KHAZANAH SEJARAH:SEMUA PENDAPAT IMAM MAZHAB, DASARNYA MERUJUK PADA ALQURAN DAN HADIS (1)

by Ahmad M. Sewang

Bagian Pertama
Dalam laporan pandangan mata Ibn Batutah, seorang pengembara Arab Maroko, singgah di Samudera Pasai pada tahun 1345 M. Ia mengagumi kemampuan Sultan al-Malik al-Zahir berdiskusi tentang berbagai masalah syariat Islam dan ilmu fikih. Menurut Ibn Batutah, Kerajaan Samudera Pasai menganut mazhab Syafii dalam fikih, al-Gazali dalam tasawuf, dan As'ary dalam teologi. Dari sinilah islamisasi berlangsung ke Kerajaan-kerajaan Nusantara yang sisa-sisanya masih banyak kita temukan dalam masyarakat sekali pun sudah berlangsung beberapa abad silam.

Di usia masih remaja, saya masih mendengar dari masyarakat agar berhati-hati, sebab mazhab fikih terbaik adalah Syafii, teologi adalah al-As'ary, sedang dalam tasawuf adalah al-Gazali.  Seseorang tidak dibolehkan pindah-pindah mazhab agar mendapat jaminan keselamatan nanti di akhairat. Pindah mazhab hanya dibolehkan dalam keadaa darurat, seperti saat menunaikan ibadah haji. Alasannya, di tanah haram, di tengah keramaian manusia susah mendapatkan air. Namun segera setelah pulang ke tanah air, harus segera kembali ke mazhab semula. Pesan tersebut tidak bisa dilupkan begitu saja sekali pun zaman sekarang sudah sangat sulit mengamalkannya, belum lagi di era keterbukaan yang mudah mengakses berbagai informasi: pendapat, fatwa, dan pengetahuan.

Sejalan dengan perjalanan waktu, terjadi banyak perubahan. Dalam ilmu sosial disebutkan, "Tidak ada yang tetap kecuali perubahan itu sendiri." Seseorang tidak lagi seketat seperti dahulu, terutama terjadi pada kelompok scholar, merekalah yang pertama kali bersentuhan perubahan itu. Dalam filsafat sejarah dipelajari bahwa belajar sejarah bagaikan orang yang sedang mendaki ke puncak gunung kearifan. Ketika masih di kaki gunung yang ia lihat sebatas yang bisa disaksikan, seperti laut di depannya. jika ada yang berkata, di balik gunung ada juga lautan luas, ia tidak percaya bahkan ia ikut menyalahkannya, karena memang ia belum pernah melihatnya. Tetapi, semakin jauh ia mendaki ke atas puncak, semakin jauh dan luas horizon lautan yang disaksikannya di depannya, sampai tiba di atas puncak barulah sadar bahwa memang masih ada laut membentang di balik gunung yang selama ini selalu dibantahnya. Dalam sejarah dicontohkan, selama ini Arung Palakka diketahui seorang penghianat karena dia berkoalisi dengan kolonial. Dalam perspektif lain seperti dipahami sebagian orang bahwa Arung Palakka seorang pejuang, karena ia ingin mempertahankan kerajaan Bone dari hegemoni kerajaan Goa. Untuk bisa berpikir pada perspektif lebih luas haruslah siap mendaki gunung sampai ke atas puncak.

Dalam perjalanan panjang pendakian gunung atau dengan kata lain studi Islam, sekali pun diakui masih sangat terbatas, seperti kata Imam Syafii, "Semakin banyak saya ketahui, semakin banyak pula saya tidak tahu". Dari yang sedikit itu, saya sudah bisa numpang berpijak di atan pundak guru-guruku dan melihat dunia ini lebih luas bahwa metode berpikir para mazhab sama dengan manusia yang selalu berubah menuju kesempunaan. Para ilmuwan berpandangan, "Semakin cepat perubahan itu pada diri seorang ilmuwan, menandakan bahwa dia semakin cerdas." Imam Syafii hanya pindah tempat dari Bagdad ke Mesir pendapatnya sudah berubah, sehingga ada qaul alqadim (pandangan lama ketika di Bagdad) dan qaul aljadid (pandangan baru ketika di Mesir). Beliau melihat suasana Mesir sudah jauh berubah dibanding di Bagdad. Munculah kaidah fikih bahwa hukum berubah sangat dipengaruhi oleh waktu dan tempat (تغير الأحكام بتغيير الزمان والمكان). Pandangan para Imam Mazhab adalah produk historis yang muncul setelah era Rasulullah saw. Tetapi perlu pula diapresiasi bahwa imam-imam mazhab memiliki kemampuan untuk merespon zamannya dalam berfastabiqul khaerat agar seluruh ibadah dan amaliah mereka lebih dekat pada perintah Nabi dan Allah swt. Sekali pun respon tersebut perlu selalu dievaluasi karena pandapat mereka terbatas, dibatasi oleh waktu dan tempat.

Sebagai produk historis, tentu saja memiliki kelebihan sekaligus kekurangan. Imam Syafii mengakui memiliki kekurangan. Mari kita renungkan pernyartaan beliau di bawah ini,
امام الشافعى قال: والله ما أبالي أن يظهر الحق على لسانى أو على لسان خصمى
Imam Syafii berkata, "Saya tidak peduli, apkah kebenaran itu lahir dari lisanku atau lisan orang lain." (baca buku الصحوة الاسلامية ).
Artinya, tidak selamanya kebenaran itu bisa lahir dari beliau, boleh jadi lahir dari orang lain. Semua mazhab demikian pula, pendapat mereka pun berbeda-beda satu sama lain. 

Menurut pendapat saya, pasti akan lebih menguntungkan bagi umat secara keseluruhan, jika mereka tidak membatasi pendapatnya dengan sekat-sekat sempit. Mereka perlu diberi ruang seluas-luasnya untuk secara bebas mengakses semua mazhab dan mengakomodasinya. Tinggal mereka memilih, mana pendapat lebih mendekati kebenaran dan lebih relevan untuk diakomodasinya. Memang pandangan ini sudah banyak dipraktekan, seperti jadi judul artikel ini, yaitu bukankah semua mazhab mendasarkan pandangannya pada Alquran dan hadis. Sudah banyak seruan, "Mazhab siapa pun bisa diterima jika pendapatnya lebih relevan."

Natijah:
1. Semua mazhab dalam Islam, pada dasarnya merujuk pada Alquran dan hadis, yang beda adalah penafsirannya. Beda penafsiran tidak boleh disalahkan, walau sudah ada  yang mungkin tidak up date lagi, sejalan berlalunya masa.
2. Keuntungan yang diperoleh jika seseorang sepakat pada semua mazhab, maka ia akan bisa memilih pandangan terbaik dari semua yang ditemukan dalam Islam, juga sekaligus membebaskan umat dari sikap fanatisme yang dilarang.
3. Tulisan ini, hanya sekedar mempertegas dari apa yang sudah banyak diamalkan, walau dalam waktu bersamaan, masih dijumpai di tengah masyarakat yang tidak ingin mengutip di luar pendapat mazhabnya. (bersambung)

Wasalam,
Makassar, 25 November 2021


Bagian Kedua
Di antara penyebab kemunduran umat karena masih memelihara kecurigaan antara sesama hanya karena perbedaan mazhab. Masih ada sebagian masyarakat muslim lebih suka mengutip pendapat ilmuwan-non muslim daripada sesama muslim. Mereka menghindari informasi dari sesama muslim hanya karena beda mazhab. Seharusnya metode ini di balik, jika non-muslim saja bisa dikutip, apa lagi sesama muslim. Seperti saya pernah temukan bahwa pada sebuah komunitas muslim Indonesia di pinggiran kota Melbeurne, Australia. Mereka sengaja kami datangi bersama Prof. Dr. Zamahsary Dzafir, Prof. Dr. Muhammadiyah Amin, dan kawan-kawan lainnya. Komunitas tersebut sementara mengajarkan Tafsir al-Misbah, karya Prof. Quraish Shihab. Ketika saya tanyakan kelebihan dan kekurangan tafsir itu. Menurutnya, kelebihannya pada formulasi bahasanya yang lebih mudah dicerna masyarakat muslim Indonesia di Melbourne, tetapi kekurangannya, karena tafsir Misbah mengutip pendapat al-Tabataba'i, sedang at-Tabataba'i adalah penganut mazhab Syiah. Namun, setelah saya tanyakan lebih jauh, kenapa jika mengutip pendapat Plato, Agustinus, dan Goerge Sarton tidak dimasalahkan? Mendengar itu, mereka terdiam tak menjawab.

Mengutip pendapat mazhab lain, dilihat dari pengembangan ilmu, sama sekali bukan sesuatu yang terlarang, sama dengan mengutip pandangan non-muslim. Apalagi jika yang dibicarakan masalah sosial kebudayaan. Keberanin ilmuwan muslim di periode klasik bersikap inklusif dalam transfer of knowledge dari Yunani, telah mengantar mereka ke puncak kejayaan yang disebut oleh George Sarton, "The golden age of Islam." Keterbukaan menunjukkan keberanian menembus batas demi memperluas wawasan, seperti kata Prof. Quraish Shihab, "Semakin luas wawasan seseorang berbanding lurus dengan sikap toleransinya pada orang lain." Keterbukaan menunjukkan kebesaran hati seorang muslim. Sebaliknya, ketertutupan pada mazhab tertentu menunjukkan sikap taassub yang selama ini selalu datang mengintai dan memecah-belah umat. Sikap taassub menandakan bahwa umat masih terperangkap pada sekat-sekat sempit yang dibuatnya sendiri. Semangat yang ingin dikembangkan tulisan ini bahwa dari mana pun pendapat itu, jika ternyata bisa mengantar pada maslahatul ammah, sebaiknya diakomodir. Sebaliknya, dari mana pun pendapat itu, walau dari diri sendiri, jika jadi penyebab timbulnya kegaduhan di masyarakat, hendaknya jangan disebarluaskan. 

Nabi saw. menghendaki agar berani berijtihad. Menurutnya, semua hasil ijtihad akan diberikan pahala, sepanjang dilakukan secara tulus. Andai pun hasil ijtihad itu salah, pahala tetap diperoleh sebagai penghargaan pada usaha ijtihadnya. Dari sini bisa dipahami, jika Nabi melarang mengafirkan sesama muslim yang sudah bersyahadat sekali pun beda pandangan, 
 من كفر اهل لاله الاالله فهو إلى الكفر اقر ب
Sebuah peringatan pada sesama muslim agar tidak mudah mengafirkan hanya karena beda pendapat.

Untuk melihat perspektif lebih luas, di sini saya sengaja kutipkan pendapat Prof. Muhammad Shahrur. Kenapa Shahrur? Bukankah beliau seorang yang kontroversi? Ini sikap konsistensi bahwa mengutip tulisan beliau yang posotif seharusnya bisa diakomodir. Sedang pendapat beliau yang dianggap negatif jangan disebarkan. Tidaklah bijak jika melakukan generalisasi pada beliau seakan tidak ada lagi secercah cahaya kebaikannya. Persis dengan mazhab, jika tidak setuju dalam satu hal, tidak harus ditolak secara keseluruhan, menurut saya cara seperti ini tidak fair.

Pendapat seseorang juga sangat tergantung pada kapan dan di mana, تغير الأحكام بتغيير الزمان والمكان (Perubahan hukum sangat dipengaruhi waktu dan tempat). Karena itu, Shahrur menulis, seperti pada tulisan aslinya,
أَيْنَ نَبْحَثُ الإسلامَ وكيف نبحثُ؟ فى الأزهر, الزيتون, النجف, أم مكة, قُوْم, بغداد أم فى القدس؟ وهل نبحث عن الإسلامِ بِعُيُوْنِ الشافعى أو مالك أمْ بعيونِنَا نحنُ اليوم؟ وهل نَلْتَمِسُ الإسلامَ فى الكتب أمْ فى الواقعِ, ففى أيِّ واقع نَعْنِىْ؟  واقعُ القرنِ السابعِ الميلادى أمْ واقعُ القرنِ العشرين؟
(Di mana Islam itu dibahas dan bagaimana membahasnya? Apakah di al-Azhar, Zaitun, Nejeb, atau Mekah, Qum, Bagdad, atau di Quds? Apakah Islam dibahas menurut pandangan Syafii, Maliki atau pada masa sekarang ini? Apakah kita mencari Islam dalam buku atau dalam kenyataan; dalam kenyataan apa yang dimaksud?
Realitas abad ke-7 atau abad ke-20 M?). 

Menurut Shahrur akan ditemukan nuansa perbedaan karena beda masa dan tempat. Shahrur menambahkan, jika ada yang menghendaki agar realitas Islam abad ke-21 ini disamakan dengan realitasnya di abad ke tujuh, maka ia seperti memutar roda sejarah. Itu berarti ia melupakan perjalanan sejarah yang terus-menerus berkembang dan tidak pernah berhenti. Menurutnya, memutar mundur roda sejarah sama dengan menentang takdir.

Natijah:
1. Kembali ke judul di atas, semua pendapat Imam Mazhab, pada dasarnya merujuk pada Alquran dan hadis. Perbedaan terletak pada penafsiran, sedang beda tafsir tidak bisa dikafirkan.
2. Sesungguhnya, mazhab fikih, teologi, dan tasawuf dalam Islam adalah ratusan, ada yang masih eksit dan ada pula sudah hilang dalam sejarah. Setiap mazhab terbagi lagi ke beberapa sub mazhab, sebagai contoh dalam mazhab Ahlisunnah wal Jamaah (AWJ), misalnya, AWJ ada versi Wahabiah, beda dengan AWJ versi NU di Indonesia, demikian juga Wahdah Islamiayah yang dalam AD-nya, juga mencantumkan berpaham AWJ. Namun, insya Allah mazhab akan ketemu jika yang dicari titik temu dengan mengkomodasi semua pendapat terbaik dari mana pun datangnya. Sebaliknya, jika yang dicari-cari titik beda sampai kiamat pun tidak akan bisa ketemu dan sepakat.
والله اعلم.
Wasalam,
Makassar, 29 November 2021

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT SULAWESI SELATAN

SISTEM KEKERABATAN ORANG BUGIS, MAKASSAR, MANDAR DAN TORAJA

SEKILAS SEJARAH MASUKNYA KRISTEN DI ALOR