PROF. DR. BASRI HASANUDDIN, M.A.: Keluarga Terdidik dari Negeri Tipalayo


by Ahmad M. Sewang 

Bagian Pertama
Di akhir Desember 2020, saya ditelepon seorang dosen Unhas, Supa Atha'na, agar berpartisipasi untuk menulis biografi Prof. Basri Hasanuddin. Saya sungguh senang menerima tawaran itu, sebab beliau layak diperkenalkan dan diteladani oleh generasi penerusnya.

Basri Hasanuddin adalah seorang keluarga terdidik, orang tuanya seorang guru sekolah menengah sejak era kolonial sampai di zaman kemerdekaan. Saudara-saudaranya pun serta anak-anaknya berpendidikan. Bahkan ada yang mengikuti jejak beliau sebagai professor, seperti saudaranya almarhum Prof. Dr. Makmun Hasanuddin dan putranya Prof. Dr. Zul Fajri yang sekarang menjabat Wakil Rektor I UNSULBAR. 

Kami memang lahir di kampung yang sama, sebuah kampung kecil dan sekarang sudah menjadi desa, Pambusuang, kabupaten Polman, Sulawesi Barat. Walau tidak segenerasi, beliau generasi tahun 1939, sedang saya geberasi yang lahir tahun 1952, namun kami memiliki persamaan sebagai generasi yang pernah merasakan penderitaan atas kekacauan di daerah kami. Walau sudah memasuki era kemerdekaan tahun 1945, tetapi pada hakikatnya daerah kami masih dalam penjajahan bangsa sendiri, yaitu Batalion 7.10, di bawah pimpinan Andi Selle sampai 1964. Di bawah kekuasaan mereka, seluruh penghasilan daerah, diambil alih Batalion ini, terutama produksi kopra. Daerah ini kaya dengan kelapa yang dikelola menjadi kopra, tetapi semua hasilnya digunakan menggaji Tentara Bantuan Operasi (TBO) 7.10, sehingga masyarakat sering memplesetkan kepanjangan TBO Menjadi Tentara Banyak Ongkos. 

Batalion ini memisahkan diri dari NKRI dan bergabung dengan DI TII Kahar Muzakkar. Pada tahun 1956 daerah ini terbakar. Banyak penduduknya yang kocar kacir sebagai pengunsi ke daerah lain. Penderitaan rakyat di daerah ini, begitu sangat dirasakan sampai digubahkan sebuah lagu khusus yang berjudul, "Di wattu Tallobena." Sebuah lagu yang menggambarkan ketentraman sebelum daerah ini dibakar. Peristiwa kebakaran membuat masyarakat terpisah-pisah dan hidup dalam kesulitan. Mereka lari mengunsi ke pulau-pulau di kepulauan Pangkep. Mereka inilah bernasib yang kurang beruntung, nasibnya sebagai nelayang di daerah, tetap menjadi nelayang di negeri orang dan pekerjaan sebagai nelayan tersebut juga diwariskan secara turun-menurun pada anak cucu mereka. Tetapi yang mengunsi ke kota, seperti  Basri Hasanuddin bersaudara bernasib baik, sebab beliau memiliki akses memasuki dunia pendidikan sampai ke perguruan tinggi bahkan pernah melanjutkan pandidikan ke luar negeri di University of Phillipines Manila. Di sini beliau meraih gelar doktor dan karier sebagai guru besar selanjutnya diberi amanah sebagai Rektor di Universitas Hasanuddin, universitas bergensi di Indonesia Timur. Kalau saya tidak salah beliau orang Mandar pertama yang meraih jabatan rektor sekaligus juga menjadi orang Mandar pertama yang mendapat amanah sebagai menteri, yaitu Menteri Kesrah di era Presiden Abdurrahman Wahid.

Wassalan,
Sidrap, 11 Maret 2021

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT SULAWESI SELATAN

SISTEM KEKERABATAN ORANG BUGIS, MAKASSAR, MANDAR DAN TORAJA

SEKILAS SEJARAH MASUKNYA KRISTEN DI ALOR