KHAZANAH SEJARAH:FGD: PELESTARIAN BAHAN KARYA CETAK DAN KARYA REKAM

by Ahmad M. Sewang

Pada pekan lalu, saya dapat undangan dari Kepala Perpustakaan Kota Makassar dalam Forum Group Diskussonion (FGD) untuk mendiskusikan masalah Perhimpunan, Penyimpanan, dan Pelestarian bahan Karya Cetak dan Karya Rekam.

Diskusi tersebut dihadiri dan dibuka Kepala Perpustakaan Nasional Pusat. Pada pertemuan itu saya menyampaikan kelemahan Perpustakaan kita, yaitu kurang ditemukan naskah dan buku-buku yang memuat koleksi sejaman. Saya menceritakan betapa lengkapnya koleksi yang ada di Leiden University Belanda, KITLV yang banyak memuat tentang Nusantara beberapa abad lewat dan Perpustakaan Henry Krimer, Perpustakaan milik Missonaris di Leiden. Di sini saya meneliti karena banyak memiliki informasi sebagai sumber Barat pertama tentang Sulawesi Selatan abad ke-15.

Saya berangkat ke negeri 'Kincir Angin" pada 10 Agustus 1993 dan tinggal jadi santri di sana selama setahun untuk riset dan study. Sebelum berangkat lebih dahulu meneliti di Perpustakaan Nasional, Perpustakaan Unhas, dan Pespurtakaan Wilayah Sulawesi Selatan. Saya mencari majalah sejarah, bernama Bingkisan terbitan 1959, majalah yang terbit di Benteng Makassar dan memuat banyak masa lalu Sulawesi Selatan. Saya keluar masuk di perpustakaan tersebut, namun saya tidak menemukannya sebab sudah menjadi milik pribadi.

Berbeda di Perpustakaan Leiden University, setelah saya mencarinya di katalog komputer justru saya temukan majalah itu secara berseri, mulai dari terbitan pertama sampai terakhir. Ternyata mereka sangat mencintai pelestatian sejarah. Sekalian saya copy sebagian majalah-majalah itu. Di sana juga saya menemukan banyak lontara tentang Sulawesi Selatan. Sehingga saya merekomendasikan agar Pemda mengirim pustakawan ke sana dan membawa kembali naskah berkualitas tersebut ke Sulawesi Selatan. Memang, jika ingin yang berkualitas harus berani mengeluarkan ongkos.

Pada pertemuan itu pula saya melontarkan pendapat bahwa ada perbedaan tentang penggunaan referensi pada penelitian antara ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Dalam ilmu sosial semakin baru buku itu diterbitkan, akan semakin baik dan sempurna untuk dijadikan referensi. Sebaliknya, dalam ilmu humaniora semakin tua naskah itu mendekati jaman peristiwa atau objek penelitian akan semakin bisa dipercaya.

Sejarah Nabi misalnya, semakin dekat referensi yang digunakan pada masa Nabi akan semakin lebih otentik dan bisa dipercaya sumber itu dan dimasukan ke dalam sumber primer yang bisa menggambarkan otentisitas yang lebih asli dan jika ada tulisan-tulisan yang datang kemudian, apalagi sumber di abad ke-21, referensi itu digolongkan sebagai sumber sekunder. Itu sebabnya sehingga seluruh peneliti baik muslim seperti   Taufik Abdullah atau pun non muslim, seperti orientalis, Philip K. Hatti atau Montgomery Watt tentang sejarah Nabi tanpa menggunakan Sirah Nabawi Ibn Hisyam, maka tulisan itu dianggap kurang bisa dipercaya dan tidak akan diminati para sejarawan yang menelaahnya.

Demikian halnya, penelitian tentang Sulawesi Selatan abad ke-17. Saya kebetulan meneliti tentang, "Islamisai Kerajaan Gowa: Pertengahan Abad ke-16 s.d. Pertengahan Abad ke-17." Pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih pada Kepala Perpustakaan Kota Makassar yang telah menerbitkan hasil penelitian itu dan telah me-launcing-nya. 

Saya juga menganjurkan kepada para peneliti tentang buku-buku yang banyak memuat peristiwa se-zaman abad ke-17 di Sulawesi Selatan, perlu menggunakan sumber primer, seperti:
1. The Suma Oriental of Tome Pires. Memuat sumber Portugis tentang Sulawesi Selatan abad ke-15.
2. B.F.  Matte Makassaarche atau Bugische Chrestomathie. Memuat kamus Makassar dan Bugis abad ke-19.
3. A. Ligtvoet, "Transcriptie van het Dagboek der Vorsten van Gowa en Tallo, BKI NO. 5 1880 tentang lontara harian abad ke-17 
4. C. Skinner (ed.) "Syair Perang Makassar (The  Rhymed Chronocle of the Makassar War." BKI No. 40  tentang abad ke-17  
5. Lontara Bilang, lontara sukkuna Wajo, lontara Pattorioloang Gowa dan Tallo
6. Prof. Nabila Lubis telah berhasil menghimpun 23 buku tulisan Syekh Yusuf al-Makassari.

Akhirnya, agar kita tidak kehilangan masa lampau Sulawesi Selatan, maka saya rekomendasikan agar Pemda segera menindaklanjutinya dengan mengutus pustakawan ke Belanda untuk mencopy manuskrip kita di sana. Mungkin dianggap mahal. Memang begitulah seharusnya jika menginginkan sesuatu yang lebih berkualitas. Menurut Hujjatul Islam, Imam al-Gazali, "Jika ingin mendapatkan kualitas terbaik, panjang jalan akan ditempuh, tinggi gunung akan didaki, dalam ngarai  akan diturunkan serta tidak sedikit kost akan dibelanjakan."

Wasalam,
Makassar, 25 Oktober 2021

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT SULAWESI SELATAN

SISTEM KEKERABATAN ORANG BUGIS, MAKASSAR, MANDAR DAN TORAJA

SEKILAS SEJARAH MASUKNYA KRISTEN DI ALOR