PESAN BUNG HATTA PADA SAHABATNYA BUNG KARNO

by Ahmad M. Sewang 

Setelah Ir. Soekarno mengambil jalan sendiri, tidak lagi ingin mendengar nasehat, maka tepat 01 Desember 1956 pecahlah Dwi Tunggal yang beken itu, Bung Hatta mengundurkan diri sebagai wakil presiden. Dia meninggalkan istana wakil presidan, pindah ke jalan Diponegoro 57, memilih jadi rakyat biasa, kembali menggantungkan hidupnya dari menulis dan mengajar. Dengan bermodalkan gelar sarjana dari Belanda dan doktor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada. Dia mengajar di Universitas itu dan beberapa kampus lain. Menjelang akhir hidupnya Hatta masih dikenal publik sebagai sosok sederhana. Bahkan dia sulit membayar air PAM bulanan. "Begitu sederhana hidup pemimpin kita pada waktu itu,” kata Ali Sadikin dalam biografinya yang ditulis Ramadhan KH. Atas inisiatif Bang Ali, beliau mengangkatnya sebagai "Warga Kota Jakarta Utama" sehingga bebas dari pembayaran air PAM.

Sejak Bung Hatta tidak lagi sejalan dengan pemikiran Bung Karno. Dwi Tunggal ini benar-benar patah arang. Sementara Presiden Soekarno mulai merintis jalan ke arah "Demokrasi Terpimpin" dengan sokoguru Nasionalis, Agama, Komunis (Nasakom),” tulis Rosihan Anwar. Awalnya Soekarno menarapkan Demokrasi Liberal yang bercorak parlementer kemudian menggantinya menjadi Demokrasi Terpimpin dengan sistem presidensial setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Bung Hatta melihat bahwa Soekarno semakin jauh dari cita-cita kemerdekaan. Dia ingin agar sahabatnya itu selamat dan kembali ke jalan demokrasi yang sesungguhnya. Bung Hatta mengingatkan melalui risalahnya yang berisi 35 halaman  berjudul "Demokrasi kita." Dalam risalah itu, seperti disinggung pada seri sebelumnya, diberi pengantar Buya Hamka dan dimuat di majalah Panji Masyarakat yang dipimpinnya tahun 1960. Ternyata dengan sikap otoriter rezim ini, majalah itu dibreidel dan Buya pun serta banyak ulama lainnya di jebloskan ke dalam penjara. Sungguh kaget dan mengharukan ketika mendengar lewat ILC bulan ini bahwa begitu brutalnya rezim ini sampai Buya, ulama besar yang dihormati, sempat minum air kencing dalam penjara. Saya yakin peristiwa ini adalah ulah komunis yang sangat berpengaruh di pemerintahan rezim Nasakom tersebut.

Bung Hatta pun meninggalkan pesan pada Sahabatnya, Bung Karno, tentang "Hukum Besi Sejarah,"  menurutnya, pemerintahan otoriter dan sewenang-wenang, tidak berumur lama, tinggal menunggu waktu, seperti kisah Firaun yang ditenggelamkan Tuhan di Laut Merah. Benar saja, enam tahun setelah pesan Bung Hatta tersebut, Bung Karno yang diangkat presiden seumur hidup, tercampakkan di singgasana istana kekuasaan dengan penuh derira yang menyedihkan  menyusul peristiwa tragis G30S. Bung Karno pun sering mengeluarkan air mata mengenang nasibnya di tempat pengasingannya di Wisma Yaso, bertemu pun sangat sulit. Dapat dikatakan bahwa kembali lagi berulang bahwa "Revolusi memakan anak kandung sendiri." Bung Karno pun sadar pada menjelang ajalnya tiba. Beliau menulis surat wasiat pada Buya Hamka, "Sepeninggalku nanti, sudilah sahabatku Buya Hamka mengimami salat jenazahku dan keranda jenazahku dibungkus dengan bendara Muhammadiyah," demikian wasiat terakhir Bung Karno. Membaca surat itu yang diantar ajudan Bung Karno sendiri, Mayjen Suryo, Buya Hamka tanpak pikir panjang segera bergegas menuju rumah duka di Wisma Yaso dan memimpin salat jenazah sesuai amanah. Namun, ada wartawan yang iseng, "Bagaimana pendapat Buya terhadap almarhum? Buya spontan menjawab, "Agama Islam melarang dendam. Dendam itu dosa, saya pun sudah maafkannya. Bahkan saya berterima kasih pada almarhum, andai saya tidak dipenjara saya tidak bisa menyelesaikan tafsir al-Azhar sebagai masterpiece saya," kata Buya dengan lapang hati. Kita pun sebaiknya mendoakan almarhum semoga diampuni Allah swt. Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Sebagai seorang yang berjasa besar mengantar bangsanya ke pintu gerbang kemerdekaan. Ya Allah, beliau adalah hamba-Mu  yang  lemah, maka ampunilah segala dosanya, Ya Allah ya Rahman dan Rahim. Semoga beliau mendapatkan pahala di sisi-Mu sesuai amal ibadahnya.

Peristiwa perjalanan hidup Bung Karno, bisa menjadi pelajaran berharga. Satu di antaranya agar tidak lupa kata mutiaranya sendiri, "JASMERAH." Artinya, bagi siapa pun yang sedang di puncak kekuasaan agar menjalankan amanah dengan baik serta menghindari norma hukum yang berlaku dalam sejarah bahwa siapa pun yang sewenang-wenang, cepat atau lambat akan merasakan akibatnya. Ingatlah, tidak ada satu pun kekuasaan yang langgeng, pada akhirnya kita semua akan kembali ke pangkuan Yang Maha Penguasa.

Wassalam, 
Makassar, 22 Oktober 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT SULAWESI SELATAN

SISTEM KEKERABATAN ORANG BUGIS, MAKASSAR, MANDAR DAN TORAJA

SEKILAS SEJARAH MASUKNYA KRISTEN DI ALOR