KHAZANAH SEJARAH:KETERBATASAN SEHARUSNYA MEMBAWA PADA SIKAP TAWADU


by Ahmad M. Sewang

Bagian Pertama 
Prof. Quraish Shihab dalam sebuah ceramah di Fakultas Kedokteran Unniversitas Hasanuddin beberapa tahun silam. Beliau menyampaikan keluhan Prof. Rein dari Universitas Amsterdam pada awal tahun '30-an. Prof. Rein, seorang guru besar di bidang kedokteran dalam sebuah kesempatan menyampaikan keluhannya, "Selama ini yang dipelajari dari manusia terbatas pada bagian fisiknya saja. Di lab. yang diperkenalkan kepada mahasiswa tidak lebih dari fisik kasar manusia, tidak pernah menyentuh masalah yang bersifat rohaniah, apalagi masalah-masalah metafisis, misalnya masalah agama. Masalah ini tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia itu sendiri," demikian keluh-nya. 
Keluhan itu akan semakin terasa jika dilihat dari perspektif masa kini. Tampaknys, perkembangan ilmu pengetahuan semakin menuju bidang spesialisasi, seorang dokter misalnya, mempelajari manusia berdasarkan pembidangan yang ada dalam ilmu kedokteran itu dan menggeluti hanya bahagian kecil dari fisik manusia, seperti dokter gigi, telinga, jantung, mata, dan bagian fisik lainnya. Penguasaan seorang dokter pada bidangnya, membuat ia seakan-akan tidak tahu bidang yang lain. Dokter mata misalnya, tidak tahu-menahu tentang gigi.

Keluhan yang sama, seharusnya akan kita dapatkan pada pakar lain yang studi tentang manusia, seperti antropolog yang membatasi diri pada studi fisik atau budaya manusia. Seorang sosiolog membatasi diri pada studi tentang interaksi manusia dengan masyarakatnya. Ulama pun dalam mempelajari manusia membatasi diri dan hanya menyentuh pengalaman rohani manusia. Dengan demikian manusia hanya bisa mempelajari dirinya sendiri secara parsial atau sekeping-sekeping. Belum lagi kita belajar di luar diri manusia, seperti bumi dan angkasa luar. Keterbatasan pengetahuan tentang manusia, disebabkan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan sangat kompleks, baik ditinjau dari fisik ataupun rohani. Sedang manusia hidup di planet ini memiliki keterbatasan, seperti:
1. Dibatasi oleh umur yang rata-rata bangsa Indonesia menurut ensiklopedia Encarta berusia 70,5 tahun
2. Dibatasi oleh kemampuan akalnya sendiri untuk bisa menjangkau semua ilmu Tuhan, seperti tersebut dalam QS Al-Kahfi,: 109.

قُل لَّوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِّكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَن تَنفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا

Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu pula. 
 
Keterbatasan manusia mengetahui kalimat-kalimat Tuhan seharusnya membuatnya semakin sadar dan tawadu. Bahkan seorang ulama berkata, "Semakin banyak saya tahu, membuat terasa semakin banyak saya tidak tahu". (bersambung)

Wassalam,
Makassar, 30 Juli 2020


Bagian Kedua 
Perkembangan pengetahuan akhir-akhir ini, semakin mengarah ke bidang spesialis, demikian halnya ilmu pengetahuan Islam mengalami perkembangan semakin mengarah ke penguasaan pada bidang  konsentrasi ditekuni. Seorang ilmuwan muslim tidak lagi memungkinkan ahli dalam semua bidang keilmuan Islam yang luas. Tuntutan zaman, menghendaki seseorang hanya bisa ahli dalam satu bidang keilmuan, seperti fikih, pemikiran, sejarah, tafsir, hadis, bahasa dan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Demikian itulah yang sedang terjadi di Universitas Islam. Keilmuan Islam dibagi ke dalam 4 atau 5 fakultas, setiap fakultas dibagi lagu ke dalam beberapa prodi dan setiap prodi terbagi lagi dalam beberapa konsentrasi. Beda dengan ilmuwan masa lalu, seperti Imam al-Gazali, dikenal ulama yang all raund, ahli dalam berbagai bidang keilmuan Islam disebabkan pembidangan masih terbatas, juga tidak banyak problem di zamannya yang bisa menyita perhatian. Berbeda halnya sekarang, pembidangan ilmu agama Islam semakin banyak dan mengerujut. Tulisan ini  sekaligus menghapus image dalam masyarakat muslim awan yang beranggapan, semua alummni UIN serba bisa. Semua menguasai ilmu tafsir al-Quran, sementara prodi tafsir hanya terdapat di salah satu dari 5 fakultas agama, yaitu Fakultas Ushuluddin UIN Alauddin. Jika demikian, apa yang perlu dilakukan sekarang dalam menjawab tuntutan zaman? Menurut pengamatan penulis terdapat tiga kompetensi yang perlu dimiliki seorang alumni UIN, yaitu:
1. Seorang alumni UIN memiliki kompetensi dengan menguasai bidang studi yang di tekuninya. Dengan demikian perlu memperpanjang waktu studinya, tidak cukup pendidikan S1, tetapi perlu lanjut memperdalam bidang konsentrasinya ke S2 dan S3. Karena itu, sebuah universitas yang baik adalah 40% dari seluruh populasi mahasiswa sebuah universitas berada di Program Pascasarjana.
2. Alumni UIN memiliki kompetensi berupa wawasan luas, di samping menguasai bidang keahliannya, Tafsir Alquran misalnya, juga banyak belajar dan memperluas wawasannya tentang bidang ilmu keislaman lainnya.
3. Terdapat tuntutan baru bagi alumni, yaitu kompetensi berupa integrasi keilmuan, yaitu memuliki wawasan pengetahuan umun. Tuntutan itu berupa integrasi keilmuan, yaitu memberi wawasan umum pada keahliannya, misalnya seorang ahli tafsir, ia dituntut bisa bicara tentang ilmu umum yang bersentuhan dengan bidang spesialisasinya, seperti, "Bagaimana Pandangan Alquran tentang Asal Penciptaan Manusia?" Yang bersinggungan Teori Darwin, misalnya. Tuntutan integrasi keilmuan muncul, sebagai janji pada negara ketika alih status dari STAIN dan IAIN ke  Universitas Islam Negeri.

Walau semakin berat tuntutan itu, tetapi penulis tetap percaya akan bisa tercapai, asal bersungguh-sungguh yang dimulai dari dosen dan seluruh civitas akademika. Memang, kelihatan semakin menantang tuntutan ini bagi alumni. Senentara di satu sisi dituntut harus semakin profesional, di sisi lain perlu memiliki wawasan luas. Belum lagi tuntutan baru tentang integrasi keilmuan pada ilmu yang bersentuhan dengan bidang keahliannya. Untuk menjawab tuntutan-tuntutan di atas, maka alumni harus well in formed dan semakin tekun belajar sepanjang hidup dan tidak mengenal halte. Nantilah berhenti belajar jika ajal datang menjemput. 

Dilihat dari segi keilmuan, bagi seseorang yang mengambil konsentrasi di bidang fikih Syafii misalnya, maka ia dituntut memperluas wawasan fikihnya pada mazhab-mazhab lainnya, seperti Maliki, Hanafi, dan Hambali, serta mazhab lainnya yang juga notabene mereka adalah muslim, belum termasuk fikih Imamiah dari mazhab Syiah. Dalam perspektif ke depan untuk memahami fikih mazhab lain akan semakin terbuka lebar sejalan dengan kemajuan teknologi informasi yang semakin memudahkan. Ke depan seorang fakih akan dengan mudah mendapatkan akses dalam memahami mazhab lain. Dalam hubungan ini, Imam besar masjid Istiqlal, Prof. Dr. K.H.Nasaruddin Umar, M.A. ketika di undang ke DPP IMMIM dalam sebuah seminar, beliau membuat statement menarik untuk disimak, "Umat sekarang sedang berangkat dari satu mazhab menuju ke multi mazhab." Pernyataan beliau, penulis artikan dan garisbawahi bahwa seorang ahli fikih dari satu mazab tertentu, sekaligus harus memperluas wawasan fikihnya dengan mazhab-mazhab lainnya, sekaligus melakukan integrasi ilmunya dengan kehidupan modern, seperti bidang transaksi keuangan modern, seperti reksa dana, bursa saham, transaksi on lain dan seterusnya. Jadi seorang fakih ke depan yang memiliki wawasan luas akan lebih arif memahami perbedaan, sebab dia mengerti fikih adalah pemahaman dan pemahaman setiap fakih pasti akan melahirkan perbedaan.

Akhirnya, perlu pula dikemukakan bahwa terdapat bidang keilmuan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan ilmu yang ditekuni. Ilmu itu seakan berdiri-sendiri. Di sinilah, bisa membawa pada kesadaran sebagai seorang ahli yang profesional akan semakin menyadari keterbatasannya untuk menjangkau semua kalimat-kalimat Tuhan yang tak terbatas seperti ungkapan seorang ahli hikmah, كلما زادنى علما زدنى فهما بحهلى   (Setiap bertambah ilmuku, terasa semakin bertambah pahan kebodohanku). Ungkapan tersebut, penulis dikiriman oleh dosen al-Raniri Banda Aceh, Mursyid Jawas, setelah membaca seri 1 tulisan ini Kamis lalu. Ala kulli hal, tulisan ini akan ditutup dengan pengalaman riil yang menarik dari seorang mubalig, Ustaz Amrullah Amri, dalam sebuah peringatan Maulid Nabi saw. Beliau bersentuhan dengan ilmu atau ketrampilan yang sama sekali di luar bidang keilmuannya, beliau memberi contoh yang sangat baik ketika melakukan safari dakwah ke Bulukumba dengan naik mobil. Di Jeneponto mobilnya mogok dan ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghidupkan kembali mobilnya, sekalipun pengetahuan dakwahnya lumayan luas. Di tengah kesulitan itu, tiba-tiba saja ada pengendara mobik yang menghentikan kendaraannya dan menawarkan bantuan. Tentu saja Ustaz Amri berterima kasih. Kemudian pengemudi itu pergi dan kembali dengan membawa montir yang tuna netra. Si montir minta kunci kontaknya dan mencoba untuk menghidupkan mesin mobil itu. Setelah mendengar bunyi mobil itu, Sang mortir langsung memastikan penyabab mesin tidak bisa hidup, yaitu platinanya yang kotor. “Ambilkan kunci 14,” perintah pada temannya. Temannya kemudian memberi kunci 12,  si tuna netra berkata, “Bukan kunci ini yang saya minta.” Setelah platinanya dibuka dan dibersihkan dengan mudah mobil itu dihidupkan. Ustaz Amri mengomentari pengalamannya itu, “Inilah contoh, betapa setiap manusia, buta sekalipun, memiliki kelebihan sekaligus keterbatasan.” Di sinilah manusia perlu saling sharing sambil tawadu atas keterbatasan kemampuan masing-masing, tidak perlu merasa sombong atas ilmu yang terbatas dimilikinya.

Wassalam,
Makassar, 3 Agustus 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT SULAWESI SELATAN

SISTEM KEKERABATAN ORANG BUGIS, MAKASSAR, MANDAR DAN TORAJA

SEKILAS SEJARAH MASUKNYA KRISTEN DI ALOR