BUDAYA BERAGAMA

Badruzzaman Pat Badrun

Beragama, sejatinya bermakna berpikir, berkata, dan berperilaku sesuai dengan ajaran agama. Ini artinya penganut agama berusaha agar ajaran-ajaran agama yang dianutnya dijadikan sebagai pedoman dalam berpikir, berkata dan berperilaku. Upaya ini sering disebut dengan internalisasi ajaran agama dalam sisitem kognisi, afeksi, konasi manusia. Dalam bahasa Agama upaya ini disebut dengan mengamalkan ajaran agama, namun ilmu Antripologi Budaya, disebut dengan membudayakan ajaran agama. 

Jadi konsep amal dan budaya itu dapat diartikan sama. Amalan adalah prilaku manusia dalam menjalankan ajaran agama, seperti meyakini keesaan Allah dan keberadaan para malaikat kebenaran Alquran dan Rasul, dan keberadaan hari akhirat dan qadar dan takdir. Demikian halnya melaksanakan ritual agama seperti syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji, serta berakhlak mulia.

Dalam bahasa Budaya, jika ke semua amalan tersebut di atas terbiasa dilakukan oleh sekelompok orang dan diwariskan secara turun temurun dalam batas waktu tak tertentu, dinamakan sebagai budaya. Jadi jika sebuah ajaran agama masih tersimpan dalam kitab aslinya, Alquran dan Alhadis, dan belum diamalkan oleh suatu kelompok manusia tertentu, maka ajaran agama tetap dalam posisinya sebagai ajaran agama. 
Namun jika ajaran agama itu telah bersentuhan dengan manusia (memahami maksud ajaran, memercayai sebagai pedoman hidup, melaksanakan ajaran agama) maka ajaran agama itu beralih dari posisinya sebagai 'ajaran' kepada 'amalan', atau 'budaya' jika telah diamalkan secara rutin dan turun temurun.
Jadi Budaya Agama adalah kebiasaan manusia mengamalkan ajaran agama secara rutin dan turun temurun.
Jadi konsep "beragama' sejatinya bermakna budaya agama, membiasakan mengamalkan ajaran agama  secara rutin dan turun temurun.

Karena budaya bersentuhan dengan manusia, maka konsep 'budaya agama" bersentuhan dengan manusia, bukan dengan ajaran agama. Budaya agama dimaksudkan adalah pada kadar apa (sejauh mana) manusia itu memahami, meyakini, dan mengamalkan ajaran agamanya. Budaya Agama tidak memperbincangkan tentang ajaran agama yang murni, tetapi membincang tentang manusia yang mengamalkan ajaran agamanya (bagaimana ia memahami, memercayai, dan mengamalkan ajaran agamanya).
Ini artinya bahwa mungkin saja setiap manusia memiliki tingkatan pemahaman, keyakinan dan pengamalan berbeda dengan manusia yang lain.
Terdapat manusia yang memiliki tingkatan tersebut sampai 100% dari ajaran agama seperti  para Rasul, mendekati 100% seperti para ulama atau lebih jauh lagi dari itu seperti penganut agama Islam lainnya.

Kondisi ini manusiawi, sebagai makhluk ia memilki banyak keterbatasan. Manusia memiliki keterbatasan intelegensi dalam memahami ajaran agama, seperti keterbatasan intelegensi manusia memahami tentang malaikat, hari akhirat, dan ruh. Keterbatasan manusia mencerna dan memahami ayat tertentu dalam Kitab Suci, dan lainnya.

Itulah sebabnya para ulama mufashirin dan fiqaha' berbeda pendapat dalam membincangkan suatu perkara agama. Mereka berbeda pendapat membicang tentang kehendak dan perbuatan Tuhan; syarat, rukun, dan kaifiyah ibadah; serta adab beribadah dan berperilaku.
Keterbatasan manusia memahami ajaran agama ini juga dikategorikan bagian dari budaya beragama.

Keterbatasan fisik juga menyebabkan manusia tidak sempurna mengamalkan ajaran agama yang telah dipahaminya.
Manusia yang memiliki kesempurnaan fisik yang tidak lengkap,  tentunya tidak mampu menjalankan ajaran agamanya sesuai yang dipahami. Seorang yang memiliki cacat organ tentunya tidak mampu melaksanakan shalat secara sempurna sesuai rukun dan kaifiyatnya.
Salah satu hadis Nabi saw yang ditafsirkan kebolehan shalat bagi seorang cacat organ melaksanakan shalat tidak sesempurna rukun dan kaifiuatnya adalah:
"Salatlah sambil berdiri. Jika kamu tidak mampu, maka sambil duduk, dan jika kamu tidak mampu, maka sambil berbaring miring.” (HR. Bukhari). 

Ketidak sempurnaan melaksanakan shalat bagi seseorang memiliki organ cacat telah diperbicangkan oleh keempat ulama Fiqhi sebagai bagian dari hasil berpikir mereka. Bagian dari berbicangan itu, antara lain,  ketidakmampuan melaksanakan shalat satu rukun dengan sempurna  tidak menggugurkan ibadahnya.

Lingkunngan fisik dimana manusia itu berada juga menyebabkan manusia terbatas menjalankan ajaran agama secara sempurna sesuai yang dipahami.  Seseorang yang bermukim di pantai dan pegunungan, seseorang yang bermukim di bagian bumi dekat garis khatulistiwa dan bagian kutub bumi, berbeda dalam menjalankan ibadah.
Bahkan kondisi sosial budaya dimana seaeorang pun berada menyebabkanmya terbatas menjalakan ajaran agama secara sempurna, seperti seseorang yang berada di komunitas penganut budaya tertentu, atau wilayah darurat bencana atau perang.

Keterbatasan-keterbatasan manusia tersebut menjalankan ajaran agama juga dikategorikan sebagai bagian dari budaya beragama. Termasuk kebiasaan seorang ulama berpikir untuk meyelesaikan permasalahan umat dalam menjalankan ajaran agama dengan sempurna, juga merupakan bagian dari budaya beragama.

Jadi budaya beragama tidak hanya mencakup cara berpikir, bersikap dan berperilaku manusia, tetapi juga mencakup kebiasaan mereka memproduksi sesuatu, termasuk benda, pola perilaku, kebiasaan, bahkan tradisi.
Ilmu Fiqih yang dihasilkan oleh para ulama Mazhab Fikih dengan berbagai variasi pendapatnya tentang suatu perkara agama juga termasuk budaya Bergama. Seperti perbedaan kaefiyat salat menurut ulama fikih, antara lain, perbedaan cara mengangkat tangan saat takbiratul ihram, perbedaan cara menentukan masuknya bulan ramadhan (hisab atau rukyat), dan sebagainya.

Akulturasi antara ajaran agama tertentu yang diamalkan oleh penganutnya dengan tradisi masyarakat yang didatangi juga merupakan budaya Beragama.
Tradisi membaca kitab Lagaligo di masyarakat Bugis sebelum masuk Islam, telah terakulturasi dengan ajaran Islam. Kebiasaan membaca sesuatu pada setiap acara keluarga sebagai wadah. Wadah tersebut tetap dilestarikan, namun isinya diganti, dari membaca Sure' Lagaligo diganti kepada membaca shalawat (Kitab Barazanji).

Demikian halnya dengan Tradisi Tahlilan, yang wadahnya merupakan kebiasaan masyarakat Kejawan diubah isinya dengan membaca zikir Tahlil pada hari-hari tertentu setelah seseorang keluarga meninggal dunia, juga dapat dikategorikan sebagai Budaya Beragama.

Karenanya, kita perlu memahami jelas perbedaan antara ajaran agama dan Budaya  agama (Budaya Beragama). Ajaran agama ada pada Kitab Suci dan Sunnah Rasul yang ditafsirkan oleh tokoh agama agar dapati dipahami secara jelas. 
Sedangkan Budaya Agama ada pada penganut agama berdasarkan tingkat/variasi pemahaman dan keyakinannya, dan kemampuannya menjalankan ajaran agamanya.
Karenanya, budaya agama sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik, lingkungan, dan sosial penganut agama itu. 
Sementara ajaran agama tetap pada kondisi orisinilitasnya yang berasal dari Tuhan Yang Kuasa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT SULAWESI SELATAN

SISTEM KEKERABATAN ORANG BUGIS, MAKASSAR, MANDAR DAN TORAJA

SEKILAS SEJARAH MASUKNYA KRISTEN DI ALOR