KHAZANAH SEJARAH:KISAH HISTORIS DARI KAMPUNG

Tulisan ini mulanya akan diviralkan secara utuh dalam satu kesatuan, tetapi karena agak panjang, maka dibagi dalam dua seri:

KHAZANAH SEJARAH:
KISAH HISTORIS DARI KAMPUNG
by Ahmad M. Sewang 

Bagian Pertama
Saya bersyukur dan berterima kasih pada-Mu ya Allah, sebab Engkau telah menganugrakan padaku tempat lahir. Saya dilahirkan di sebuah kampung, namanya Pambusuang, Polmas, Sulawesi Barat. Sejak dahulu kala, kampung ini menjadi tempat memproduksi sejumlah ulama di Sulawesi Barat. Hasil produksinya ada dari luar provinsi ini, seperti HM. Asyik, pendiri Masjid HM Asyik di Jl. Pettarani Makassar. Beliau pernah menimbah kitab kuning di kampung ini. Kisah dari kampung ini sengaja diviralkan untuk menyadarkan bagi netizen, terutama komunitas kampung ini bahwa kita berada dalam perubahan setiap detik, apalagi jika peristiwanya sudah berlalu sekian dekade. Karena itu, tidak boleh membakukan sebuah paham tradisi keagamaan.

Paman saya berkata, "Dahulu orang sangat yakin apa yang ia pelajari dari gurunya, walau paham itu bercampur tradisi," demikian paman saya memulai kisahnya. Keyakinan itu membuatnya fanatik terhadap apa yang dipelajarinya bahkan bisa saling bunuh karena mempertahankan keyakinannya itu. "Keyakinan atas paham yang diterima secara turun-menurun dari ulama sebelumnya yang melatarbelakanngi Aba-mu di Mekah (Syekh Yasin al-Mandary). Beliau melakukan diaspora ke tanah suci di awal tahun 1930. Beliau hampir saling bunuh antara keluarga karena perbedaan paham keagamaan tentang masalah takdir. Beliau meninggalkan kampung halaman hanya karena mempertahankan sebuah paham. Belua menjual semua hartanya sebagai bekal perjalanan, menuju Mekah," tambahnya. Alhamdulillah Syekh Yasin al-Mandary bernasib baik sebab bisa menjadi warga negara Saudi sekaligus dipercaya memberi pengajian dalam Masjid Haram. Kejadian di kampung di awal tahun '30-an membuat hubungan antara keluarga kurang harmonis. Sejak beliau meninggalkan kampung halaman sampai dipanggil keharibaan Allah swt. pada tahun 1980. Beliau tidak lagi pernah kembali ke kampung. Almarhum menjadi Syekh di Mekah dan banyak meninggalkan santri dan mengajarkan agama setelah kembali ke tanah air, seperti K.H. Abdullah Maratan, Lc. dari Sengkang yang menceritakan sendiri dalam kunjungan saya ke Sengkang tahun 1982. Walau Syekh Yasin al-Mandary tidak pernah kembali ke tanah air, tetapi anak cucunya sudah dua kali datang ke kampung sekedar lepas rindu mengunjungi tanah leluhurnya.

 Wassalam,
Makassar, 7 September 2020

Bagian Kedua
Itulah kejadian di tahun '30-an.
Setelah lebih setengah abad berlalu, masyarakat di kampung sudah mengalami banyak perubahan. Hubungan antara keluarga yang mulanya kurang harmonis sudah dilupakan, justru yang terjadi berubah menjadi hubungan harmonis dan saling kawin-mawin antara keluarga.  Bahkan jika masih ada orang yang masih berpegang pada peristiwa masa lalu dan kontent yang dimasalahkan, mereka dianggap sudah ketinggalan zaman dan dimasukkan ke dalam kelompok manusia yang terlambat lahir atau seharusnya ia hidup di tahun '30-an.

Jika dahulu, orang mempertahankan sebuah paham dengan menutup telinga dan mata melihat paham yang berbeda dari orang lain, apalagi beda mazhab. Sekarang, mengalami pergeseran nilai terutama di pusat-pusat studi Islam. Mereka menganggap perbedaan sunatullah, sebuah alsarwah atau kekayaan. Menurut al-Qardawi, masalah furu' tidak mungkin bisa disamakan menjadi satu paham yang disepakati. Bahkan jika ada orang memiliki cita-cita menjadikan hanya satu paham, terutama dalam masalah furu', cita-cita itu utopia dan bertentangan dengan hukum Tuhan itu sendiri. Karena itu tidak mungkin terwujud dalam realitas. Kenyataan ini menuntut agar setiap muslim bersikap toleransi dalam perbedaan. Benar apa yang disampaikan oleh Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA. bahwa, "Kita sedang start dari satu mazhab ke multi mazhab." 

Beberapa waktu lalu pada sebuah Webinar, saya mempertanyakan sikap ambivalensi umat, dengan mengulang kembali kisah pengalaman pribadi ketika ke Melbeurne, Australia.
Menurut saya, semua paham atau aliran mazhab, baik teologi atau fikih dalam Islam, sepanjang menjadikan Alquran dan hadis sebagai premis mayor, maka mereka tetap bagian dari Islam. Di sinilah pentingnya untuk dibangun saling pengertian antara mazhab dan saling menghargai perbedaan antara sesama muslim. Memang ada yang sangat mengherankan di sebagian umat. Kenapa mereka leluasa mengutip pendapat ilmuwan Barat ketika belajar di universitas? Sementara enggan mengutip pendapat sesama muslim sendiri, hanya karena beda mazhab? Diakui, masih ada sebagian ulama memandang di luar mazhabnya, seperti Muktazilah adalah di luar Islam dan semua bukunya harus dibreidel, alias tidak bisa disentuh. Setelah studi lanjutan di PPs, ternyata banyak ajaran Muktazilah yang dipraktikan sehari-hari. Jadi terjadi semacam split personality dalam diri seorang mahasiswa. Di satu sisi mempratikkan ajaran Muktazilah, di sisi lain dilarang untuk mempercayainya. Muktazilah sama dengan mazhab lain dalam Islam, tidak semua ajarannya harus diterima, sebaliknya, tidak semuanya juga harus ditolak mentah-mentah. Sangat tergantung pada konteks relevansi objek bahasan. Dalam hal berpikir rasional, ajaran teologi Muktazilah lebih rekevan untuk pembangunan yang lebih mengedepankan anthropocentric. Demikian juga ketika di Melbeurne, Australia. Sengaja kami berkunjung di sebuah komunitas muslim Indonesia di daerah pinggiran kota Melbeurne bersama Dr. Zamahsari Dhafir. Di sana ada pengajian rutin dengan buku pegangan Tafsir Misbah karangan Prof. Quraish Shihab. Sang pengajar berkomentar setelah kami tanya tentang kelebihan dan kekurangan Tafsir Misbah yang dijadikan pegangan. "Kelebihannya, Tafsir Misbah lebih moderat dan lebih sesuai masyarakat muslim Indonesia di Australia. Kekurangannya karena mengutip Tafsir al-Tabatabai dari Mazhab Syiah," jawabnya. Tetapi, ketika saya tanya, kenapa jika mengutip Plato, Max Weber, Socrates, atau Agustinus justru tidak dipersoalkan? Beliau terdiam tak menjawab. Inilah dilemma bagi sebagian umat Islam sendiri yang sulit move on dari rasa curiga warisan masa lalu. Lebih curiga pada sesama muslim daripada non-muslim, hanya karena beda mazhab.

Tulisan ini menyuruh kita untuk melakukan kontenplasi kembali  atau rethinking bahwa sudah saatnya melakukan evaluasi ulang, betapa banyaknya perubahan terjadi akhir-akhir ini. Di Sulawesi Barat sampai awal tahun '60-an belum ada sarjana. Nanti tahun 1962 sarjana pertama orang Sulbar adalah Baharuddin Lopa, SH yang berasal dari kampung Pambusuang. Sekarang di kampung ini sudah banyak sarjana dan beberapa orang sudah mencapai Professor. Jadi seharusnya sudah harus move on dari metode berpikir masa lalu untuk memasuki dunia baru dalam mengejar ketertinggalan umat dengan menghindari sikap fanatik buta atau blind fanatic. Demikian pula, jangan lupa mempelajari perubahan sosial jika tidak ingin tertinggal, yang tidak bisa berubah adalah tujuan atau niat. “Saya tidak bisa mengubah arah angin, namun saya bisa menyesuaikan pelayaran untuk menggapai tujuan," kata Jemmy Deam. 

Wassalam,
Makassar, 8 September 2020


Komentar

Postingan populer dari blog ini

STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT SULAWESI SELATAN

SISTEM KEKERABATAN ORANG BUGIS, MAKASSAR, MANDAR DAN TORAJA

SEKILAS SEJARAH MASUKNYA KRISTEN DI ALOR