KHAZANAH SEJARAH: MENCARI TITIK TEMU MENUJU PERSATUAN UMAT


by Ahmad M. Sewang

Prof. Qasim Matar, terima kasih atas pertanyaanya. Sesungguhnya, penulis yakin sebagai intelektual, Prof. lebih mampu menjawab sendiri terhadap apa yang ditanyakan, yaitu kenapa Syekh Yusuf al-Qardawi menarik diri dari Risalah Amman. Boleh jadi, jawaban penulis terhadap apa yang  ditanyakan mungkin jauh dari memuaskan. Penulis juga merasa pertanyaan Prof. bisa menghambat agenda pribadi. Sebab penulis sedang mempersiapkan buku tentang Khazanah Sejarah Jilid II dan III yang sedang mendesak penyelesaiannya. Penulis hanya memetik hikmah di balik pandemi dengan menulis. Semoga ini akan lebih berdaya guna darpadai sekedar menanggapi pertanyaan yang terkadang kurang relevan, seperti sebelumnya. Karena itu, mungkin jika ada pertanyaan, penulis tidak akan merespons lagi kecuali yang sangat urgen. Demikian halnya, untuk sementara waktu, tidak akan menanggapi postingan teman kecuali yang mendesak, seperti dua tiga hari lalu setelah membaca WA yang menamakan diri WA "Elit Quran Kajian". Justru banyak berisikan saling menyalahkan satu sama lain  Penulis terpaksa menegur dengan berkata, "Saya ingin postingan di Elit Quran menumbuhkan suasana kedamaian dan saling belajar Quran dengan tentram seperti nama WA-nya, bukan saling menyalahkan yang jauh dari mendidik dan mencerahkan. Jika group ini tetap tidak mengedepankan akhlak al-karimah, maka dengan hormat, saya mohon izin agar out dari WA ini, khawatir jangan sampai orang luar pertanyakan, beginikah ELIT QURAN? Wassalam

Penulis bersyukur, sebab berkesempatan mendalami pendapat al-Qardawi tentang masalah perbedaan pendapat. Beliau memang menjadi kontroversi ketika melakukan generalisasi terhadap satu mazhab. Dalam buku  Persatuan Umat, h. 98 telah penulis jelaskan bahwa hendaknya kita menghindari generalisasi, baik Sunni atau pun Syiah Penisbaan bukan kepada yang tidak melakukannya adalah sebuah bentuk kezaliman. Tidak boleh menisbakan ke sekte A. atas prilaku sekte B. Penulis pernah komunikasi lewat WA dengan Rakhshandeh Yasdi, atase Kebudayaan Iran untuk Indonesia. Beliau mengakui dalam dunia Syiah ada banyak variasi sekte, mulai dari yang moderat sampai ke yang keras. Di London misalnya, terdapat faksi yang keras, sehingga tidak disetujui kelompok mayoritas Syiah sendiri. Herannya selalu jadi rujukan kelompok lawannya untuk mendeskritkan kelompok moderat. Dalam studi akademik, kami sudah studi Syiah Ghulat yang pernah muncul dalam sejarah. Jelas tidak bisa merepresentasikan kelompok Syiah yang lain. Sebaliknya di dunia Sunni, juga tidak bisa menjadikan pandangan Wahabi sebagai representasi Ahlissunnah wal Jamaah. Itu yang penulis ketahui kenapa al-Qardawi keluar dari Risalah Amman akibat  generalisasi yang juga secara tidak sadar sampai pada beliau. Berbeda dengan Syekh Wahbah al-Zuhaily yang bisa merinci sekte dalam Syiah (Lihat pada bab-bab awal al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu). Bahkan dalam mengawali bukunya beliau menulis, 
وفقه الامامية وان كان اقرب الى المذهب الشافعى فهو لايختلف فى الامور المشهور  عن فقه اهل السنة الا فى سبع عشرة مسالة تقريبا ...  . فاختلافهم لايزيد عن اختلاف المذاهب كالحنفية والشافعية مثلا.
Inilah contoh ulama yang mencari titik temu bukan titik perbedaan.

Walau demikian, penulis tetap menaruh hormat kepada Syekh Yusuf al-Qardawi yang mengajarkan agar menghindari sikap fanatik, termasuk fanatik kepada pendapat beliau sendiri. Jadi menghormati, bukan berarti harus sependapt, seperti juga beliau ketika ada fatwanya yang tidak disetujui, beliau menjawab singkat, "Tidak mungkin orang akan sependapat semua." Jadi walaupun penulis menaruh hormat pada beliau sebagai guru yang mengajarkan independensi, penulis juga dengan keterbatasan pengetahuan  berkata bahwa tidak semua pendapat beliau harus ditelan begitu saja. Pada dasarnya, Risalah Amman bisa mengantar pada pendekatan antara mazhab, tetapi sesuai pengetahuan budaya penulis, ada satu butir dalam risalah itu yang dipertanyakan karena tidak aplikatif, yaitu butir yang berbunyi,. "Tdak diperbolehkan penyebaran satu mazhab, terhadap kelompok lain yang sudah memiliki mazhab lain." Butir ini sebagai butir karet akan sangat sulit ditrapkan di dunia yang semakin mengglobal dan semakin maju di bidang komunikasi yang menembus batas memasuki area kamar privat masing-masing, tetapi penulis bisa memahami keberadaan butir itu, untuk memberikan rasa aman sementara..

Penulis sendiri, sebelum menerbitkan buku tentang Persatuan Umat dan Saling Memahami Perbedaan, ingin ketemu dan wawancara langsung dengan al-Qardawi di Dubai karena banyak hal yang perlu dikomfirmasi. Penulis sudah kontak dengan kemanakan yang bertugas di sana untuk dikomunikasikan agar bisa diterima. Sayang terhambat dengan kondisi fisik belum freash disusul penularan pandemi covid-19, sehingga tidak bisa berangkat, walau daftar wawancaranya sudah tersusun rapi. Sekali lagi, beliau yang penulis pelajari adalah tipe ulama terbuka tidak harus kita sependapat dengan beliau. Karena itu, beliau selalu mengingatkan, jangan fanatis terhadap pendapat sendiri apalagi pendapat orang lain. Mohon doa, semoga Allah swt.  bisa mempertemukan penulis dengan ulama besar itu.

Prof. Qasim kelihatannya selalu ingin berangkat dari titik beda. Di sinilah letak perbedaan dengan penulis yang lebih mengedepankan titik temu. Perbedaan ini, menurut al-Qardawi,  طبيعة البشر  yang terdapat pada setiap manusia, sebagaiman perbedaan antara sahabat Abu Bakar dan Umar bin Khattab a.s. Kenapa penulis mengikuti metode Ijabi yang ingin mencari titik temu? Sebab metode itu lebih memungkinkan menuju persatuan. Alhamdulillah, penulis menemukan titik temu pada diri al-Qardawi, walau tidak terdapat dalam bukunya yang  penulis telaah. Titik temu itu, seperti ketika al-Qardawi mengunjungi Iran, beliau terkadang menjadi Imam Salat yang diikuti oleh jamaah Syiah di belakangnya dan terkadang beliau jadi makmun di belakang Imam Syiah. Penulis sudah pernah baca sikap beliau terhadap penandatanganan terhadap Risalah Amman. Tetapi penulis tidak ingin ikut-ikutan mencari titik beda, sebab pasti akan jadi hambatan menuju persatuan umat. Antara Sunni sendiri sulit bertemu jika yang dicari-cari titik bedanya, misalnya kelompok Wahabi yang puritan dan NU yang adaftif terhadap budaya lokal akan mengalami kesulitan untuk bersatu. Jika yang selalu dikorek-korek titik beda pasti tak akan pernah ketemu di dunia ini, sama halnya dengan binatang kera misalnya, yang selalu dkorek adalah lukanya, bukannya sembuh tetapi justru tambah parah. Itu sebabnya dalam usaha mempersatukan umat, penulis berprinsif melakukan sesuatu yang mungkin, bukan dari yang mustahil. Sesuatu yang mungkin adalah jika berangkat dari titik temu. Menurut, Prof. Quraish Shihab, ketika berkunjung ke IMMIM, "Andaikata ada perbedaan dalam masalah usul sekalipun, maka sebaiknya disimpan dan dimasukan dulu ke masalah Furu sehingga bisa ditoleransi dan didialogkan." Jangan mengunci mati tetapi lakukan sesuatu yang memungkinkan. Sebagai contoh, rukun iman Syiah beda dengan rukun Iman Sunni dan orang memasukanya dalam masalah usul. Menurut penulis, masukan dahulu dalam kotak furu agar bisa disikapi dengan toleransi,jika belum bisa bertemu lakukanlah penafsiran umum bahwa dalam dunia Syiah, Iman pada Allah adalah prima kausa yang bisa melahirkan cabang keimanan yang lain. Keimanan pada Allah sebagai prima kausa akan secara otomatis melahirkan kerimanan  kepada rasul, malaikat, kitab-kitab suci, dan hari kemudian. Jadi pada akhirnya bisa ketemu secara intelektual. Walau mungkin masih sulit pada kelompok awam yang fanatis, tetapi menurut Ali Sariati, sosiolog muslim yang berjiwa optimis, sebuah pembaharuan pada akhirnya akan merambah ke masyarakat awam setelah memakan proses waktu. Akhirnya, penulis mengutip pandangan seorang ulama optimis, Syekh Abdul 'Ahzim al-Zarqam, "Jika ada orang, berdasarkan pengamatan, memiliki tanda-tanda kekkafirsn mencapai 99%, tinggal tersisah 1% keimanannya, maka kembangkanlah keimanannya itu, walau tinggal 1%. Artinya, ulama ini sangat berjiwa besar dan optimis tanpa mengenal rasa prustrasi dan kecewa selalu mencari titik temu demi menuju persatuan umat (Lihat buku Persatuan Umat, h. 88).

Sebenarnya, masih banyak yang perlu dijelaskan, tetapi sebagai contoh yang dikemukakan di atas, penulis menganggap sudah cukup untuk mewakili. Itu pun jika ingin mencari titik temu, seperti yang penulis lakukan di IMMIM dalam lingkup terbatas di kalangan Ahli Sunnah sendiri yang juga sangat variatif. Jadi kami lebih mengedepankan titik temu bukan mencari titik beda. Jika titik beda yang diutamakan, insya Allah, akan beda terus sepanjang masa. Penulis berani memastikan tidak akan pernah ketemu sampai hari kiamat tiba.

Wassalam
Makassar, 27 Juli 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT SULAWESI SELATAN

SISTEM KEKERABATAN ORANG BUGIS, MAKASSAR, MANDAR DAN TORAJA

SEKILAS SEJARAH MASUKNYA KRISTEN DI ALOR