KHAZANAH SEJARAH: MENGHINDARI SIKAP EKSTRIM DAN MEMBANGUN MODERASI BERAGAMA (2)

by Ahmad M. Sewang

Berlebihan dalam beragama disebut Nabi الغلو فى الدين, yang juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan ekstrim dalam beragama, sedang ekstrim dalam beragama dilarang dalam Islam, "Kehancuran umat sebelummu karena mereka ekstrim dalam beragama," peringatan Nabi pada suatu saat. Karena itu umat diperintahkan mengikuti sikap Ali r.a. yang selalu nengambil jalan tengah, beliau berkata, "Hendaknyalah kalian berpegang pada sikap pertengahan. Dengan sikap ini orang yang tertinggal harus segera menyusul dan orang yang lebih di luan harus kembali mundur."

Imam Ahmad dalam musnadnya berkata, Rasulullah saw. membuat satu GARIS LURUS dengan tangannya kemudian bersabda, ini adalah jalan Allah yang lurus. Kemudian membuat jalan di sebelah  kanan dan kirinya seraya berkata, setiap jalan dari jalan-jalan ini terdapat syetan yang mengajak kepadanya, lalu Nabi membaca ayat, "Inilah jalanku yang lurus, maka ikutilah ia dan jangan mengikuti jalan (yang lain itu)." Ibn Kasir mengutip dari Ibn Abbas tentang firman Allah, "Jangan Kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya." Sambil membacakan firman-Nya, berpegang tegulah pada tali Allah swt. dan jangan bercerai-berai.

Dalam buku, "Persatuan Umat dan Saling Memahami Perbedaan" penulis menggambarkan sabda Nabi di atas sebagai sebuah garis lurus siratal mustaqim atau jalan Nabi. Di atas jalan itu terbentang jalan yang melintas dari kiri ke kanan dan dari kanan ke kiri. Semakin jauh dari garis lurus ke kanan disebut ekstrim kanan dan sebaliknya semakin jauh dari garis lurus ke kiri disebut ekstrim kiri. Selanjutnya garis melintang tadi semakin ke tengah akan semakin moderatlah dia dan itulah jalanku, kata Nabi.

Menurut penulis bahwa sikap ekstrim atau orang yang bersikap berlebihan, terutama dalam beragama adalah orang yang tidak mampu memelihara keseimbangan antara hubungan baik kepada Yang Maha Kuasa dan hubungan harmoni pada sesama makhluk ciptaan-Nya, khususnya sesama manusia. Orang semacam inilah disebut الغلو. Dalam sejarah sering dinisbahkan pada kelompok Khawarij. Memang diakui bahwa dalam hubungannya pada Allah swt. tidak ada yang meragukan,nya ibadahnya bagus, salat malamnya tidak ada yang tertinggal, bacaan al-Qurannya fasih. Ketika Gubernur Mesir, Amar bin As, meminta bantuan ke pemerintah pusat di Madinah agar dikirimi guru mengaji, Umar r.a. sebagai Khalifah mengutus salah seorang Kawarij, sambil berkata, "Aku akan mengutus padamu seorang qari' terbaik." Sayang sekali dari segi akhlak sosialnya rusak. Mereka merasa benar sendiri dalam memahami al-Quran. Mereka memahaminya secara harfiah, sehingga sangat rigit dalam memahami teks. Seorang Khawarij, di masa Khalifah ke-4, Abdurrahman Ibn Muljam, dia mengklaim hanya dia yang benar dan menganggap Ali bin Abi Talib k.w. tidak bertahkim menurut al-Quran, karena itu, Ali k.w. termasuk orang yang kafir yang harus dibunuh, demikian pendapat Ibn Muljam. Hal ini pula mendorongnya berangkat ke Kufah untuk membunuh khalifah. Tak seorang jamaah pun tahu bahwa akan terjadi pembunuhan pada saat sedang salat.  Dalam keadaan sujud pada salat subuh di Mesjid Agung Kufah, Khalifah Ali r.a. langsung mendapat serangan dengan pedang beracun pada 19 Ramadan. Beliau meninggal dunia dua hari setelahnya, yaitu  21 Ramadan 40 H. Kenyataan ini dapat kita menyimpulkan betapa bahayanya sikap ektrim dalam beragama dan betapa sangat diperlukan sikap moderasi beragama. Apalagi di zaman sekarang, bisa saja muncul Khawarij modern yang bisa memporak-porandakan kohesi persatuan umat.

Moderasi beragama berpandangan bahwa perbedaan pendapat adalah teman mencari kebenaran. Bahkan sejalan dengan tingkat kemajuan berpikir umat, mereka berpendangan perbedaan pendapat dalam masalah furu dan ijtihadiah adalah al-sarwah atau sebuah kekayaan untuk memperluas wawasan. Hanya tidak boleh berhenti sampai pada perbedaan tetapi perlu dilanjutkan dengan penelusuran secara jernih mengapa terjadi perbedaan? Boleh jadi setelah penelusuran akan menemukan kebenaran baru. Di sini bisa dua kemungkinan, yaitu akan lebih memperkuat pendapat semula atau justru mengubah pendapat sendiri dengan menhikuti pendapat lain yang dianggapnya ternyata lebih kuat. Penulis dapat pesan dari seorang ahli hikmah yang masyhur bahwa perbedaan dalam masalah apa pun tidak bisa langsung dijustifikasi atau dikafirkan, perlu lebih dahulu diteliti secaa mendalam dan didialogkan secara terbuka untuk memahami argumentasi mereka, siapa tahu mereka memiliki penafsiran yang berbeda. Jika hanya beda penafsiran, kenapa harus berselisih? Jadi budaya dialog dalam masyarakat seperti yang diwariskan para the founding fahers sebelum kemerdekaan perlu kembali dihidupkan. Dialog terbuka adalah bagian dari sikap moderasi beragama yang bisa membawa kepada persatuan umat. Sebaliknya, budaya menutup doalog adalah berasal dari masyarakat yang masih bersahaja yang sudah ketinggalkan. Seri berikutnya tentang hal yang bisa menghambat pada persatuan, yaitu hobi saling menyesatkan dan mengafirkan.

Wassalam,
Makassar, 13 Juli 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT SULAWESI SELATAN

SISTEM KEKERABATAN ORANG BUGIS, MAKASSAR, MANDAR DAN TORAJA

SEKILAS SEJARAH MASUKNYA KRISTEN DI ALOR