KHAZANAH SEJARAH: RESPONS TERHADAP PERTANYAAN TENTANG MOTTO IMMIM

by Ahmad M. Sewang

Motto IMMIM, "Bersatu dalam Akidah dan Toleransi dalam Furu Khilafiah." Walaupun penulis pada dasarnya enggan menanggapinya sebab masalah ini sudah terjawab sebelumnya. Apalagi pertayaan ini datang dari orang yang sama dan juga penulis telah berulang kali menjawabnya. Mohon maaf, jika harus berkata bahwa pertanyaannya juga bak kata pepatah Melayu lama, "Lain yang gatal lain yang digarut." Yang dibahas masalah Prasyarat Persatuan Umat, tetapi yang ditanyakan justru motto IMMIM. Sebaiknya, semangat profesionalitas yang perlu dikedepankan. Tetapi, setelah memperhatikan, keseriusan penanya, akhirnya juga penulis kembali meresponsnya. Karena pertanyaan ini pengulangan, maka jawabannya pun tak bisa dihindari ada yang berulang. Mungkin sahabatku, tidak punya kesempatan memperhatikan ketika di viralkan sehingga sampai pertanyaan berulang kembali. Padahal jawaban panjang lebar sudah dimuat juga di WA Kajian Islam al-Markas.

Motto IMMIM yang dipertanyakan di atas adalah seumur dengan IMMIM yang lahir tahun 1964 atau 56 tahun silam. Motto ini bukan sekedar lip service tetapi dipraktekkan di IMMIM yang tercermin pada latar belakang pengurusnya yang berasal dari organisasi berbeda-beda sejak pertama didirikan sampai sekarang. Benar tidak sda satu pun yang tetap di dunia ini. Semua dalam proses perubahan dan penyesuaian. Satu-satunya yang abadi tidak termakan waktu dan tempat adalah seperti tersebut dalam QS ar-Rahman: 27,
وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
Dan yang kekal abadi adalah Zat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.
Apalagi motto IMMIM tersebut yang selalu menjadi sasaran pertanyaan. Dengan penuh hormat dan takzim kepada the founder faher, almarhum H. Fadli Luran, yang telah menetapkan motto itu. Motto ini telah menginspirasi dalam perjalanan sejarah umat Islam, khusus di Makassar. Buktinya, sampai sekarang, pengiriman mubalig ke masjid-masjid tanpa membedakan latar belakang organisasi, tetapi semata-mata untuk memelihara persatuan sesuai bunyi motto itu.Terima kasih kepada H. Fadli luran telah mengajarkan pada kami bagaimana menikmati hidup dalam perbedaan. Sebab menurut ilmu budaya yang penulis pelajari bahwa sifat terbuka adalah pertanda budaya modern yang senakin di butuhkan ke depan. Sebaliknya, sikap tertutup eksklusifisme sebuah kemunduran dan pertanda budaya lama yang masih bersahaja, walaupun sudah hidup di era modern.

Penulis juga sepakat bahwa setelah melewati perkembangan lebih lima dekade, tentu saja motto, sama halnya kurikulum yang selalu perlu penyesuaian. Insya Allah, seperti penjelasan sebelumnya, penyesaian ini akan diusulkan pada Mubes yang akan datang. Sebab sudah masuk dalam AD, semua penyesuaian yang ada dalam AD harus lewat Mubes. Penulis pun sudah lama memikirkan penyesuaian itu denga beberapa argemen sebagai bahan pertimbangan:
1. Antonim dari furu' bukanlah akidah, melainkan Usul.
2. Akidah sama dengan ibadah, ada yang bersifat usuliaah dan ada pula yang furuiah. 
(Baca bukunya al-Qardawi)
3. Akidah tentang keesaan Allah misalnya, adalah masalah usuliah. Semua ulama sepakat tentang hal itu, tanpa ada perbedaan. Tetapi, para ulama mutakkilimin berbeda pendapat tentang jumlah sifat dan nama Allah. Sebagian mereka membatasinya hanya 20 yang wajib diketahui, sebagian yang lain menyebutnya 99 sifat/nama Allah sesuai hadis tentang al-Asma al-Husna, bahkan Syekh Muhammad ibn Saleh al-Usaimin menyatakan bahwa sifat Allah itu unlimited. Tentu saja sullit membuat kesepakatan, maka para ulama memasukannya dalam masalah furuiah. Padahal masalah sifat Allah termasuk ruang lingkup akidah.
4. Salat sebagai ibadah kepada Allah adalah masalah usul (pokok). Sebab tidak ada satu pun ulama yang mengingkari kewajiban salat. Tetapi, rincian dari salat itu sendiri seperti kunut, jahar atau sirr dalam basmalah, 20 atau 8 rakaat salat tarwih adalah masalah furu'. Karena itu, ulama bisa berbeda pendapat. Sejak awal penulis sudah minta agar buku al-Qardawi dibaca dahulu untuk nenghindari kesalahpahaman. Dengan penuh kerendahan hati, selama pandemi corona, penulis memperoleh hikmah. Buku al-Qardawi itu telah penulis telaah, bahkan membahasnya dalam bentuk buku dan sudah terbit berjudul, "Persatuan Umat dan Saling Memahami Perbedaan". Buku ini diperuntukkan pada mubalig IMMIM dan sudah diserahkan ke LP2M UIN Alauddin sebagai sponsor, Kapan dilaunching? Penulis telah bicarakan di DPP IMMIM dan LP2M, Insya Allah setelah corona berlalu. Pada kesempatan ini, untuk lebih meyakinkan, penulis menyalin teks asli lengkap nama buku dan halamannya tentang pandangan Prof. Dr. Syekh Yusuf al-Qardawi, Ketua Uni Uama se Dunia, tentang masalah yang ditanyakkan dan sekali gus penulis mohon agar disimak baik-baik serta dihayati pandangan beliau agar tidak lagi dipertanyakan:
والحق أن الاختلاف فى ذاته ليس خطرا، وخصوصا فى مسائل الفروع وبعض الأصول غير الا ساسية، انما الخطر فى التفرق والتعادى الذى حذر الله ورسوله منه.
Dalam buku: الصحوة الاسلامية h. 6-7.
Penulis juga minta agar bisa dibaca buku Persatuan Umat yang sudah beredar di toko buku al-Markaz dan toko buku Taha Putra agar terhindar dari salah paham.

Andai kata H. Fadli Luran masih hidup akan gembira melihat para pelanjutnya yang bisa berpikir dinamis. Menurut Drs. AGH Muhammad Ahmad, sekarang penasehat DPP IMMIM, bahwa almarhum sangat terbuka dalam menyikapi setiap permasalahan. Memang, diakui penyesuaian di IMMIM masih terbatas sesuai kedudukannya sebagai organisasi yang ada di daerah. Prinsipnya kami di IMMIM berusaha beramar makruf dan bernahi munkar sesuai potensi yang ada dengan tetap memperhatikan kondisi sosial budaya yang dihadapi, tanpa perlu tergesa-gesa melakukan perubahan. Kami bisa belajar pada metode Three Datuk's, pembawa Islam pertama ke Sulawesi Selatan pada awal abad ke-17, mereka memperkenalkan Islam dengan metode tadrij bahkan Islam yang diperkenalkan lewat strategi top down dengan Islam minimal yang cukup bersyahadat lebih dulu. Harapan mereka bahwa yang akan melakukan intensifikasi atau penyempurnaan Islam yang lebih komprehensif adalah generasi yang akan datang kemudian. Sebab jika langsung memperkenalkan Islam kaffah, bukannya islamisasi akan mencapai tujuan tetapi akan mengalami kegagalan di tengah jalan. Penulis juga pernah jadi mahasiswa almarhum Prof. Nurcholish Madjid, beliau berpesan, "Jika baru menstarter motor atau mobil janganlah langsung tancap gas, sebaliknya jika menghentikannya jangan pula langsung direm mati, sebab boleh jadi akan terjadi kecelakaan." Jadi, menurut penulis, almarhum H. Fadli luran mengeluarkan motto di atas sebagai respon pada zamannya, yang menurut penulis, beliau telah berhasil memainkan peran di masanya.

Jadi sesuai perkembangan masyarakat Islam selama 56 tahun terakhir sejak IMMIM didirikan, perlu memang penyesuaian, sesuai usulan para sahabat di atas. Sebagai orang yang diberi amanah di IMMIM juga sudah lama memikirkannya dan insya Allah akan penulis usulkan di Mubes nanti berupa penyesuai Motto baru, yaitu:
التوحيد فى الأصوال والتسامح فى الفروع
Bagaimana memformulasikan dalam bahasa Indonesia yang benar dan baku?, insya Allah akan dibicarakan dengan ahli bahasa Indonesia. Mungkin saja usulan ini barulah salah satu usulan dan belum tentu yang terbaik dan bisa diterima, maka sebagai orang yang hidup di alam demokrasi, kami tetap menunggu usulan yang lebih baik nanti. Kita juga tidak boleh mengusulkan sesuatu yang asal-asalan, apalagi menyangkut pedoman berorganisasi tanpa ada argumentasi yang kuat. Penjelasan di atas, sebenarnya kami ingin berkata, bukannya tidak mau ditanggapi, malah justru kami gembira dan berterima kasih, tetapi jika tanggapan itu berulang-kali dan berkali-kali pula dijawab, bukannya turut memberi motivasi, tetapi justru bisa jadi penghambat, sebab bisa menyita waktu yang sangat bernilai, bahkan bisa berubah menjadi perilaku unproductive. Demikian penjelasan dari penulis, semoga masalah ini tidak lagi ditanyakan ulang. Andai ada pertanyaan sama, pasti tidak akan direspons lagi, sebab masih banyak agenda yang lebih utama perlu mendapat perhatian, seperti:
1. Persatuan Umat,
2. Keterbelakangan Umat dalam berbagai segi kehidupan, 
3. Keakraban Kebangsaan yang semakin renggang, dan masih banyak lagi.
Sekarang penulis mengeluarkan tantangan baru, terutama bagi yang merasa diri sebagai guru besar. Bagi penulis, guru besar seharusnya tidak mengenal kamus pensiun, apalagi jika masih ada keinginan menyandang Prof. di depan namanya. Sebaiknya tetaplah menjalankan tugas sebagai guru besar dengan tulus, di antaranya menyebarkan ide-ide baru yang konstruktif dan menulis buku sebagai hasil penelitian dan pengamatan. Aktivitas ini lebih bermanfaat untuk masyarakat dan jauh lebih produktif daripada seperti masyarakat awam yang semua masalah ingin ditanggapi. Tulisan tersebut diharapkan kelak menjadi legacy jariah setelah mau atau tidak mau harus angkat kaki dari planet dunia yang fana ini.

Wassalam,
Makassar, 23 Juli 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT SULAWESI SELATAN

SISTEM KEKERABATAN ORANG BUGIS, MAKASSAR, MANDAR DAN TORAJA

SEKILAS SEJARAH MASUKNYA KRISTEN DI ALOR