KHAZANAH SEJARAH:KONTROVERSI UCAPAN SELAMAT HARI NATAL


by Ahmad M. Sewang

Bagian 1
Ucapan Selamat Hari Natal telah meninggalkan kontroversi di kalangan umat dari masa ke masa. Kontroversi semakin memuncak saat memasuki tanggal 25 Desember setiap tahun yang diyakini sebagian besar umat Kristiani sebagai hari kelahiran Nabi Isa a.s. Perbedaan fatwa di kalangan ulama tentang boleh tidaknya mengucapkan Selamat Hari Natal pada umat Kristiani dapat dimaknai positif dan dinamis untuk mendapatkan sebuah hasil ijtihad terbaik. Fatwa ulama, pada dasarnya terbagi dua, sebagian mengharamkan dan sebagian lagi membolehkan. Jadilah masalah ini dalam Islam disebut masalah khilafiah, sedang masalah khilafiah sebaiknya disikapi dengan bijaksana sebab jangan sampai timbul mudarat lebih besar, yaitu perpecahan di kalangan umat. Sebagai diketahui dalam sejarah bahwa salah satu prinsip ajaran Islam yang dicontohkan Nabi saw. pada periode Madinah adalah membangun ukhuwah, bukan hanya islamiah, juga basyariyah, dan wathaniyah. 

Di antara faktor penyebab terjadinya perbedaan dalam Islam adalah sifat hukum Alquran sendiri, ada yang muhkamat dan mutasyabihat; ada yang bersifat qatiyat (pasti) dan zanniyat; syarih (jelas), dan muawwal (interpretasi). Berkenaan dengan ayat-ayat yang bersifat mutasyabihat, zanniyat, dan muawwal memungkinkan hasil ijtihad ulama bisa berbeda-beda. Andai Allah menghendaki satu pendapat saja, maka cukup menurunkan ayat-ayat muhkamat dan qatiyat, namun Allah swt. menurunkan ayat-ayat mutasyabihat, zanniyat, dan muawwal agar umat bisa berpastabiqul khaerat dan membiasakan sikap tasamuh pada perbedaan yang bisa timbul karena masalah ijtihad. Perbedaan yang timbul karena ijtihad adalah sunnatulah sekaligus al-sarwah atau sebuah khazanah kekayaan.  Karena itu seruan yang sering didengunkan, "Kembali kepada Alquran dan hadis," sebenarnya bisa diartikan, kembali kepada aneka ragam pendapat. Jadi maksud sesungguhnya adalah "Menjadikan kedua pedoman itu sebagai premis utama dalam berpikir seorang ulama, ibarat kata orang Minang, "Duduk tegak di atas sajadah sehelai." Hikmah lain, perbedaan dalam masalah furu' agar umat bisa menghargai perbedaan pendapat. Sebab para ulama yang berangkat dari niat yang tulus dan hati yang bersih, li ibtiga mardatillah. Menurut yang saya pahami, perbedaan yang dilarang jika mengarah pada konflik. Syekh Yusuf al-Qardawi berkata, "Barang siapa yang menginginkan keluar hanya dengan satu pendapat dalam masalah ijtihadiyah, kata beliau, لم يكن وقوعه, tidak mungkin terjadi dalam realitas, sebab berarti sudah menantang sunnatullah. (Baca buku al-sahwatul Islamiah).

Fatwa tentang boleh tidaknya mengucapkan Selamat Hari Natal, ternyata di belakang ditemukan sesuatu yang lebih substantif, yaitu apakah umat memahami argumentasi yang melatari perbedaan para ulama dalam menyikapinya ucapan selamat itu, baik yang mengharamkan atau pun menghalalkan? Itu adalah masalah ijtihadiyah. Memahami secara detail argumentasi, jauh lebih substantif dan lebih akademik dari pada sekedar ikut-ikutan membenarkan atau menyalahkan. Umat yang hanya ikut-ikutan itu oleh Syekh Yusuf al-Qardawi menyebutnya sebuah sikap fanatisme yang dilarang Islam. Sikap paling elegan menurut beliau dalam bukunya Figh Awlawiyat, yaitu memahami lebih dadulu argumen masing-masing yang berbeda itu, baru mengambil keputusan. Jadi soal setuju atau sebaliknya adalah masalah nomor dua.

Bagaimana jika nantinya umat atau ulama harus mengubah pendapatnya dari sebelumnya, karena ada pandangan baru yang menurutnya jauh lebih kuat dan relevan? Menurut saya, itulah sebaiknya yang menjadi karakteristik seorang ilmuwan sejati. Einstein, misalnya, pengembang teori relativitas, secara periodik mengubah pendapatnya, karena teori-teori baru yang ditemukannya berbeda dengan sebelumnya. Dalam bidang agama, Imam Syafii mengubah pendapatnya hanya karena pindah tempat dari Bagdad ke Mesir. Di sini dikenal ungkapan,  تغير الأحكام بتغيير الزمان والمكان Keduanya adalah ilmuwan besar dunia, di bidang sains dan di bidang agama. Mereka tidak boleh disebut hiporkik atau tidak konsisten, melainkan mereka justru harus dihargai sebagai ilmuwan pencari kebenaran. Mereka ilmuwan yang memiliki prinsip, yaitu kembali pada kebenaran adalah wajib. Jadi, apa pun hasilnya setelah berusaha keras memahami kontroversi masalah ucapan selamat hari natal. Pegang teguhlah itu, tanpa perlu menyalahkan orang lain.

Kurang lebih 10 fatwa dari mufti sepuluh negara, baik ulama salaf atau ulama khalaf telah saya kumpulkan. Kesimpulan yang saya peroleh dari kedua kategori ulama tersebut bahwa secara umum ulama salaf mengharamkan ucapan Selamat Hari Natal. Pendapat itu dikemukakan oleh empat Imam Mazhab, Ibn Taimiyah, dan sebagian ulama khalaf, seperti Syekh Abdullah bin Baz, Ulama Indonesia antara lain Buya Yahya, dan Ust. Abd. Samad, dan ulama lainnya. Berbeda dengan ulama khalaf atau ulama kontemporer, mereka umumnya membolehkan ucapan Selamat Hari Natal, seperti Wahbah al-Zuhayli, Yusuf al-Qardawi, Mufti Mesir, Ali Jum’ah, Syaraf Qudat, ahli hadis Jordania. Di Indonesia Prof. Quraish Shihab, Prof. Din Syamsuddin, dan ulama lainnya.

Sekali lagi, sebenarnya paling utama dalam menyikapi masalah ucapan Selamat Hari Natal bukanlah masalah boleh atau tidaknya ucapan itu, tetapi adalah memahami lebih dahulu secara detail dalil atau argumentasi masing-masing, baik yang membolehkan atau pun yang mengharamkan. Sehingga kita tidak termasuk orang-orang yang sekedar ikut-ikutan atau fanatik buta dalam beragama. Jadi umat harus manguasai secara seimbang lebih dahulu argumen mereka. Tentu saja, untuk mendapatkan hasil maksimal, harus berani mengenyampingkan lebih dahulu asumsi yang sudah melekat dipikiran demi memelihara kemurnian hasil. Di samping itu perlu bantuan pengetahuan agama dan umum sebagai ilmu alat yang bisa membantu untuk sampai pada kesimpulan. Munurut Imam Syafii, ilmu itu cahaya semakin lengkap ilmu alat yang digunakan semakin terang cahaya itu menerangi menuju ke sebuah kebenaran. 

Untuk itu, umat yang sudah memiliki kemampuan berijtihad sendiri, diharapkan bisa memanfaatkan kemampuan itu. Bukankah, Allah swt. mengangkat derajat hanya orang yang beriman dan berilmu? Namun jika belum bisa berijtihad berhubung karena keterbatasan, maka cukup ittiba' dengan menanyakan, bukan pada sembaran orang tetapi pada para ulama muktabarah yang diakui otoritasnya dalam berfatwa. Dalam QS al-Albiya: 7, Allah berfirman:
 فسالوا اهل الذكر ان كنتم لا تعلمون
Maka tanyakanlah pada ahla al-zikr bila kalian tidak tahu.

Tulisan ini sengaja dibuat dalam beberapa seri, yaitu didahului seri pertama sebagai pengantar, menyusul seri kedua tentang fatwa ulama yang mengharamkannya, kemudian seri ketiga fatwa ulama yang membolehkan dengan dalil atau argumentasi masing-masing. Insya Allah akan diupayakan secara seimbang bahkan netizen diharapkan bisa berpartisipasi untuk melengkapinya. Oleh sebab itu, para netizen diminta menyimaknya secara detail. Setelah memahami dalil atau argumentasi masing-masing, barulah memutuskan, mana yang akan diikuti. Langkah ini jauh lebih bisa  dipertanggungjawabkan baik secara agama atau pun secara akademik. Seri keempat tentang bagaimana sesungguhnya pandangan Buya Hamka sebagai Ketua Umum MUI Pusat Pertama. Pandangan beliau diperlukan sebab setiap tulisan tentang ucapan selamat Natal sering dinisbahkan pada pendapat beliau. Apa benar Buya berpendapat demikian atau sekedar dinisbahkan padanya? Seri kelima akan dikemukakan sebuah kesimpulan yang akan dijadikan penutup. Sayang sekali, tulisan yang berseri ini tidak bisa diikuti setiap hari, karena saya sudah berkomitmen pada salah satu media khusus yang ikut menyebarluaskan tulisan ini bahwa hanya bisa dimuat dua kali sepekan, yaitu pada hari Senin dan Kamis. Karena itu dibutuhkan kesabaran para netizen menunggu urutan seri-seri tersebut.

Semangat yang diembang tulisan ini, bagaimana saling menghormati perbedaan dalam masalah khilafiah demi persatuan umat. Perlu diketahui, ulama salaf dan khalaf yang berbeda hasil fatwanya itu, saya yakin, mereka bukan ulama sembarangan, melainkan ulama besar di masanya. Mereka juga bukan ulama yang bisa dibeli. Sebagai umat pencari kebenaran, juga wajib menyampaikan fatwa mereka secara adil dan transparan, sesuai perintah Allah swt. QS al-Maidah ayat 8 yang dijadikan pegangan,
...... وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ .....
 ... . Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. ...

Wasalam,
Makassar, 20 Desember 2021

Bagian 3
Ternyata ada permintaan dari netizen agar seri ini lebih dipercepat, sehingga sudah selesai ditelaah semua dalam bulan Desember dan masalah ucapan Selamat Hari Natal dianggap masih relevan di bulan itu. Jika lima seri tulisan ini dimuat dua kali seminggu, maka seri terakhir akan memasuki awal Januari 2022. Untuk itu, saya berusaha memenuhi permintaan tersebut dengan memposting seri ketiga hari ini.

ULAMA YANG MEMBOLEHKAN

Ulama yang membolehkan ucapan Selamat Hari Natal umumnya dari ulama khalaf, yaitu Wahbah al-Zuhayli, ahli fikih asal Suriah, penulis buku, al-fiqh al-islamy wa Adillatuhu dan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia 10 Jilid. Wahbah al-Zuhali mengatakan, "Tidak ada halangan mengucapkan Selamat Natal sebagai sopan santun (mujamalah) dengan orang Nasrani menurut sebagian fukahaa berkenaan hari raya mereka asalkan tidak bermaksud sebagai pengakuan atas (kebenaran) ideologi mereka." Ulama dunia yang membolehkan yaitu Syekh Yusuf Qardhawi (lahir 9 September 1926). Beliau Direktur Uni Ulama se Dunia yang berkedudukan di Qatar. Beliau berkata, "Mayoritas ulama kontemporer membolehkan mengucapkan Selamat Hari Natal pada umat Nasrani. Beliau menjelaskan, "Perbedaan situasi dan kondisi dunia telah membuat saya berbeda pendapat dengan Ibnu Taimiyah tentang kebolehan mengucapkan selamat pada hari raya Nasrani." Ucapan selamat dibolehkan apabila berdamai dengan umat Islam, khsusnya bagi umat Kristen yang memiliki hubungan khusus dengan seorang muslim seperti hubungan kekerabatan, bertetangga, berteman di kampus atau sekolah, kolega kerja, dan lain-lain. Mengucapkan selamat termasuk kebaikan yang tidak dilarang oleh Allah bahkan termasuk perbuatan yang disenangi Allah sebagaimana sukanya pada sikap adil (Allah menyukai orang-orang yang bersikap adil). Apalagi, apabila mereka juga memberi ucapan selamat pada hari raya umat Islam. Allah berfirman, 'Apabila kalian dihormati dengan suatu penghormatan, maka berilah penghormatan yang lebih baik."

Al-Qardhawi juga menjelaskan bahwa tidak ada hal yang mencegah untuk mengucapkan selamat pada perayaan non-muslim akan tetapi tidak ikut bersama memperingati ritual agama mereka atau ikut bersama merayakan. Tidak ada larangan bagi muslim mengucapkan selamat pada non-muslim dengan kalimat yang biasa yang tidak mengandung pengakuan atas agama mereka. Ucapan selamat itu hanya kalimat keramahtamahan yang biasa dikenal.

Ulama lain yang membolehkan adalah fatwa ulama hadis Jordania, Dr. Syaraf Qudat, yaitu: beliau menyetujui ucapan selamat hari natal kepada komunitas Kristen sebagai bagian dari perintah Alquran untuk berbuat baik pada mereka. Menurutnya, sama sekali tidak bisa diartikan bahwa ucapan itu bagian dari pengakuan atas kepercayaan Kristen.

Saya menerima postingan youtube dari WA Dosen Progresif UINAM yang dikutip dari Habib Ali al-Jufri bahwa mengucapkan Selamat Hari Natal dibolehkan sepanjang tidak meyakini kepercayaan mereka, sebagaimana terjadi di Mesir setiap tanggal 12 Rabiul Awal para Uskup mendatangi Grand al-Azhar mengucapkan selamat atas kelahiran Nabi Muhammad saw. Pertanyaannya, apakah para Uskup setelah mengucapkan selamat langsung mengubah keyakinannya pada Islam? Selanjutnya beliau menjelaskan larangan ulama salaf dalam mengucapkan selamat hari Natal disebabkan karena umat masa itu belum bisa membedakan, mana muamalah dan mana ibadah atau akidah, kata Habib Ali al-Jufri.

Di bawah ini saya mengutip dua ulama Indonesia, yaitu Prof. Quraish Shihab dan Prof. Din Syamsuddin. H.M. Quraish Shihab menyatakan "Saya tahu ada ulama besar di Suriah, Mustafa Al Zarka’a memberi fatwa bahwa boleh mengucapkan Selamat Hari Natal. Fatwanya itu ditulis dalam satu buku yang diberi pengantar oleh ulama besar, Syekh Yusuf al-Qaradawi. Mustafa al Zarka’a, mengatakan mengucapkan selamat Natal itu bagian dari hubungan baik.

Menurut Prof. Quraish  bahwa mengucapkan Natal berarti mengucapkan hari kelahiran Nabi Isa. Hal itu, tidak bisa diartikan Selamat atas kelahiran anak Tuhan. Para ulama yang melarang mengucapkan Selamat Natal adalah karena kekhawatiran terhadap orang awam yang belum mampu membedakan antara menjaga hubungan baik dan yang bisa merusak akidah. Untuk itu lebih baik, orang awam semacam ini tidak perlu ikut-ikutan melakukannya.

Untuk orang-orang yang sudah paham, bisa mengucapkan selamat Natal kepada teman-teman Kristen. Quraish Shihab berkata lebih lanjut, agama membolehkan mengucapkan suatu kata seperti apa yang diyakini, walau dipahami lain mitra bicara Anda, sebagai contoh, Nabi Ibrahim dalam perjalanannya menuju suatu daerah menemukan seorang penguasa di daerah itu mengambil perempuan cantik dengan syarat istri orang. Penguasa itu, nampaknya, mengidap semacam penyakit jiwa, sebab dia hanya mau mengambil istri orang. Nabi Ibrahim ditahan bersama istrinya, Sarah. Ketika ditanya, "Wanita ini siapa?" Nabi Ibrahim menjawab, "Ini saudaraku,"  maka istri Nabi Ibrahim pun selamat. Nabi Ibrahim sebenarnya tidak bohong. Maksudnya saudaraku adalah saudara seagama. Jadi kita bisa saja mengucapkan selamat Natal dengan memahaminya sesuai kepercayaan kita. 
Jadi akidah tidak ternodai dan hubungan baik pun terpelihara. Apalagi kita hidup di Indonesia, negara plural, baik dari suku, etnis, dan agama. 

Terakhir pendapat Din Syamsuddin. Pendapat beliau semasih menjabat Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dimuat oleh majalah Tempo. Beliau mengatakan, umat Islam boleh saja mengucapkan "Selamat Natal" kepada umat Nasrani, yang dirayakan pada 25 Desember . ... Bagi Din, mengucapkan "Selamat Natal" tak jadi masalah asalkan tidak melibatkan keyakinan.

Demikian pandangan ulama yang membolehkan tanpa ada interpretasi penulis, sama dengan seri sebelumnya, yaitu ulama yang mengharamkan, dimaksudkan agar para netizen bisa lebih jauh merenung dan mempelajarinya. Seri tulisan ini memperlihatkan bahwa ternyata para ulama dalam masalah ijtihadiyah bisa berbeda hasil ijtihadnya, namun mereka saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Perbedaan semacam ini telah muncul sejak masa sahabat, para mujtahid mazhab, sampai sekarang. Insya Allah, saya akan memberi contoh detailnya pada seri terakhir yang akan datang. Kembali lagi berbeda boleh dalam upaya berfastabiqul khaerat, tetapi konflik dilarang. Bahkan dalam hadis Nabi memberi pahala kepada para mujtahid. Mereka, sebagai manusia, bisa saja di kemudian hari diketahui hasil ijtihadnya keliru, tetapi Nabi tetap menghargai usaha ijtihadnya. Penghargaan pada para mujtahid ini yang saling menghargai, jangan di balik seperti saya dapatkan pada sebagian orang bahwa berbeda adalah musuh dan dihina seakan buzzer yang harus dihabisi. Pada hal mereka adalah ulama mujtahid yang tulus.

Wasalam,
Makassar, 25 Desember 2021


Bagian 4
FATWA MUI DI ERA BUYA HAMKA

Saya termasuk pembaca setia majalah Panji Masyarakat (Panjimas) di mana Buya Hamka adalah pemrednya saat fatwa tentang natalan bersama dikeluarkan. Saya ingat rubrik Buya dalam kolom “Dari Hati ke Hati” yang memfatwakan keharaman umat Islam mengikuti upacara sakramen (ritual) Natal. Tapi, kalau sekedar mengucapkan selamat Natal (non-ritual) tidak ada masalah (dibolehkan). Saya pun tidak kesulitan membuka kembali berkas tersebut, sebab sudah berlangganan Panjimas sejak semester pertama, tahun 1973 di Fakultas Adab IAIN Alauddin Makassar dan setiap tahun saya berusaha membundelnya. Sejak berlangganan, saya berusaha melengkapinya dengan terbitan awal sejak tahun 1959. Alhamdulillah saya bisa mengumpulkannya dan semua saya sudah bundel. Sekarang majalah Panjimas tersimpan rapih pada perpustakaan pribadi saya dan memudahkan untuk menemukan semua peristiwa yang terjadi dalam kurun waktu antara tahun 1959 sampai tahun 1989. Saya berakhir berlangganan majalah tersebut karena kesibukan kuliah di PPs IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan juga mulai fokus pada persiapan untuk riset disertasi ke luar negeri di Leiden University. 

Pada dasarnya fatwa MUI di bawah kepemimpinan Buya Hamka sama dengan fatwa ulama khalaf bahwa yang tidak boleh adalah mengikuti perayaan yang bersifat sekramen atau peribadatan. Fatwa Buya Hamka bersumber dari keprihatinan dalam menyaksikan para pejabat muslim yang ikut serta pada upacara sakramen yang beliau lihat sudah menyimpang jauh kepada kemusyrikan. Sebagai Ketua Umum MUI beliau ingin memagari akidah umat, maka dikeluarkanlah fatwa MUI. Saat itu sedang terjadi euforia para pejabat ikut merayakan Natal bersama. Tidak heran, Menteri Agama, Alamsyah Ratu Prawiranegara, meminta pada Buya untuk menarik peredaran fatwa itu. Justru Buya Hamka sebagai Ketua Umum MUI yang merasa bertanggung jawab menjaga akidah umat, lebih memilih mengundurkan diri dari jabatannya ketimbang mencabut Fatwa haramnya mengikuti perayaan Natal bersama, “Sayalah yang bertanggungjawab atas beredarnya fatwa tersebut, jadi sayalah yang mesti berhenti,” kata Hamka di Harian Pelita.

Pada rubrik “Hati ke Hati” di Majalah Panjimas edisi 324/1981, Buya Hamka menulis artikel berjudul “Bisakah Suatu Fatwa Dicabut?” Almarhum mencurahkan suara hatinya yang terdalam tentang makna kerukunan umat beragama yang cenderung menyimpang. Jauh sebelumnya masyarakat sudah mengenal Buya Hamka, di akhir tahun 1950-an sudah terang-terangan menentang apa yang dinamakan Sekulerisme, Liberalisme, Kristenisasi bahkan Komunisme-Atheist. Buya Hamka sangat peduli untuk memagari akidah dan keyakinan umat Islam. Dalam curhatnya berjudul “Toleransi, Sekulerisme atau Sinkretisme,” Buya Hamka menyebut tradisi perayaan Hari Besar Agama Bersama, bukannya menyuburkan Kerukunan Umat beragama atau tasamuh (toleransi), tetapi menyuburkan kemunafikan dan kemusyrikan.

Apa hukumnya jika mengucapkan Selamat Natal? Di atas sudah dijawab Buya. Tetapi diperjelas kembali cucu kandung Buya Hamka, Naila Fauzia, yang lebih paham mengenai kehidupan Buya. Mari kita ikuti penjelasannya: "Sejak dunia media sosial menggantikan cara kita berkomunikasi dan bersilaturahmi sehari-hari, setiap menjelang Natal, saya kerap mendapatkan pertanyaan yang sama dari beberapa teman-teman, Apakah benar Buya Hamka mengeluarkan fatwa mengharamkan memberi ucapan Selamat Natal?

Selama itu pula saya selalu harus meluruskan pendapat yang beredar tersebut, hingga akhirnya, salah seorang kakak sepupu mengusulkan agar saya membuat tulisan ini. Saat Buya Hamka menjadi Ketua MUI, beliau berbeda dengan Menteri Agama saat itu, dikarenakan sang Menteri yang beragama Islam ikut merayakan Natal bersama-sama saudara-saudara Nasrani di gereja, meliputi kegiatan menyalakan lilin bersama, ikut misa dan bernyanyi bersama, yang memang merupakan tata cara beribadah umat Nasrani. 

Peristiwa semacam itulah yang melatarbelakangi, Buya Hamka mengeluarka fatwa bahwa haram bagi umat Islam untuk mengikuti Natalan bersama. Saya jelaskan lagi di sini bahwa yang haram itu, "MENGIKUTI NATAL BERSAMA", seperti ikut ke gereja, ikut berdoa, bernyanyi, menyalakan lilin dan mengikuti misa. Karena Mentri Agama menekan Buya Hamka untuk menarik fatwa tersebut, maka Buya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua MUI pada 19 Mei 1981. 

Jadi, Buya sama sekali tidak pernah mengeluarkan fatwa bahwa haram hukumnya untuk mengucapkan selamat Natal. Saat Buya Hamka tinggal di Jl. Raden Patah Kebayoran Baru, tetangga-tetangga beliau kebanyakan beragama Nasrani dan setiap Natalan, nenek (andung) saya, rutin memasak rendang dan oleh Ibu saya, paman, dan bibi saya, makanan itu dikemas untuk para tetangga yang merayakan Natal, lalu diantar ke rumah mereka masing-masing dan sekalian untuk memberikan ucapan Selamat Merayakan Natal. 

Jadi, dengan adanya penjelasan ini, mohon agar tidak ada lagi pencatutan nama Buya Hamka yang mengeluarkan fatwa haram untuk mengucapkan selamat Natal. Kita semua bersaudara. Jagalah keberagaman kita dan junjung tinggi kedamaian. Indonesiaku satu," demikian Naila Fauzia mengakhiri penjelasannya

Salam,
Naila Fauzia (a.n. Keluarga Besar Buya  Hamka). Wallahu 'Alam bi sawab.

Sekali lagi, saya mohon agar penjelasan cucu Buya dihormati dan tidak lagi terjadi pemelintiran yang dinisbahkan pada almarhum Buya Hamka.

Wasalam,
Makassar, 27 Desember 2021

Bagian 5
Sebuah fatwa tidak keluar dari ruang kosong, melainkan setelah mempertimbangkan teks secara mendalam dan konteks yang melatari pada saat fatwa itu disampaikan. Dalam hubungannya ruang lingkup fatwa ada yang membatasi pada sebuah lingkungan daerah terbatas dan ada yang melihatnya pada lingkungan lebih luas.

Perbedaan fatwa secara umum antara ulama salaf dan khalaf tidak lepas dari kondisi kapan dan di mana fatwa itu dikeluarkan. Karena itu, saya tertarik pada pendapat Syekh Yusuf al-Qardawi, "Perbedaan situasi dan kondisi dunia telah membuat saya berbeda pendapat dengan Ibnu Taimiyah tentang kebolehan mengucapkan selamat Natal pada Nasrani,"  kata al-Qardhawi. Beliau juga menambahkan agar kita bisa membedakan antara masalah ibadah dan akidah serta masalah muamalah dan kebudayaan. Mencampurbaurkan masalah ibadah dan akidah tidak dibolehkan, seperti ikut bersama dalam upacara sekramen, ikut menyanyi, misa, dan membakar lilin. Sebaliknya jika sekedar mengucapkan selamat Merayakan Hari Natal, maka itu termasuk masalah mujamalah untuk menjaga hubungan baik. Pendapat ini diikuti ulama tafsir Indonesia, Prof. Quraish Shihab, tetapi beliau juga menambahkan seseorang yang ingin mengucapkan Selamat Merayakan Natal harus lebih dahulu mampu membedakan mana bagian ibadah dan akidah serta mana bagian muamalah kebudayaan.

Saya juga memiliki empati pada fatwa Buya Yahya, dengan mengatakan, "Kami Haramkan Ucapan Selamat Natal, namun tidak boleh memaki ulama yang membolehkan Ucapan Selamat Merayakan Hari Natal," menyinggung fatwa ulama Yaman, Habib Ali al-Jufri yang membolehkan.
Demikan halnya, pendapat Ust. Abd. Somad yang juga mengharamkan ucapan Selamat Merayakan Hari Natal, namun beliau meminta agar tetap menghormati umat Nasrani. Buya Yahya dan Ust. Abd. Somad menyadari bahwa keduanya sedang berada di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang warganya plural; aneka suku, etnis, dan agama. Andai kata, hanya mengikuti sepenuhnya fatwa ulama salaf yang latar belakang kondisi yang jauh berbeda dengan masa kini, maka umat akan mengalami kesulitan, seperti fatwa Ibnu Hajar al-Haitami, pengikut mazhab Imam Syafii bahwa jual belih saja tidak dibolehkan, menyerupai cara mereka berpakaian. Saya teringat, pada zaman kolonial dahulu ada fatwa tentang larangan memakai dasi dan pantolan (celana panjang), karena pantolan menyerupai pakaian kafir. Untuk itu, perlu para netizen membuka ulang postingan saya tentang asbab al-wurud hadis menyerupai, 
من تشبه بقوم فهو معه
Seperti telah dikemukakan pada seri pertama bahwa tentang boleh tidaknya mengucapkan Selamat Hari Natal adalah masalah kedua. Masalah paling utama dan lebih substantif adalah memahami lebih dahulu argumentasi yang melatari perbedaan para ulama tersebut, sehingga umat ini tercerahkan dan bukan menjadi umat fanatis ikut-ikutan yang justru dilarang agama. Saya juga berkata perbedaan fatwa para ulama adalah perbedaan ijtihad sedang masalah ijtihad pasti akan menghasilkan perbedaan. Namun, hasil ijtihad seorang mujtahid seharusnya diapresiasi. Nabi saw. sendiri mengapresiasinya, sampai beliau bersabda, "Andai hasil ijtihad itu ternyata salah, maka ulama mujtahid tersebut tetap mendapatkan satu pahala" sebagai penghargaan pada usaha ijtihadnya.

Saya juga telah kemukakan ulama yang berbeda dalam masalah ijtihad adalah mujtahid yang patut mendapat penghargaan. Mereka adalah ulama besar, khadimul ummat, pewaris Nabi yang tidak mungkin menggadaikan diri mereka untuk kepentingan sesaat. Karena itu, patut kita apresiasi dan hormati, sekali pun kita berbeda pendapat dengan mereka. Perbedaan itu bisa saja terjadi disebabkan perbedaan waktu dan tempat di mana fatwa itu disampaikan. Hanya dengan demikian umat bisa bersatu dalam perbedaan, unity and diversity. Dengan semangat persatuan itulah, saya telah menulis sebuah buku, "Persatuan Umat dan Saling Memahami Perbedaan."

Mengingat seri kelima ini terlalu panjang, maka saya bagi dua dan menambahkan satu seri lagi, yaitu seri keenam sebagai penutup yang Insya Allah sudah selesai diposting 30 Desember 2021. (Bersambung)

Wasalam,
Makassar,  28 Desember 2021

Bagian Keenam
Ternyata seri keenam juga masih panjang, maka seri ini juga dibagi dua dan ditambahkan satu seri lagi yaitu seri ketujuh. Namun, seri keenam diposting hari ini dan seri ketujuh besok, sehingga selesai sesuai yang dijanjikan besok 30 Desember 2021. Mohon maaf pada para netizen atas sebuah kondisi yang tidak bisa diperhitungkan sebelumnya.

Kesempatan ini saya akan memberi contoh konkret bagaimana para ulama berbeda tetapi saling hormat satu sama lain. Contoh tersebut mulai dari para sahabat Nabi, para ulama mazhab, sampai ulama masa kini di Indonesia, yaitu:
1. Bagaimana perbedaan para sahabat menanggapi perintah Nabi tentang hadis بنى قريضة (sudah bernah saya posting dan bisa dibuka kembali hadis itu). Bagaimana Nabi menyikapinya sehingga tidak terjadi saling menyalahkan di antara para sahabat sendiri.
2. Imam Syafii yang mazhabnya banyak diikuti di Indonesia. Dalam sejarah perjalanan hidupnya tidak pernah meninggalkan kunut Subuh, hanya sekali saja ketika bepergian ke Bagdad dan salat subuh di masjid dekat kuburan gurunya. Beliau  pertama kalinya tidak kunut sebagai ihtiram (penghormatan) pada gurunya, Abu Hanifah Nu'man bin Tsabit. Itulah keteladanan bahwa perbedaan para ulama tidak menghalanginya untuk saling menghargai bahkan saling mengimami dalam salat. Misalnya, Imam Ahmad berpendapat, tidak batal wudu' jika mimisan. Ketika beliau ditanyak, apakah engkau ingin salat di belakang Imam Malik yang memfatwakan batalnya wudu' bagi yang mimisan? Beliau menjawab,   كيف لااصلى خلف مالك؟ 
(Bagaimana saya bisa menolak bermakmun di belakang Imam Malik?), jawab Imam Ahmad. Artinya, bagaimana Imam mazhab saling menghormati satu sama lain, walau berbeda pendapat. Bahkan Imam Syafii, tetap menaruh hormat pada gurunya sekali pun gurunya tersebut sudah wafat.
3. Di Indonesia terdapat dua ormas besar Islam yang terhimpun di dalamnya para ulama, yaitu NU dan Muhammadiyah, tetapi mereka berbeda dalam menyikapi hukum merokok. NU berdasarkan hasil bahsul masail, membolehkan. Berbeda hasil majlis tarjih Muhahammadiah yang mengharamkannya. Perbendaharaan muncul karena perbedaan illat yang digunakan, namun kedua ormas itu saling menghormati satu sama lain dan keduanya menerimanya sebagai hasil ijtihad yang harus dihormati. 

Tiga contoh tersebut di atas yang dikemukakan secara kronologis, saya anggap cukup menjadi teladan, bagaimana umat bersatu dalam perbedaan, unity in diversity. Saya sungguh sedih menyaksikan umat di Indonesia yang menganggap perbedaan itu sebagai musuh yang harus dikejar-kejar dan dihinakan. Dalam hubungan ini saya sangat prihatin melihat foto K.H. Makruf Amin yang memakai songkok Sinterklas. Pada hal foto itu, sepengetahuan saya, adalah hasil rekayasa dari fotografer pada masa kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden yang lalu. Saya merasa wajib membela beliau dari fitnah. Beliau adalah mantan Ketua Umum MUI, mantan Rais Am PB NU, dan sekarang menjabat Wakil Presiden RI yang patut mendapat tempat terhormat. Sekalipun saya sendiri tidak pernah duduk dalam struktur semua ormas maindstream, tetapi sebagai muslim beliau adalah saudara sesama muslim yang patut ditempatkan di tempat terhormat.  Allah mengingatkan bahwa fitnah lebih kejam dari pembunuhan. Ini juga sekaligus sebuah gambaran, betapa masih rendahnya akhlak sebagian umat. Banyak orang tahu bahwa saya dan teman-teman pernah mengundang berkumpul di Restoran Ulu Juku beberapa tahun lewat untuk membela Wahdah Islamiyah (WA) ketika difitnah sebagai organisasi teroris oleh salah satu stasiun tv swasta Jakarta. Sayalah merekomendasikan agar secepatnya melakukan klarifikasi di Metro tv setelah mendengar penjelasan dari WA. Pada hal saya sendiri bukan anggota WA, namun siapa pun yang dideskritkan lewat fitnah wajib kita membelanya. 

Setelah mengamati orang yang selalu ingin memaksakan pendapatnya. Ternyata mereka termasuk orang awam yang baru belajar agama. Mereka hanya bermodalkan semangat yang ingin tampil beda yang ingin menegaskan identitasnya. Para Imam mazhab sering saling berbeda dalam menyikapi satu masalah, namun, sepanjang bacaan saya, mereka tidak pernah saling menyalahkan, apalagi saling menghina. Hal ini karena mereka paham bahwa perbedaan dalam masalah ijtihadiyah adalah sunnatullah dan al-sarwah untuk berfastabiqul khaerat. (Bersambung)

Wasalam,
Makassar, 29 Desember 2021

Bagian Ketujuh
PERUBAHAN BERLANGSUNG CEPAT
Perlu juga diketahui begitu banyaknya perubahan dalam masalah muamalah kebudayaan yang bisa mempengaruhi sebuah fatwa. Imam Syafii berfatwa bahwa dalam satu transaksi haruslah berlangsung dalam sebuah ruangan dan saling bertemu secara fisik. Sekarang fatwa ini, sudah sulit diterapkan di banyak tempat, karena transaksi cukup lewat ATM atau HP. Andai Sang Imam hidup sekarang, fatwanya tersebut akan diubah, sebagaimana saat beliau mengubah fatwanya karena perubahan kondisi sosial ketika pindah dari Bagdad ke Mesir.

Tantangan umat Islam masa kini berbeda dengan satu dua generasi lalu, terutama di era sebelum penjajahan. Para pejuang dahulu dalam usahanya mempercepat proklamasi kemerdekaan. Mereka menanamkan rasa ketidaksenangan kepada produk kolonial, maka muncul fatwa tentang diharamkannya pakaian dasi dan pantolan sebab pakaian itu menyerupai pakaian orang kafe (bahasa Aceh). Mereka berdalil pada hadis, من تشبه بقوم فهو معه. Namun, dunia sudah berubah. Saya mengamati para jamaah, termasuk khatibnya sekarang, justru rata-rata pakai pantolan salat Jumat di Jakarta.

Orang tua dahulu satu-dua generasi silam yang hidup di kampung, mereka bergaul terbatas pada sesama muslim. Mereka tidak perlu mengucapkan Selamat Natal. Generasi sekarang, terutama yang tinggal di kota besar, pergaulan mereka semakin luas termasuk bergaul orang yang beda agama setiap hari. Mereka bergaul di sekolah, di kampus, di kantor, di tempat kerjaan bahkan dengan tetangga, maka dicarikanlah jalan keluar oleh para ulama, seperti Buya Hamka, sebagai Ketua MUI, "Bagaimana menjaga akidah umat, tetapi dalam waktu yang sama hubungan baik dengan saudara sebangsa dan setanah air yang tidak seagama, maka keluarlah fatwa MUI tahun 1981 setelah mempertimbangkan teks dan konteks, maka difatwakanlah, larangan Natalan bersama yang sedang euforia saat itu. Tetapi hubungan baik antara umat di negara NKRI tetap perlu terpelihara." 

Berhubung karena sampai sekarang masih diberi amanah sebagai Ketua Umum DPP IMMIM, maka saya akan mengulang kembali hasil diskusi IMMIM tahun lalu dengan lebih dahulu mengingatkan motto IMMIM "Bersatu dalam akidah dan toleransi dalam furu' ikhtilafiah." Masalah ucapan Selamat Merayakan Hari Natal adalah masalah ikhtilaf para ulama, karena itu kepada setiap muslim diserukan:
1. Ulama yang berbeda dalam mengeluarkan fatwa adalah ulama mujtahid. Mereka berfatwa didasarkan pada keilmuan dan niat yang tulus. Sama sekali, mereka tidak termasuk ulama penjilat yang rela menjual agamanya untuk kepentingan dunia. Karena itu, hasil ijtihad mereka harus dihargai, sekalipun beda dengan apa yang kita pikirkan.
2. Umat Islam yang sudah memiliki kemampuan keilmuan, dianjurkan agar mempelajari metode dan argumen yang mendasari pengambilan fatwa para ulama yang berbeda. Seorang muslim bisa berpegang pada salah satu pendapat ulama yang dianggap lebih kuat dan relevan, tanpa perlu menyalahkan pandangan ulama lain. Hal ini bisa memakai metode talfiq dari Rasyid Rida.
3. Umat dihimbau untuk menyikapi perbedaan fatwa ulama itu dengan sikap tasamuh dan di sini berlaku kaidah, lakum a'malukum wa lana a’maluna, "Silahkan mengamalkan pendapat masing-masing."
4. Ulama khalaf umumnya berpendapat bahwa yang diharamkan adalah mengikuti ibadah dan kepercayaan kaum Nasrani, tetapi dalam hubungan baik perlu tetap dipelihara, seperti mengucapkan Selamat Merayakan Hari Natal.
5. Di kalangan Kristen yang paham tentang Islam, mereka justru menghormati keyakinan dan sikap kaum muslim, seperti pengalaman penulis ketika teman-teman dosen IAIN yang sedang riset di Leiden University diundang untuk mengikuti diskusi di Henri Krimmer (pusat zending di Belanda). Sebelum diskusi dimulai, kami diminta menunggu di satu ruangan, karena mereka akan melakukan misa lebih dahulu. Sebaliknya, di beberapa kota besar di Indonesia, masih ada pimpinan perusahaan memerintahkan pada pegawainya yang beragama Islam memakai topi Sinterklas. Dari sini saya menyimpulkan bahwa negara-negara yang sudah berperadaban tidak akan memaksakan masalah privat pada orang lain yang sudah beragama, beda dengan negara berkembang masih ada keinginan memaksakan masalah privat tersebut pada orang lain.

Saya juga ikut mendukung tausiyah MUI Provinsi Sulawesi Selatan 15 Desember lalu agar menyikapi ucapan selamat Hari Natal dengan arif dan bijaksana. Saya pun mohon maaf kepada Kakanwil Kementerian Agama Provinsi Sulawesi Selatan sebab saya memandang edaran Kakanwil agar jajaran di bawahnya membuat spanduk ucapan Selamat Merayakan Hari Natal dan Tahun Baru. Saya pikir edaran tersebut kurang wise, menurut saya masalah ikhtilaf tidak bijak jika menggunakan sistem komando, sebab pasti ada yang menentang, ternyata memang memunculkan demonstrasi yang membuat Kakanwil serba salah. Dibiarkan edaran itu salah dan ditarik kembali juga salah. Itu adalah pendapat saya dan lagi-lagi kita bisa tidak sependapat, paling penting niat kita Ibtigha mardatillah. 

Akhirnya, sebagai penutup seri ini, saya memiliki obsesi bahwa pada suatu saat, para ulama besar yang berbeda itu, terutama di tanah air. Mereka bisa bertemu dalam sebuah majlis, seperti konferensi untuk saling bertukar pikiran semata-mata menuntun dan mencerahkan umat demi untuk merajuk persatuan. Saya membayangkan semua umat akan bahagia, jika ulama-ulama besar bisa bertemu dalam satu majlis, seperti Prof. Quraish Shihab, Prof. Din Syamsuddin dan Prof. Aqil Said Siraj dengan Buya Yahya dan Ust. Abd. Somad, Ph.D. Mereka duduk bersama saja sudah menggembirakan hati, apalagi jika sekaligus memperbincangkan masalah keumatan. Jadi yang ingin dicapai duduk bersama dalam satu majlis untuk merajuk persatuan dan memperkecil perbedaan. Capaian itulah yang akan disosiailsasikan ke umat di akar rumput dan itulah sesungguhnya misi utama tulisan ini yang diposting secara bersambung. Wallahu a’lam bi al-sawab. (Habis)

Wasalam,
Makassar, 30 Desember 2021

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT SULAWESI SELATAN

SISTEM KEKERABATAN ORANG BUGIS, MAKASSAR, MANDAR DAN TORAJA

SEKILAS SEJARAH MASUKNYA KRISTEN DI ALOR