KHAZANAH SEJARAH: DILARANG SALING MENYESATKAN DAN MENGAFIRKAN SESAMA MUSLIM (3)

by Ahmad M. Sewang

Sikap tadlil (menesatkan) dan takfir (mengafirkan) mulanya bersumber dari intoleransi pada perbedaan dan klaim kebenaran. Satu-satunya kebenaran yang diakui, menurut paham ini, hanyalah kebenaran yang sama dengan paham mereka. Sementara al-Qardawi berpendapat, kebenaran itu bisa berbeda antara satu dengan yang lain, terutama menyangkut masalah furu dan masalah ijtihadiah. Kedua masalah itu,  memungkinkan timbulnya perbedaan, sedang perbedaan itu adalah bahagian dari sunnatullah. Bahkan dikatakan, "Barang siapa yang berfantasi agar manusia hidup di dunia ini diseragamkan saja, baik pendapat atau pun kepercayaan, beliau berkata, لم يكن وقوعه (mustahil akan terjadi dalam realitas) atau sama dengan orang yang sedang bermimpi bahwa pada suatu saat matahari terbit di sebelah barat dan terbenam di sebelah timur, artinya ia sudah berkhayal melawan sunatullah." Keinginan untuk menyeragamkan semua pendapat manusia di dunia bertentangan dengan sunatullah. Di sinilah umat perlu disadarkan untuk saling memahami dan menghormati perbedaan yang ada.

Perbedaan ini telah terjadi di masa Rasulullah saw. dan tetap berlangsung sampai dunia ini kiamat. Memang di masa Nabi, para sahabat sering berbeda  dalam menyikapi perintah Nabi, tetapi tidak ada satu pun di antara para sahabat yang membawanya sampai kepada pertikaian. Hal ini, menurut pengetahuan penulis, karena wibawa dan leadership Nabi. Penulis telah tulis dalam buku Persatuan Umat dan Saling Memaham Perbedaan. Sikap tadlil dan takfir bisa berujung pada pembunuhan, seperti pada sejarah Khawarij. Sikap seperti ini, perlu ada pembahasan khusus, sebab di beberapa daerah di tanah air sudah berdiri sebuah organisasi Khawarij modern bernama LPAS (lembaga Pemburu Aliran Sesat). Siapa yang sesat itu? Mereka sendiri yang menentukan, bukan lembaga otoritas resmi seperti MUI. Ketika penulis mengikuti kegiatan Halakah dengan para peneliti di Litbang Kemenag RI, penulis menyarankan bahwa lembaga ini perlu diriset sebagai penelitian terapan untuk pengambilan kebijakan Kementerian Agama R.I. Di dunia barat pembangunan punya akar yang kuat karena kebijakannya didasarkan pada hasik penelitian. 

Sebagai diketahui, Khawarij yang dikenal dalan sejarah lebih toleransi kepada orang musyrik daripada sesama muslim yang tidak sependapat dengannya. Mereka sangat tekstual dan rigit dalam memahami ayat al-Quran. Wasil bin Ata, pendiri Muktazilah, misalnya, pada suatu ketika bertemu dengan sekelompok Khawarij. Wasil ditanya, apakah Wasil seorang muslim atau non-muslim? Dalam hati Wasil, jika ia menjawab muslim, maka akan ada pertanyaan lanjutannya, apakah Wasil seorang Khawarij atau bukan? Wasil sudah bisa membayangkan reziko akan dialiminya, yaitu akan dibunuh, jika ia menjawab bukan Khawarij. Dalam keadaan demikian, Wasil menjawab dengan diplomatis bahwa ia seorang musyrik mustajir (minta perlindungan). Mendengar jawaban Wasil, Khawarij justru berubah sikap dengan sangat sopan. Wasil dipersilahkan duduk di tempat terhormat dan dijamu dengan berbagai hidangan. Selanjutnya, salah seorang Khawarij membacakan ayat-ayat al-Quran seraya meminta Wasil mendengarkannya. Setelah itu, Wasil diantar untuk melanjutkan perjalanan sampai ke tempat aman. Kenapa Khawarij bersikap demikian? Bukankah mereka sangat kejam? Ternyata sikap kejam itu hanya berlaku bagi muslim yang tidak sepaham atau sealiran dengannya. Sebaliknya, non-muslim justru diperlakukan dengan sangat baik. Wasil mengerti betul bahwa Khawarij memaknai al-Quran secara tekstual, seperti dalam QS al-Taubah: 6,
وَإِنْ أَحَدٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّىٰ يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَّا يَعْلَمُونَ
Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan padamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.

Khawarij tidak memiliki khazanah penafsiran lain dari ayat di atas selain mereka hanya memahami jika orang musyrik datang mohon pertolongan, maka mereka harus ditolong. Seharusnya penafsiran mereka dikembangkan ke arah positif,  "Sedang orang musyrik ditolong apalagi sesama orang beriman." Mereka sudah menutup telinga mendengar nasehat orang lain, bahkan nasehat Nabi sekalipun. Dalam hubungan ini, Nabi sangat mencela orang yang mengafirkan bagi siapa pun sudah mengucapkan Lailaha Illallah, Nabi bersabda : 
كفوا عن اهل لااله الا الله لاتكفروهم بذنب من كفر اهل لااله الاالله فهو الى الكفر اقرب  
Tahanlah diri kalian (menuduh) orang yang mengucapkan lailaha illalah. Barang siapa mengafirkan orang yang menucapkan lailaha illallah, maka ia lebih dekat kepada kekafiran.

Dalam sebuah kisah tentang sahabat Usamah bin Zaid yang membunuh seorang lelaki dalam suatu pertempuran, setelah mengucapkan la ilaha illallah. Tetapi, tetap saja Usamah kalap membunuhnya. Alasannya, ucapan "lailaha illallah" yang keluar dari mulutnya adalah sebagai kamulflase kepura-puraan karena takut pada kematian. Kejadian ini sampai pada Nabi dan beliau mengecam Usamah dengan berkata, هل شققت على قلبه؟ Apakah engkau telah membedah dadanya?.(Untuk mengetahui bahwa ia berpura-pura.) Ungkapan metaforis Nabi di atas menunjukkan beliau marah dan tidak setuju kepada sikap Usamah. Jadi seorang pun tidak dibenarkan mengafirkan bagi seorang yang sudah mengucapkan syahadat. Seri berikutnya sebgai prasyarat Persatuan Umat adalah saling menghargai perbedaan.

Wassalam,
Makassar, 16 Juli 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT SULAWESI SELATAN

SISTEM KEKERABATAN ORANG BUGIS, MAKASSAR, MANDAR DAN TORAJA

SEKILAS SEJARAH MASUKNYA KRISTEN DI ALOR