis, dengan senantiasa menghadirkan dan mengikrarkan kepada diri sendiri kesadaran akan rububiyah Allah, seperti dijelaskan di atas, maka insya Allah manusia akan terpelihara dari dosa, kesalahan dan kedurhakaan kepada Allah. Sekiranya manusia yang demikian itu, jatuh dalam kesalahan, dosa dan maksiat, karena memang manusia tempatnya dosa dan kesalahan, maka ia akan segera menyadari kesalahannya, lalu beristigfar dan bertaubat kepada Allah.

Berbeda dengan manusia yang tidak menhadirkan kesadaran rububiyah Allah, meskipun ia mengetahui bahwa Allah adalah Rabbnya, manusia seperti ini, senang berlama-lama dalam kedurhakaan. Bahkan tidak jarang menenggelamkan diri dalam lumpur kotoran dosa yang berbau busuk, sehingga ia tidak lagi mampu membedakan antara keburukan dengan kebaiikan. 

Kebaikan dianggapnya keburukan. Sebaliknya keburukan dianggapnya kebaikan. Manusia seperti ini, hatinya telah tertutup dari kebenaran, demikian pula penglihatan dan pendengarannya. Dengan kata lain, potensi-potensi intelektualnya telah disfungsi alias mati. Kematian potensi intelektual tersebut menyebabkan manusia tidak beriman kepada Allah. Maka sangat tepat ketika Allah menggunakan kata "qharraka" dalam menggambarkan sikap berpaling manusia. Makna asal atau pokok dari kata gharra yang berakar pada huruf "ghain, ra dan ra adalah menganggap dan memandang keburukan sebagai kebaikan. Sebaliknya menganggap kebaikan sebagai keburukan. Juga menyakini bahwa kesalahan dan kebatilan terampuni..

Kita kembali ke kepertayaan "maa gharraka bi rabbikal Kariim." Menurut hemat penulis, meskipun pertanyaan Allah ini mengandung ancaman, celaan dan cacian, kepada yang berprilaku ingkar kepada Allah merdurhakai dan bermaksiat kepada-Nya, namun pertanyaan tersebut adalah wujud atau refleksi sifat kasih sayang, kemurahan dan kemuliaan Allah. Pemahaman seperti menurut penulis, diisyaratkan oleh penggunaan kata al-Kariim yang merupakan sifat Allah yang mengikuti atau menyifati kata "Rabbika," pada frase "bi Rabbika al-Kariim."

Adapun yang penulis maksud sebagai refleksi kasih sayang, kemurahan dan kemuliaan Allah dalam pertanyaan tersebut di atas, adalah dengan pertanyaan yang mengandung makna ancaman dan celaan tersebut, sesungguhnya Allah menginginkan agar manusia meninggalkan kedurhakaan, jalan kebatilan dan kembali sadar, kembali menempuh jalan kebenaran dan jalan yang lurus. Makna ini ditunjuk oleh kata "kalla."  

Penggunaan kata "kalla" di sini berkontasi makna negasi terhadap kandungan kalimat sebelumnya dan atau bermakna larangan kepada manusia agar tidak melakukan perbuatan ghurur. Artinya Allah seakan-akan berkata, wahai hambaku manusia, jangan kalian mendurhakai-Ku dan bermaksiat kepada-Ku. Berhenti bersikap ingkar, lalai, menganggap kebajikan sebagai keburukan dan memandang indah keburukan. 

Larangan Allah yang demikian dan merupakan refleksi kemurahan dan kasih sayang-Nya kepada manusia, dilanjutkan dengan peringatan Allah, yang juga merupakan wujud kemurahan dan kasih sayang-Nya. Yakni Allah mengingatkan manusia terkait dengan malaikat-malaikat pengawas atas manusia. Malaikat-malaikat pengawas tersebut mencatat dan menyalin apa pun yang kalian lakukan wahai manusia. Malaikat-malaikat pengawas tersebut mengetahui dengan baik apa-apa yang kalian perbuat. Dengan demikian, salinan catatan mereka pasti benar, tidak ada yang salah dan sempurna, tidak ada yang tidak tercatat. (QS. Al-Infithar/ 82: 9-12).

Peringatan dan pemberitahuan Allah terkait dengan keberadaan malaikat-malaikat pengawas tersebut, sejati menjadikan manusia berhati-hati dalam berbuat, jangan sampai terjatuh dalam perbuatan batil, buruk, jahat, kemungkaran dan dosa maksiat. Wujud kemurahan dan kasih sayang Allah yang tak kalah pentingnya bagi manusia agar ia tidak bersikap ghurur kepada Allah adalah bahwa di hari akhirat ada pembalasan atas perbuatan manusia. Perbuatan baik dibalasa dengan kenikmatan. Sebaliknya perbuatan jahat, dosa, maksiat dan kedurhakaan dibalas dengan kesensaraan abadi. Manusia yang dianugrahi kenikmatan adalah kelompok manusia al-abrar. Adapun kelompok manusia ditimpah kesensaraan adalah kelompon manusia al-fujjar. akhirat terbagi. (QS. Al-Infithar/ 82: 13-16).

Berdasarkan besarnya kasih sayang dan kemurahan Allah kepada manusia seperti telah diuraikan di atas, penuls ingin mengatakan dengan tegas bahwa sesungguhnya Allah mewajibkan manusia manusia surga kenikmatan-Nya. Sebaliknya Allah mengharamkan manusia masuk ke dalam neraka-Nya. Buktinya Allah membuka selebar-lebar dan seluas-luasnya jalan-jalan menuju surga kenikmatan, dengan memerintahkan perbuatan-perbuatan yang benar, baik dan indah. 

Sebaliknya Allah melarang dan mencegah manusia agar tidak melewati lorong-lorong menuju neraka. Dengan kata lain, Allah melarang perbuatan-perbuatan dosa, maksiat dan kemungkaran. Dan sekiranya, manusia berada dan berjalan di lorong-lorong neraka, Allah masih saja memberikan fasilitas kemurahan dan kasih sayang agar keluar dan meninggalkan lorong-lorong neraka tersebut, yakni berupa fasilitas istigfar dan taubat. 

Jika demikian halnya, lalu mengapa masih banyak manusia.yang melakukan perbuatan-perbuatan ghurur, yakni pengingkaran, keduhakaan, kemaksiatan dan perbuatan apa saja yang bisa merasakan kesensaraan abadi? Apa yang menjadi faktor atau penyebab utama ketergelinciran manusia? 
Menurut penulis, jawaban atas pertanyaan di atas adalah kebodohan manusia. Bagaimana tidak dikatakan demikian, kebenaran sudah sangat jelas. Demikian pula dengan kebatilan, sudah sangat jelas. Akibat dan balasan kebajikan begitu nikmat dan membahagiakan. Begitu pula balasan kedurhakan begitu menyensarakan. Allah telah menutup jalan kebatilan dengan begitu rapat. Bahkan Allah membuka pintu istigfar dan taubat selebar-lebar bagi mereka yang berdosa. Sedangkan kebaikan begitu lebar dan luas. Bahkan dimudahkan oleh Allah. 

Puncaknya dinyakini bahwa manusia sejatinya tidak memiliki alasan untuk melakukan pengingkaran, penyimpangan, bahkan tidak juga ada sebab yang dapat mengantar manusia kepada kedurhakaan, kemaksiatan dan keberpalingan dari Allah. Jika demikian halnya, lalu apa yang menjadi penyebab utama manusia terjatuh dalam kedurhakaan, kecuali kebodohan. 

Salah satu bukti nyata dari kebodohan manusia yang disebutkan dalam QS. Al-Infithar ayat 9, yaitu: "kalla bal yukazzibuuna bi ad-diin."  yang berarti, tidak, tetapi engkau mendustakan ad-din. Menurut penulis, yang dimaksud dengan pendustaan ad-din adalah pendustaan manusia terhadap agama, padahal agama adalah kebutuhan primer bagi manusia. Dengan perkataan lain, tanpa agama, manusia sungguh secara rohaniah telah berhenti menjadi manusia. Maksud lain dari pendustaan ad-din adalah mendustakan hari pembalasan, hari akhirat atau hari kiamat. Keberadaan hari kiamat, hari akhir dan atau hari pembalasan telah dikemukakan sangat jelas pada 5 ayat awal dari surah al-Infithar. Demikian pula pada 5 ayat terakhir surah ke 82 tersebut. Terkait dengan masalah kebodohan dapat didaras dalam tulisan penulis yang lain. Wa Allah A'lam.

Makassar, 26 Januari 2022.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT SULAWESI SELATAN

SISTEM KEKERABATAN ORANG BUGIS, MAKASSAR, MANDAR DAN TORAJA

SEKILAS SEJARAH MASUKNYA KRISTEN DI ALOR