H. FADELI LURAN 1922-1972 (Pemersatu Umat)


by Ahmad M. Sewang

Bagian Pertama
Saya mengenal H. Fadeli Luran ketika pertama kalinya melanjutkan studi S1 di Fakultas Adab IAIN Alauddin Makassar. Sebagaimana yang menjadi trend saat itu, hampir semua mahasiswa baru bangga menjadi anggota organisasi ekstra. Dua organisasi ekstra yang menguasai kampus saat itu, yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), masing-masing memperebutkan mahasiswa baru sebagai anggotanya. Di tengah-tengah persaingan kedua organisasi itu, terkadang diwarnai accident yang kurang sehat membuat saya kecewa. Saya awalnya ingin bergabung menjadi aktivis kampus dengan memasuki salah satu kedua organisasi itu, tetapi dengan peristiwa yang kurang sehat itu, membuat saya mengurungkan niat untuk ikut trend tersebut. 

Sekalipun saya menyesal karena tidak bisa menjadi aktivis mahasiswa, tetapi saya bangga dan berterima kasih kepada Tuhan karena saya menemukan jati diri saya di luar kampus, di antaranya melalui kegiatan keagamaan di DPP IMMIM, seperti pelatihan atau refreshing dai yang dilaksanakan menjelang Ramadan. Jika tidak ada kegiatan, saya merasa lebih enjoy menghabiskan waktu membaca buku dan majalah di perpustakaan DPP IMMIM yang juga dipusatkan di Jl. Jenderal Sudirman no. 33 Makassar.

Setelah munculnya pendirian remaja masjid di kota Makassar yang bernaung di bawah Yuridiksi DPP IMMIM, maka saya bergabung menjadi salah seorang aktivis remaja masjid. Saya duduk sebagai sekretaris umum Ikatan Remaja Masjid Aqsha (IRMA-Aqsha) di samping menjadi aktivis pengajian di masjid itu. Pengajian Aqsha yang diketuai dr. M.N. Anwar, SKM, dan sekretaris umumnya dr. Amiruddin Aliah. Pengajian itu dianggap terbaik di Makassar, tidak kalah populer dengan pengajian Masjid Salman ITB atau Masjid Salahuddin di UGM. Melalui organisasi remaja masjid dan Pengajian Aqsha, mengantar saya lebih dekat dengan H. Fadeli Luran lewat almarhum Drs. Moh. Yamin Amna yang duduk sebagai Majlis Pemuda dan Seni Budaya di DPP IMMIM. 

Wassalam,
Makassar, 24 Maret 2021

Bagian Kedua
Hal yang paling berkesan dari H. Fadeli Luran adalah kemampuannya menjembatani dan mempertemukan tokoh-tokoh agama dan cendekiawan muslim, seperti H. Quraish Shihab, M.A., Drs. Ek. H. Halide, Drs. H. Muhammad Ahmad, K.H. Muhammad Nur, Ir. Nur Abdurrahman, Drs. Moh. Yamin Amna dan tokoh cendekiawan lainnya. Mereka berasal dari berbagai latar belakang organisasi sosial keagamaan yang berbeda-beda. Tetapi, siapa pun yang masuk menjadi pengurus atau anggota DPP IMMIM, apakah ia berasal dari Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Syarikat Islam, atau pun Perti, maka warnanya akan berubah menjadi warna IMMIM yang berkomitmen untuk mempersatukan umat dengan meninggalkan perbedaan furuiah. Di sinilah peran sentral yang dimainkan oleh H. Fadeli Luran sebagai figur pemersatu. Sementara, pada tahun 60-an dan 70-an perbedaan yang bersifat furuiah masih sangat sensitif. Dalam suasana demikian H. Fadeli Luran dalam setiap sambutannya selalu memperkenalkan motto IMMIM, “Bersatu dalam Akidah dan Toleransi dalam Furuiah.” Motto itu kemudian menjadi ikon IMMIM dan menyebar ke berbagai masjid untuk meredam perpecahan umat sebagai akibat masalah yang bersifat furuiah. Masalah furuiah yang banyak muncul di permukaan ketika itu adalah masalah tarawih dua puluh rakaat atau delapan, kunut subuh atau tidak, hisab atau rukyah dalam menentukan awal Ramadan atau satu Syawal, dan sebagainya.

Dalam sebuah pertemuan remaja masjid di IMMIM, H. Fadeli Luran yang menjadi jembatan dalam membangun ukhuwah Islamiah dan suka duka yang ia dialaminya dalam menegakkan pesatuan umat. Satu ketika ia diundang salat Jumat di Masjid Jamaah Tarekat Khalawatiyah di Maros. Selesai salat, salah seorang jamaah bertanya, “Apa hukumnya salat Luhur setelah salat Jumat, sebagai kebiasaan dalam Tarekat Khalawatiyah?” H. Fadeli Luran yang tidak ingin membuat jamaah gaduh dalam hal-hal yang sudah dimapankan di kalangan jamaah mereka, beliau menjawab, “Untuk sementara, silahkan salat, sampai menemukan dalil paling kuat.” Jawaban itu sampai ke telinga K.H. Fathul Muin Dg Magading yang ternyata sudah datang di Maros sebelumnya dan mengharamkan salat luhur setelah salat Jumat. Kiyai Fathul Muin sangat tersinggung dengan jawaban Pak Fadeli tersebut. Ketersinggungan itu disuarakan lewat Radio Amatir al-Ikhwan yang berkantor di Masjid Takmir. K.H. Fathul Muin memandang bahwa H. Fadeli Luran membangun persatuan semu," katanya. Mendengar itu, Pak Fadeli dengan lapang dada menerimanya dan memandangnya sebagai sebuah dinamika gerakan. Mendengar cerita Pak Fadeli waktu itu, saya berusaha memahaminya bahwa perbedaan itu hanya pada tekanan perjuangan keduanya. Kiyai Fathul Muin lebih menekankan pemurnian Islam, sedang Fadhli Luran lebih memprioritaskan kepada persatuan umat.

Wassalan,
Makassar, 25 Maret 20211

Bagian Ketiga
Hal yang paling berkesan dari H. Fadeli Luran adalah kemampuannya menjembatani dan mempertemukan tokoh-tokoh agama dan cendekiawan muslim, seperti H. Quraish Shihab, M.A., Drs. Ek. H. Halide, Drs. H. Muhammad Ahmad, K.H. Muhammad Nur, Ir. Nur Abdurrahman, Drs. Moh. Yamin Amna dan tokoh cendekiawan lainnya. Mereka berasal dari berbagai latar belakang organisasi sosial keagamaan yang berbeda-beda. Tetapi, siapa pun yang masuk menjadi pengurus atau anggota DPP IMMIM, apakah ia berasal dari Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Syarikat Islam, atau pun Perti, maka warnanya akan berubah menjadi warna IMMIM yang berkomitmen untuk mempersatukan umat dengan meninggalkan perbedaan furuiah. Di sinilah peran sentral yang dimainkan oleh H. Fadeli Luran sebagai figur pemersatu. Sementara, pada tahun 60-an dan 70-an perbedaan yang bersifat furuiah masih sangat sensitif. Dalam suasana demikian H. Fadeli Luran dalam setiap sambutannya selalu memperkenalkan motto IMMIM, “Bersatu dalam Akidah dan Toleransi dalam Furuiah.” Motto itu kemudian menjadi ikon IMMIM dan menyebar ke berbagai masjid untuk meredam perpecahan umat sebagai akibat masalah yang bersifat furuiah. Masalah furuiah yang banyak muncul di permukaan ketika itu adalah masalah tarawih dua puluh rakaat atau delapan, kunut subuh atau tidak, hisab atau rukyah dalam menentukan awal Ramadan atau satu Syawal, dan sebagainya.

Dalam sebuah pertemuan remaja masjid di IMMIM, H. Fadeli Luran yang menjadi jembatan dalam membangun ukhuwah Islamiah dan suka duka yang ia dialaminya dalam menegakkan pesatuan umat. Satu ketika ia diundang salat Jumat di Masjid Jamaah Tarekat Khalawatiyah di Maros. Selesai salat, salah seorang jamaah bertanya, “Apa hukumnya salat Luhur setelah salat Jumat, sebagai kebiasaan dalam Tarekat Khalawatiyah?” H. Fadeli Luran yang tidak ingin membuat jamaah gaduh dalam hal-hal yang sudah dimapankan di kalangan jamaah mereka, beliau menjawab, “Untuk sementara, silahkan salat, sampai menemukan dalil paling kuat.” Jawaban itu sampai ke telinga K.H. Fathul Muin Dg Magading yang ternyata sudah datang di Maros sebelumnya dan mengharamkan salat luhur setelah salat Jumat. Kiyai Fathul Muin sangat tersinggung dengan jawaban Pak Fadeli tersebut. Ketersinggungan itu disuarakan lewat Radio Amatir al-Ikhwan yang berkantor di Masjid Takmir. K.H. Fathul Muin memandang bahwa H. Fadeli Luran membangun persatuan semu," katanya. Mendengar itu, Pak Fadeli dengan lapang dada menerimanya dan memandangnya sebagai sebuah dinamika gerakan. Mendengar cerita Pak Fadeli waktu itu, saya berusaha memahaminya bahwa perbedaan itu hanya pada tekanan perjuangan keduanya. Kiyai Fathul Muin lebih menekankan pemurnian Islam, sedang Fadhli Luran lebih memprioritaskan kepada persatuan umat.

Wassalan,
Makassar, 25 Maret 2021


Komentar

Postingan populer dari blog ini

STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT SULAWESI SELATAN

SISTEM KEKERABATAN ORANG BUGIS, MAKASSAR, MANDAR DAN TORAJA

SEKILAS SEJARAH MASUKNYA KRISTEN DI ALOR