KHAZANAH SEJARAH:LINGKARAN PENGAJIAN PROF. DR. ARKUM DI ROTERDAM

by Ahmad M. Sewang 

Bagian Pertama
Tulisan ini terdiri atas dua seri. Keduanya tidak bisa dibaca secara terpisah untuk bisa mendapat pemahaman utuh. Karena itu setelah seri I ini, besoknya akan disusul seri II, agar bisa ditelaah secara bersamaan dan bisa ditanggapi secara komprehensif  oleh para netizen yang mulia.

 Suatu ketika saat riset di Leiden University, Belanda, saya diundang seorang pendeta yang sering disapa Pendeta Sloof mengikuti lingkaran pengajian Prof. Dr. Arkum di Roterdam, guru besar Sarbon University di Prancis. Pendeta Sloof seorang perempuan, maka untuk menghindari fitnah, maka saya ditemani Dr. Nurnaningsih, M.A., seorang peserta INIS dari UIN Alauddin Makassar. Jadi kami bertiga di atas mobil, Pendeta Sloof, Dr. Nurnaningsih, dan saya sendiri. Maksud saya menyinggung Dr. Nurnaningsih agar kejadian ini  bisa didalami dan divalidasi via beliau yang menjadi saksi sejarah malam itu.

Semua fasilitas mengikuti lingkaran pengajian itu berasal dari Pendeta Sloof. Mulai dari mobil dan beliau sendiri drivernya sampai pembayaran karcis masuk beliaulah yang menyelesaikannya. Yang sangat mencengankan adalah peserta pengajian tersebut lebih banyak jamaah Kristen darpada muslim. Sedang jamaah muslim berasal dari Marokko dan Aljazair. Prof. Arkum juga cukup piawai dan cerdas dalam membawakan pengajiannya, yaitu menampilkan ajaran universal Islam, sehingga bisa diterima semua peserta, baik muslim atau Nasrani. Prof Dr.  Arkum memiliki Lingkaran Kajian sekali sebulan di Roterdam.

Sekembali dari kajian malam itu, sepanjang jalan sampai tiba di apartemen saya tidak habis berpikir dan merenung sampai di atas tempat tidur, apakah orang yang sebaik Pendeta Sloof tidak mendapatkan pahala atas kebaikannya? Saya beruntung karena dalam renungan ini saya mendapatkan jawaban dari Allah swt. sendiri dalam QS al- Baqarah: 62,
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَىٰ وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

Ada dua yang saya ingin garis bawahi pada ayat ini. Pertama, ayat ini sengaja ditampilkan untuk colling down dalam mengerem kecurigaan yang tidak perlu lagi terjadi dan untuk terpeliharanya kedamaian dan kerukunan, khusus para netizen di NKRI yang berbinneka tunggal ika. Kecurigaan selama ini sudah berlangsung lama sepanjang sejarah, yaitu sejak terjadinya hubungan Islam dan Kristen yang  diwarnai polemis dan apologis sekitar abad ke-9 setelah itu disusul terjadinya Perang Salib dan muncul lagi kolonisasi Barat. Peristiwa-peristiwa di atas telah ikut memperdalam luka kecurigaan antara muslim dan Nasrani. Misalnya dalam kitab al-Din wa al-Daulah oleh Ali ibn Rabban  al-Tabari (w.  933) disebutkan semua kitab suci Kristen sudah terjadi tahrif (perubahan atau sudah tidak asli lagi). Demikian halnya di kalangan orang Kristen, Ouligus Uskup Toledo (w. 859), berpandangan bahwa Kitab suci Alquran adalah tiruan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. dalam inter-aksinya dengan masyarakat Nasrani di masanya. Kedua pendapat di atas terjadi saat hubungan Islam dan Kristen berada berada dalam suasana konflik. Kedua belah pihak sudah terlalu dalam kecurigaannya satu sama lain sebagai akibat berbagai rentetan peristiwa dalam sejarah.

Dalam menghadapi hubungan baru saat ini yang seharusnya lebih berbudaya, ada dua hal yang perlu digarisbawahi, yaitu:
1. Dalam hubungan muamalah kemasyarakatan yang harus dikedepankan adalah hubungan harmonis dan saling hormat satu sama lain. Masing-masing pihak perlu melupakan masa lalu yang kelam dengan menciptakan dunia baru yang penuh damai satu sama lain. (Baca kembali QS al-Mutmainnah, 8-9.)
2. Dalam masalah ibadah dan keyakinan berlaku prinsip, lakum dinukum waliya dien, seperti juga digariskan UUD 45, pasal 29 ayat 2. yang tidak bisa saling mengganggu satu sama lain.

Wassalam,
Makassar, 17 Juni 2021


Bagian Kedua
Saya berterima kasih pada netizen untuk mengoreksi kesalahan huruf yang digunakan. Walau tidak langsung membalasnya bukan berarti saya tidak memperhatikannya, bahkan dari sana saya banyak belajar. Berbeda jika ada kesalahan fatal, maka biasanya saya langsung meresponnya. Sekarang ada program yang lebih besar yang sementara berjalan, yaitu saya menulis buku. Kemarin saya sudah menandatangani surat perjanjian dengan Rektor UIN Alauddin. Alhamdulillah buku itu sudah selesai saya tulis berjudul, "Para Sahabat dan Guru Teladan (di Sulselbar)." Semoga bulan ini sudah bisa diterbitkan. Itulah jadi alasan utama tidak banyak terlibat menjawab masalah tidak terlalu penting untuk memprioritaskan yang lebih pokok dan substansial. 

Seperti dikemukakan pada seri pertama bahwa tulisan ini sengaja diposting dalam dua seri secara berurutan untuk mendapatkan pemahaman utuh sebagai upaya rethingking dalam menuju pada kehidupan dunia baru antara penganut agama yang berbeda agar lebih damai menuju sebuah hubungan lebih baik di masa depan. Memang, sebuah kehidupan berkualitas dalam negara berbineka tunggal Ika diperlukan untuk saling menghormati satu sama lain, seperti perintah Tuhan yang juga dimuat dalam Piagam Madinah pasal 24. Pasal ini menghendaki agar hubungan muamalah kemasyarakatan bisa  berinteraksi positif, sedang dalam masalah ibadah dan hubungan vertikal kepada Tuhan Maha Esa diserahkan pada masing-masing agama sesuai Pasal 29 ayat 2 UUD 45.

QS al- Baqarah: 62, pada seri I sebelumnya, sengaja ditampilkan apa adanya. Sebab jika ditafsirkan sudah pasti kita akan memasuki aneka ragam penafsiran. Itu sebabnya saya setuju kembali kepada Alquran, bukan kembali pada penafisiran yang bisa menggiring kita memasuki belantara aneka macam pendapat. Apalagi jika penafsiran itu muncul bersamaan waktunya dalam stuasi konflik terjadi kedua belah pihak yang berbeda.

Suatu ketika setelah beberapa tahun bertugas kembali di UIN Alauddin Makassar, saya dapat amanah sebagai Direktur PPs UIN Alauddin, untuk berhalal bi halal di Sorong, Papua Barat. Setelah melihat yang hadir pada waktu itu, lebih banyak yang beragama Nasrani. Saya merasa tidak mengalami kesulitan menghadapi mereka. Justru merasa beruntung karena saya pernah mengikuti lingkaran pengajian Prof. Dr. Arkoun, tinggal meneladani metode beliau dalam penyampaian konten Islam yang universal agar bisa diterima semua peserta.

Jika saja antara umat berbeda agama, diminta agar memelihara hubungan baik dan saling menghormati satu sama lain serta berbuat baik dan adil pada mereka sepanjang tidak menimbulkan permusuhan (baca QS al-Mumtahina, 8-9). Jika saja diminta damai pada orang beda agama, lebih  diprioritaskan lagi pada sesama umat Islam sendiri. Untuk itu, seri berikutnnya akan menjawab akar permasalahan, kenapa di antara sesama umat sering diwarnai konflik?, baik pada tataran internasional, seperi di Timur Tengah, sehingga muncul adagium, "tidak ada hari tanpa konflik,"  atau pun kecurigaan sesana umat Islam di dalam negeri sendiri dan bagaimana upaya untuk menghindarinya? Saya ingin menghimbau agar setiap upaya ke arah pemikiran rekonsiliasi perlu diapresiasi, andaikata pemikiran itu belum mencapai tujuannya secara maksimal. Bahkan jika ada di antara kita yang bisa membuat sebuah tulisan yang lebih bagus untuk dipedomani, maka upaya itu perlu mendapat penghargaan. Karena masalah persatuan umat adalah masalah bersama, termasuk masalah kemanusiaan.

Sebelum menutup seri ini, saya ingin membuat satu pernyataan, "Siapa pun para pemimpin umat atau ulama masyhur, jika peryataan mereka  membawa kesejukan dan kemaslahatan umat untuk bersatu, maka penganglah pendapat itu dan upayakan untuk bisa dikembangkan. Sebaliknya, jika ada pemimpin dan yang menamakan dirinya ulama masyhur tetapi pendapatnya justru menyulut konflik, maka pendapat itu lebih baik tidak dihiraukan." Upaya rekonsiliasi, memang, sudah diupayakan para tokoh muslim dan saya sudah tiga kali diundang ke Tehran untuk konferensi Internasional tentang taqrib bainal mazahib, (mendekatkan mazhab-mazhab yang berbeda), juga beberapa kali konferensi disponsori oleh Raja Jordania dan menghasilkan risalah Mekah, Bogor dan Risalah Amman. Banyak umat yang mengapresiasi hasilnya, tetapi ada juga sekelompok umat yang mencibirkannya, mereka merasa hanya kelompoknya saja yang benar. Di luar kelompoknya adalah salah dan kafir, pada hal seharusnya setiap upaya ke arah rekonsiasi harus dihormati sebagai upaya positif. Orang yang kerjanya curiga melulu justru tidak akan menghasilkan sesuatu yang positif, kecuali kerugian semata. Seri berikutnya mencari akar sejarah yang menyebabkan konflik berkepanjangan dalam Islam dengan lebih dahulu memperkenalkan upaya Nabi untuk membangun persaudaraan dari keterikatan tribalisme Arab kepada ukhuwah islamiah, basyariah, dan wataniah.

Wassalam,
Makassar, 18 Juni 2021

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT SULAWESI SELATAN

SISTEM KEKERABATAN ORANG BUGIS, MAKASSAR, MANDAR DAN TORAJA

SEKILAS SEJARAH MASUKNYA KRISTEN DI ALOR