KHAZANAH SEJARAH:ANTARA GHAIB NISBI DAN GHAIB MUTLAK?


Bagian Pertama

by Ahmad M. Sewang 

Para ulama membagi gaib atas dua bahagian di antaranya: Al-Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah. Pertama, gaib nisb. Kedua, gaib mutlak. Gaib nisbi atau relatif, yaitu pada suatu masa tertentu benda itu misterius, disebabkan pengetahuan manusia belum bisa mengungkapkannya, sehingga disebut gaib atau misterius. Virus penyakit dianggap gaib, tetapi setelah ilmu pengetahuan melalui riset di lab. dapat membuka misterinya tersebut dan dengan kecerdasan manusia juga sekaligus bisa menemukan vaksin untuk menghindari penyebarannya, maka virus tersebut disebut gaib nisbi. 

Gaib nisbi juga terdapat dalam pikiran manusia. Misalnya seorang teman, saat saya dipercaya sebagai Pjs. Ketua STAIN Sultan Qaimuddin di Kendari mengisahkan peristiwa yang sedang dialami dilingkungan kompleksnya. Berhari-hari air PAM tidak jalan dikimpleks itu, sehingga masyarakat kompleks percaya bahwa ada makhluk misteri atau gaib dalam pipa air PAM yang menyumbat. Masyarakat yang ada dikompleks itu kelihatannya masih bersahaja cara berpikirnya. Mereka turun melakukan tolak bala dengan membawa sejajen aneka makanan untuk mengusir makhluk gaib tersebut. Setelah beberapa hari berlangsung, seorang ahli dari pegawai air PAM datang memeriksa dan menyatakan bahwa air itu tersumbat oleh udara yang ada dalam pipa tersebut. Udara itulah yang menyumbat jalannya air. Untuk menormalkan kembali, ia menyarankan agar pipa air itu dipotong untuk mengeluarkan udara penghambat, kemudian disambung kembali. Setelah saran itu dijalankan, maka air itu normal kembali. Air PAM yang mulanya dianggap misteri tetapi ternyata setelah ilmu pengetahuan menemukannya, berubah jadi normal kembali, maka itulah yang disebut gaib nisbi.

Wassalam,
Tonasa, 07 Ramadan 1442 H/
19 April 2021 M

Bagian Kedua
by Ahmad M. Sewang 

Menurut teori antropologi bahwa pemikiran manusia terhadap Tuhan sejalan dengan tahap perkembangan kemajuan berpikir manusia itu sendiri. Pada tahap awal manusia belum bisa memberikan jawaban secara rasional terhadap tantangan alam yang dihadapkan kepadanya. Kelemahan manusia menghadapi tantangan alam itu, menyebabkan segala jawaban dikembalikan kepada  mitologi. Keganasan angin topan, hujan lebat yang menyebabkan banjir besar, musim kemarau yang berkepanjangan mengakibatkan kekurangan pangan, penyakit yang mewabah menyebabkan kematian massal. Semua kejadian yang misterius itu, menurut mereka, disebabkan karena dalam setiap benda mengandung mana atau kekuatan gaib. Untuk menjinakkan mereka perlu diberi sesajen. Akhirnya, mereka percaya kepada semua benda mempunyai roh. Kepercayaan semacam ini disebut Animisme. Binatang mempunyai roh, tetapi bila kena anak panah, ia tidak bergerak, artinya rohnya sudah tidak ada. Kemana roh itu? Ia akan gentayangan dan bisa singgah di mana saja. Ia bisa singgah di pohon, maka pohon itu pun disembah agar tidak menggangu manusia hidup. Dalam perkembangan berikutnya, manusia mulai berpikir bahwa di antara roh-roh itu ada yang paling berpengaruh dan dianggap sebagai pemimpin. Karena itu, mereka mulai menyeleksi dari banyak Tuhan (Politeisme) menjadi beberapa Tuhan atau Henoteisme. 

Pada tarap berikutnya dari pemikiran manusia terhadap agama adalah kepercayaan pada monoteisme.  Monoteisme merupakan tahap terakhir dari perkembangan pemikiran manusia tentang Tuhan. Ide monoteisme dalam filsafat Islam dapat diterima, tetapi bukan sebagai hasil dari evolusi perkembangan pemikiran manusia. Sebab ajaran monoteisme dalam Islam adalah wahyu yang berlangsung secara revolusi dari Tuhan.

Wassalam,
Tonasa, 08 Ramadan 1442 H/
20 April 2021 M

Bagian Ketiga
by Ahmad M. Sewang

Monoteism atau ketauhidan merupakan ajaran pokok semua rasul Allah swt. Kedatangan para rasul yang silih berganti setelah terjadi penyelewengan dari paham monoteisme yang disebabkan setelah berselang beberapa waktu lamanya ditinggal pergi oleh rasul yang mengajarkannya. Di dalam Alquran Tuhan berfirman:
وما ارسلنا من قبلك من رسول الا نوحى اليه أنه لااله الا انا فاعبدون  
Artinya:
'Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah Aku.' (Al-Anbiya 25)

Menurut almarhum, Prof. Dr. Nurchalis Madjid, manusia tunduk kepada sesuatu disebabkan karena salah satu dari tiga faktor, yaitu: mysterium, tremendum et fascinans (misteri, hebat, dan mengagungkan). Seperti telah dikemukakan, pada masyarakat primitif bahwa semua fenomena alam yang tidak bisa diselesaikan oleh pemikiran mereka yang sederhana digolongkan kepada sesuatu yang misteri. Kemisteriusan akan membawa kepada rasa takut. Untuk membujuknya agar tidak menggangu, dijadikanlah sebagai objek sesembahan. Demikan itulah yang terjadi pada binatang atau benda langit yang mengandung mysterium, tremendum et fascinans  seperti singa, elang dan binatang lainnya. Demikian halnya, matahari, bulan dan bintang menjadi objek sesembahan. Dalam bahasa Arab disebut ilah, yang artinya objek sesembahan. 

Dalam perkembangan pemikiran manusia terhadap Tuhan, benda-benda yang menjadi ilah tadi tidak lagi misterius karena sudah dapat dipahami melalui kemajuan berpikir mereka, seperti sebab-sebab terjadinya kilat, hujan, dan banjir, maka ilah-ilah tadi gugur sebagai Tuhan. Ketika Neil Amstron menginjakan kakinya di bulan, maka gugurlah bulan sebagai ilah. Berarti bulan sebagai Tuhan sudah tidak ada.

Benda yang paling misterius di dunia ini adalah matahari, karena itu, hampir semua bangsa di dunia ini pernah menjadikannya sebagai ilah. Namun, pada akhirnya dapat pula diketahui oleh manusia dan tidak lagi menjadi sesuatu mysterium, tremendum et fascinans.

Wassalam,
Makassar, 9 Ramadan 1442 H/21 April 2021 M

Bagian Keempat
by Ahmad M. Sewang

Secanggih apa pun tingkat kemajuan peradaban manusia masih ada yang tidak akan bisa diketahui, seperti kejadian di akhirat. Sudah miliaran manusia yang pernah jadi penghuni bumi ini. Tidak seorang pun di antara mereka datang kembali menceritakan kejadian setelah mati, kecuali manusia pilihan disebut Rasul yang terekan dalam kitab suci mereka.

Selanjutnya, manurut Nurcholis  satu-satunya yang kadar misteriusnya yang tidak dapat diketahui oleh manusia adalah Allah swt. Di dalam Alquran disebutkan:
 ولم يكن له كفوا احد؛
(Tidak ada satu pun yang setara dengan Allah)
Segala keterangan mengenai Allah disebut ayat atau sign of God, tanda tentang Allah. Fenomena alam, seperti tersebut dalam Alquran adalah ayat-ayat Tuhan atau sebagai keterangan tentang Tuhan. Nabi sendiri ketika  sampai di Sidratul Munataha dalam perjalanan Mi’raj, hanya menyaksikan sebagian ayat-ayat Tuhan Yang Maha Agung. Dalam Surah an-Najm/16 -18,
 إذ يغشى السدرة ما يغشى؛  مازاغ البصر وماطغى؛ لقد راى  من ءايات ربه الكبرى
(Muhammad melihat Jibril) ketika di Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan  tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.
 
Jadi, yang Nabi saksikan di Sidratul Muntaha bukanlah Zat Tuhan, tetapi sebagian ayat-ayat Allah. Melihat Allah dengan mata kepala tidaklah mungkin, sebab Allah adalah Maha Misterius. Dengan demikian, kita tidak akan dapat mengetahui Tuhan. Karena itu, Nabi memberi petunjuk:
تفكروا فى خلق الله ولا تتفكروا فى ذات الله
(Pikirkanlah ciptaan Allah, tetapi jangan memikirkan zat Allah).
Agama Islam memang mengajarkan bukan untuk mengetahui Tuhan tetapi selalu bertaqarrub kepada-Nya.  

Pada akhirnya, satu-satunya yang tidak dapat diketahui adalah Allah, karena Dia lah yang Maha Misterius, Maha Hebat dan Maha Agung, maka pada akhirnya pula, satu satunya yang berhak disembah adalah Allah.  Inilah makna di kalimat syahadat,  "Tidak ada  ilah  atau semua  tuhan-tuhan sudah gugur sebagai akibat perkembangan pemikiran manusia,  kecuali Allah Yang Maha Agung." Karena Dia Maha Misterius, maka sepanjang sejarah perjalanan Islam, kita tidak pernah menyaksikan  lukisan atau gambar Tuhan apalagi patung Tuhan. Sebab dia Maha Esa dan tremendum. 

Wassalam,
Makassar, 10 Ramadan 1442 H/22 April 2021 M.

Bagian  Kelima
by Ahmad M. Sewang

Manusia pada zaman Yunani Kuno melihat segala fenomena alam  mengandung misterius dan mereka mengembangkan pemikiran spekulatif mereka menyebabkan terjadinya banyak ilah. Sisa-sisa  mitologi Yunani masih ditemukan pada nama-nama hari.  Di antara benda-benda mysterium, tremendum et fascinans adalah benda-benda langit. Kehadiran benda-benda langit itu yang jumlahnya terdiri dari tujuh planet,  mempunyai pengaruh dalam kehidupan manusia di bumi. Jika posisinya berubah, keadaan di bumi juga akan turut berubah. Di sinilah awal munculnya ilmu astorologi. Dari situ kemudian tumbuh praktek penyembahan yang selanjutnya muncul konsep tujuh hari, yaitu mereka menyembah satu Tuhan satu hari. Karena itu, nama-nama hari yang tujuh erat hubungannya dengan Tuhan yang ada di langit. Matahari dianggap benda langit yang paling mengesankan, maka mereka menempatkan matahari sebagai ilah yang utama dan ditempatkan pada urutan pertama. 

Pada waktu nama-nama hari itu diambil alih oleh peradaban Eropa, pengaruh mitologi ini masih berbekas dalam bahasa-bahasa Eropa: yaitu Inggris, Belanda, Jerman dan Prancis; seperti Sunday (Ing.) atau Zondag (Bel.) berarti hari matahari, dalam bahasa Portugal disebut Dominggu yang artinya hari untuk menyembah Matahari; hari kedua adalah Monday (Ing.) atau Maandag (Bel.) artinya  hari untuk menyembah rembulan, Mardi (Prancis), artinya hari Mars; Mercredi (Prans.) artinya hari Merkurius; Jeudi (Pranc.) artinya hari Jupiter; Vendredi (Pranc.) artinya hari Vinus; dan hari ketuju adalah Saturday (Ing.) atau Zaterdag (Bel.) artinya hari untuk menyembah Tuhan Saturnus. 
 
Pada Masa Nabi Ibrahim nama-nama hari itu mengalami perubahan yang disesuaikan dengan semangat ketauhidan. Seperti diketahui melalui informasi Alquran bahwa Nabi Ibrahim dikenal sebagai Bapak Monoteisme, Ia menolak menyembah segala bentuk paganism, beliau menolak menyembah bintang, bulan, dan matahari, maka nama-nama hari itu ditransformasi sesuai dengan semangat Tauhid dan menggantinya dengan angka, yang kemudian diterima oleh Islam, yaitu:
الأحد؛ الاثنين؛ الثلثاء؛ الأربعاع؛ الخميس؛ الجمعة ؛ السبت
Artinya, satu, dua, tiga, empat, lima, kecuali hari keenam dan hari ketujuh. Selanjutnya, karena kebudayaan Islam mempunyai pengaruh besar dalam budaya Nusantara, maka nama-nama hari ini berpengaruh ke dalam bahasa Indonesia. Sebenarnya jumlah tujuh hari dalam seminggu tergantung pada kesepakatan kebudayaan umat manusia. Kenapa bukan lima hari dalam seminggu, seperti kebudayaan Jawa Kuno? (Habis)

Wassalam, 
Makassar,  11 Ramadan 1442 H/23 April 2021 M

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT SULAWESI SELATAN

SISTEM KEKERABATAN ORANG BUGIS, MAKASSAR, MANDAR DAN TORAJA

SEKILAS SEJARAH MASUKNYA KRISTEN DI ALOR