RESPONS PADA PILKADA DI DEPAN MATA

by Ahmad M. Sewang

Pilkada sudah ada di depan mata, akan berlangsung 9 Desember 2020. 
Pilkada yang dilaksanakan di tengah penyebaran covid-19, memerlukan ekstra hati-hati dengan tetap mengikuti protokol kesehatan. Belum lagi kebiasaan Pilkada, diselenggarakan dengan penuh intrik dan oligarki kepemilikan modal. Hanya saja kita  berharap agar Pilkada yang tinggal dua bulan lagi berjalan sukses dengan cara setiap konstentan mampu mengendalikan diri. Seperti kita maklumi salah satu aturan KPU yang tidak boleh diabaikan adalah penggunaan money politic, tetapi apakah bisa dipatuhi? Jangan sampai seperti Pilkada sebelumnya sering menyisahkan cerita kurang sedap.

Penulis ingin men-sharing sebuah pengalaman. Suatu ketika penulis satu hotel di Jakarta dengan seorang mantan Bupati yang berasal dari daerah yang sama. Penulis menggunakan kesempatan itu walau lewat candaan bertanya, "Berapa cost yang harus dipersiapkan jika ingin mendaftar sebagai kandidat Bupati? tanyaku penasaran. Beliau menjawab, "Sekitar Rp 6 miliyar." Kemudian saya lanjutkan candaan itu "Saya ini PNS, dari mana bisa mermperoleh uang sebanyak itu?" Sepontan beliau menjawab, "Gampang! Bangunlah kerjasama dengan pengusaha."

Dalam sebuah seminar, saya sharing candaan tersebut kepada seorang senator yang hadir sebagai salah seorang panelis. Beliau langsung menimpali bahwa Rp 6 miliar belumlah cukup. Sekarang justru lebih banyak lagi, yaitu Rp 16 miliar.

Jika demikian caranya, maka seorang yang terpilih sebagai kepala daerah, sama saja telah menyandrakan diri pada cukong-cukong politik. Sebab kepala daerah yang jujur, pasti mengetahui persis bahwa gaji mereka selama 5 tahun, tidak akan bisa melunasi utang pinjaman sejumlah tersebut di atas, apa bila hanya mengandalkan gaji belaka. Andai setiap kontentastan memakai modus yang sama, maka tentu menimbulkan tanya, di mana fungsi Bawaslu? Paling mengkhawatiran, jika setiap kapala daerah terpilih dengan metode yang sama. Padahal mereka adalah manusia pilihan, tetapi sangat disayangkan jika menjadi incaran OTT KPK. Andai toh lolos tidak terciduk, hanyalah kebetulan mereka bernasib baik. Jika saja modus semacam ini dibiarkan, maka pemerintahan yang akan terbentuk adalah Koloptokrasi. Sengaja hal ini dikemukakan sebagai warning, agar kandidat kepala daerah lebih berhati-hati untuk menghindari modus seperti di atas, sehingga mereka selamat fi al-dunia wa al-akhirah. 

Warning ini perlu, sebab bagi saya, seorang kepala daerah terpilih adalah abdi negara untuk mengantarkan masyarakatnya menuju kesejahteraan. Semoga peringatan ini sekaligus menjadi doa yang menyertai pada semua kandidat kepala daerah agar selamat dalam pengembang amanah rakyat. 
 
Wassalam, 
Makassar, 5 Oktober 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT SULAWESI SELATAN

SISTEM KEKERABATAN ORANG BUGIS, MAKASSAR, MANDAR DAN TORAJA

SEKILAS SEJARAH MASUKNYA KRISTEN DI ALOR