POLITIK DEVIDE AT IMPERA CARA KOLONIAL BERKUASA
by Ahmad M. Sewang
Politik devide et impera pada awalnya digunakan sebagai strategi perang yang diterapkan bangsa-bangsa kolonial pada abad 15 (Spanyol, Portugis, Belanda, Inggris, dan Prancis). Bangsa-bangsa tersebut melakukan ekspansi dan penaklukan untuk mencari SDA, terutama di wilayah tropis. Namun, seiring dengan perjalanan waktu, metode penaklukan mereka mengalami perkembangan, sehingga politik pecah belah tidak lagi sekadar sebagai strategi perang namun menjadi strategi politik.
Untuk menaklukan Sultan Hasanuddin dalam Perang Makassar, maka ditarapkanlah strategi politik devide et impera. Arum Palaka diajak kolonial Belanda untuk berkoalisi sebagai upaya memecah bela pasukan Makassar. Arung Palaka diangkat setinggi-tingginya dengan janji kekuasaan politik pasca perang. Sebaliknya, Sultan Hasanuddin ditekan sekaras-kerasnya. Karena itu politik devide et impera juga disebut politik belah bambu, yang satu diangkat dan yang lain diinjak. Akhirnya Sultan Hasanuddin dipaksa menandatangani Bongaaisch Contract atau Perjanjian Perdamaian pada tanggal 18 November 1667.
Strategi politik pecah belah juga digunakan pasca proklamasi kemerdekan Indonesia 1945, yaitu ketika kolonial ingin kembali menjajah Indonesia, caranya menggagalkan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jadi politik pecah belah menjadi alat memecah belah suatu bangsa agar bisa ditaklukkan dengan tujuan untuk mendapatkan dan melestarikan kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil agar lebih mudah dikuasai. Pada 1947-1948 Belanda membentuk negara boneka dengan menjanjikan kemerdekaan terhadap beberapa negara boneka yang telah dibuatnya, di antaranya Negara Indonesia Timur, Negara Sumatera Timur, Negara Madura, Negara Pasundan, Negara Sumatra Selatan, dan Negara Jawa Timur
Di alam demokrasi pasca era kemerdekaan sampai sekarang dan setelah melihat perpecahan dalam masyarakat semakin parah, orang mulai bertanya. Apakah politik devide at impera juga diterapkan untuk mencapai dan mempertahankan kekuasaan? Ternyata masih ada yang berkata masih tetap berlanjut, sebagai tanda bahwa bangsa kita belum merdeka 100%. Bahkan ada pengamat politik berpendapat, di negara yang dianggap kampium demokrasi pun masih menggunakannya untuk mencapai kekuasaan. Salah satu faktor kemenangan pemilihan presiden AS 2016 antara Donald Tramp dan Hillary Clinton adalah karena Tramp menggunakan politik devide at impera dengan mengangkat warga negara berkulit putih yang kurang terdidik, sebaliknya, menekan warga negara yang berkulit hitam. Bagaimana di negara tercinta Indonesia? apa pernah ada penguasa menggunakan politik belah bambu semacam ini? yaitu memecah belah warga negara dengan mengangkat warga negara loyalis dan menekan warga negara oposan? Apakah perpecahan yang sedang terjadi by desain atau by accisidence? Sedang loyalis dan oposan keduanya dibutuhkan dalam sebuah negara yang menganut sistem demokrasi. Bukankah bagi seorang setalah dilantik sebagai pemimpin negara otomatis berubah menjadi pemimpin untuk seluruh warga negara dan tumpah darah Indonesia, tanpa sedikit pun diskriminatif? Saya harap ada seorang ilmuwan sosial politik bisa menulislannya dan menjawab beberapa pertanyaan di atas dengan baik.
Wassalam,
Makassar, 28 Januari 2021
Komentar