TINGKAT ADAPTASI KEBUDAYAAN, MEMBUAT ISLAM FLEKSIBEL


by Ahmad M.  Sewang 

Bagian Ketiga
Pertanyaan lain yang mengemuka dalam launcing buku tentang Islamisasi Kerajaan Gowa adalah mengapa penyebaran Islam di Sulawesi Selatan berlangsung begitu cepat? Sayangnya sebagian penanya, hanya didasarkan pada perkiraan tanpa diringi bacaan referensi primer mendalam. Padahal peristiwa masa lalu tidak cukup hanya mengandalkan pikiran kosong tanpa dasar. Bahkan dalam metodologi penelitian sejarah, apa lagi peristiwa sejarah yang sudah 4 abad silam, tidaklah cukup dengan mengandalkan hanya satu referensi, perlu mengngunakan beberapa sumber untuk membandingkan dan memvalidasinya. Biasanya, menurut Prof. van Dijk, jika ada pertanyaan yang hanya mengandalkan akal kosong tanpa ditunjang referensi primer, lebih baik diabaikan, sebab hanya menghabiskan energi saja. Itu sebabnya, maka penanya yang hanya mengandalkan akal kosong tanpa ditunjang bacaan sebagai referensi, saya biarkan saja dan tidak perlu dijawab. Itu juga alasannya, maka yang diundang pada launching buku tersebut, terbatas hanya dari perguruan tinggi,  khusus dari para sejarawan. Prof. Mattulada dalam tulisannya mengatakan bahwa realitas sejarah tentang Datuk Tallua hanya memerlukan waktu 6 tahun seluruh Sulawesi Selatan sudah menerima Islam, kecuali di daerah pegunungan Tana Toraja.  Sementara agama Katolik sudah lebih dahulu diterima di daerah ini, namun tidak bisa berkambang. Sumber-sumber Portugis dan sumber lokal (lontara sukkuna Wajo) mencatat bahwa Raja Suppa, Bacikiki dan Raja Siang telah dibaptis oleh missionaris Portugis bernama Antonio de Payva. Sumber Portugis merupakan sumber Barat pertama memperkenalkan tentang Sulawesi Selatan.

Percepatan islamisasi, di Sulawesi Selatan, di antara jawabannya dapat dilihat pada dua faktor, yaitu faktor eksternal dan internal. Untuk kepentinga tulisan ini, saya membatasi pada faktor internal. Dalam hal kebudayaan Islam sangat fleksibel menyesuaikan diri dengan budaya setempat dalam melakukan adaptasi terhadap budaya yang ditemui. Seperti diketahui bahwa kedatangan Islam di Kerajaan Gowa, tidaklah menghadapi ruang kosong, melainkan sudah memiliki budaya tersindiri yang sebagiannya berbeda dengan nilai Islam.

Sementara, para pembawa Islam awal adalah orang-orang terdidik yang memungkinkan bisa menyusun strategi dakwah sesuai masanya. Para mubalig, Datuk Tallua, tidak langsung memperkenalkan Islam di Kerajaan Gowa secara kaffah (keseluruhan), melainkan lewat metode tadrij (bertahap), bahkan Islam disampaikan dalam bentuk minimal, cukup dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Bayangkan jika langsung secara kaffah pada masyarakat yang baru muallaf, pasti penyampaian dakwah mereka akan terhalang. Mereka berpendapat, untuk melakukan intensifikasi Islam lebih lanjut adalah tugas generasi berikutnya. Merekalah yang akan mengajarkan Islam secara komprehensif. Di sini menunjukan kesabaran para mubalig yang tidak ingin tergesa-gesa memaksakan ajaran Islam, melainkan dalam berdakwah mereka penuh pertimbangan matang.

Kemampuan adaptasi para mubalig, ditunjang pendidikan yang diperoleh di Giri sebelum masuk di Sulawesi Selatan. Bisa dibaca pada buku H.J. de Graaf dalam BKI No. 69. Beliau berpandangan bahwa Giri pada waktu itu berfungsi sebagai pusat pendidikan Islam. Jadi Three Datuks' adalah manusia terpelajar yang memiliki pengalaman panjang dalam hal penyebaran Islam, karena itu mereka bisa menguasaikan metode dakwah yang seharusnya digunakan, dapat dilihat sebagai berikut:
1. Three Datuks' melihat bahwa masyarakat Gowa sangat percaya kepada Tomanurung. Raja pertama Kerajaan Gowa adalah berasal dari Tomanurung. Demikian juga para raja berikutnya harus berasal dari keturunannya. Semakin kental darah Tomanurung seseorang akan semakin memungkinkan diangkat sebagai raja. Ajaran semacam ini tidak sulit diterima Datuk Tallu, karena mereka telah menemukannya dalam perjalanan sejarah Islam di Persia, yaitu:
ان السلطان ظل الله فى الارض
Sultan adalah bayangan Tuhan di bumi.
2. Islam disebarkan lewat metode top down melalui elite kerajaan sehingga islamisasi bisa mempersingkat waktu dalam berdakwah. Metode ini, di samping memiliki nilai lebih, seperti dikemukakan di atas, juga punya kelemahan, yaitu masyarakat lebih bercorak formalistik. Mereka mengaku Islam secara formal, tetapi juga dalam waktu yang sama masih mengamalkan nilai tradisi yang tidak selaras dengan nilai Islam.
3. Pangngadakang sebagai wajud kebudayaan Bugis-Makassrar, mereka tidak merombaknya, tetapi justru memperkayanya dengan menambah unsur kebudayaan Islam, yaitu  pranata sarak. Pangngadakang sebelum Islam ada empat unsur, yaitu  adek, wari, rapang, dan bicara, setelah Islam diperkaya  dengan pranata baru berupa sarak. Demikian halnya struktur pemerintahan Kerajaan Gowa. Mereka hanya menambahkan sebuah struktur paranata baru, yaitu lembaga Kadi sebagai pembantu raja di bidang keagamaan.
4.. Di dalam masyarakat Gowa dikenal pemberian beberapa nama kepada seseorang sebelum Islam, yaitu:
a. Areng ri kale atau nama dirinya adalah I Mangarangi,
b. Areng paddaengan atau nama daengnya adalah Daeng Manrabia,
c. Aareng ara’ atau nama Arabnya (Islam) adalah Sultan Alauddin yang diberikan setelah beliau masuk Islam,
d. gelar anumertanya diberikan setelah beliau wafat adalah Tomenanga ri Gaukanna. Artinya, orang yang istirahat atau wafat dalam kebaikan. 
    Jadi nama lengkap Sombaya ri Gowa tersebut adalah I Mangarangi Daeng Manrabia Sultan Alauddin Tomenanga ri Gaukanna. (Bersambung)

Wassalam,
Makassar, Akhir Oktober 2020

Bagian Keempat

Faktor Percepatan islamisasi di Sulawesi Selatan sebab antara raja sebagai penerima Islam dan mubalig sebagai penyiar Islam memiliki sinergi simbiosis mutualis. Raja merasa beruntung menerima Islam, karena penerimaan itu akan lebih mengokohkan kekuasaannya. Demikian halnya, sang mubalig, dalam hal ini, Datuk Tallua, tidak sulit menerima konsepsi Tomanurung karena konsepsi itu mirip dengan yang berkembang dalam sejarah Islam. Keuntungan lain  yang diperoleh Datuk Tallua setelah raja menerima Islam adalah mempercepat proses islamisasi.

Posisi raja sebagai titisan darah dari dewata memberikan keuntungan tersendiri dalam hubungannya dengan islamisasi. Penyebaran Islam yang dimulai dari istana telah mempersingkat islamisasi. Tidak heran, jika islamisasi di Sulawesi Selatan hanya berlangsung enam tahun terhitung setelah penerimaan Islam pertama mulai
tahun 1605 dan berakhir tahun 1611 atau sejak benteng terakhir aliansi Tellunpoccoe dikalahkan tahun 1611, Islam telah tersebar luas di Sulawesi Selatan, kecuali di daerah pegunungan Tana Toraja. Dengan demikian, islamisasi 
 Sulawesi Selatan berlaku teori dalam bahasa Latin, “Cuius regio, eius religio”, atau  dalam masyarakat Ibn Khaldun disebut, “an-Näs ‘alä dïn al-malik” 

Sebelum mengakhiri seri ini, sekali lagi saya mengucapkan terima kasih kepada Kepala Dinas Perpustakaan Kota Makassar dan jajarannya telah memfasilitasi penerbitan dan me-launching buku, "Islamisasi Kerajaan Gowa" di sebuah Hotel mewah di Tulip Hotel. Terima kasih juga saya sampaikan pada Wahyuddin Halim, PH.d., telah membahasnya dengan baik sekali. Beliau telah memberikan masukan berharga dan wawasan baru dalam perspektif antropologi. Sebelumnya, saya sudah menyampaikan bahwa buku ini perlu dikritisi untuk munculnya teori-teori baru tentang islamisasi demi pengembangan ilmu sejarah ke depan. 

Saya berpendapat penulisan, baru bisa disebut berhasil, jika ada teori baru yang dimunculkan menggantikan teori yang saya gunakan. Sebagai penulis beranggapan bahwa teori yang saya konstruksi berasal dari J. Nooduyn yang  sudah perlu pembaruan. Saya sesungguhnya ingin menulis ulang buku ini dalam perspektif baru, tetapi sayang, saya memiliki keterbatasan dari waktu disiapkan. Sejarah Sulawesi Selatan sesungguhnya masih merupakan hutan belantara yang perlu segera digarap. Sejarah di daerah ini belum banyak yang bisa terungkap, menurut perhitungan penulis, baru sekitar 5% yang bisa diteliti. Selebihnya atau sebagian besar masih tenggelam dalam lautan hutan belantara yang memerlukan tangan-tangan trampil untuk membabat dan menyianginya. Pembabatnya adalah tugas kita semua, terutama para sejarawan muda yang masih segar atau para mahasiswa prodi sejarah.

Walau demikian, para sejarawan Sulawesi Selatan patut bersyukur, sebab memiliki legacy yang tak ternilai berupa aksara lontara, tidak banyak daerah yang memiliki aksara semacam ini. Kita juga patut berterima kasih kepada Bibliografi Universitas Leiden dan KITLV yang menyimpan naskah-naskah lontara itu dengan rapih.  Universitas Leiden dikenal sangat telaten memelihara naskah itu, juga dikenal sebagai universitas tertua di Belanda yang berdiri pada pertengahan abad ke-16. Alumninya juga sudah ada yang menenangkan hadiah Noble sebagai simbol prestasi dunia ilmu pengetahuan.

Wassalam,
Makassar, 2 November 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT SULAWESI SELATAN

SISTEM KEKERABATAN ORANG BUGIS, MAKASSAR, MANDAR DAN TORAJA

SEKILAS SEJARAH MASUKNYA KRISTEN DI ALOR