KHAZANAH SEJARAH: DOUBLE TRUTH PADA MASALAH IJTIHADIAH

by Ahmad M. Sewang

Pemahaman kebanyakan orang bahwa kebenaran itu hanya satu. Tetapi menurut al-Qardawi bahwa dalam masalah ijtihadiah kebenaran bisa ganda. Memang kebenaran dari Tuhan hanyalah satu, tetapi jika dihadapkan ke para mujtahid dan dalam satu masalah sama akan menghasilkan aneka pendapat dan masing-masing memiliki dalil yang kuat, sedang Tuhan atau Nabi, sebagai pemutus kebenaran, tidak akan muncul menentukan pendapat yang paling benar. Itulah salah satu faktor munculnya kebenaran ganda.

Syekh Yusuf al-Qardawi juga pernah dihadapkan masalah yang sama. Beliau menjawab, "Sesungguhnya di antara para ahli usul ada yang berpendapat bahwa dalam masalah hukum, kebenaran itu bisa lebih dari satu. Setiap hukum yang disimpulkan oleh seorang mujtahid adalah benar sekalipun kesimpulan hukum sebagai hasil ijtihadnya saling berlawanan,  misalnya seorang mujtahid mengharamkan sedang yang lain menghalalkan atau yang satu mengatakan wajib tetapi yang lainnya tidak." Sekedar meyakinkan, saya kutip aslinya (162),
امكان تعدد الصواب،
ان فى الاصوليين من يرى أن الصواب يتعدد فى احكام الفروع، وان الصواب فى كل مسألة ما انتهى إليه حكم المجتهد فيها، وإن اختلفت الا جتهادات ونتائجها، أختلاف تضاد، لامجرد اختلاف تنوع، بان رأى احدهم حل هذا الشىء، والاخرحرمه او راى احدهم وجوبه، وراى غيره عدمه.
Sebagai contoh, ijtihad seorang mujahid di suatu masa dinilai benar, tetapi pada masa yang lain dianggap sudah tidak relevan bahkan ijtihad mujahid lainnya yang baru muncul justru yang dinilai benar. Imam Syafi'i pernah mengubah hasil ijtihadnya sendiri karena hanya berpindah tempat. Inilah yang dimaksud oleh ulama, perubahan fatwa karena perubahan zaman, tempat, keadaan, kebiasaan, dan faktor perubahan lainnya.

Al-Allama Syekh Mar'i al-Hambali berkata: "Sesungguhnya perbedaan itu merupakan rahmat dan kekayaan yang hanya bisa dipahami para hukama dan tidak akan mampu dipahami orang-orang yang jahil."
Di Indonesia ada satu masalah yang sama yang menghasilkan fatwa yang berbeda, misalnya hukum merokok berdasarkan bahsul masail NU dan majlis tarjih Muhammadiyah. Hasil fatwanya kontradiksi, yang satu menghalalkan rokok, yang lainnya mengharamkannya dengan argumen masing-masing. Sekalipun kontradiktif mereka menerima perbedaan itu dengan lapang dada. Mereka tidak saling menyesatkan satu sama lain. Keduanya saling menghargai hasil ijtihad masing-masing. Mereka sadar bahwa perbedaan hasil ijtihad, walau keduanya berpedoman pada al-Quran dan hadis yang sama, hasilnya bisa berbeda karena perbedaan ilat pertimbangan yang digunakan. Keduanya akan mendapatkan jaminan pahala dari Nabi sebagai penghargaan atas usaha ijtihad mereka. Dalam memanfaatkan stay at home, saya banyak membaca perilaku para sahabat  di masa Nabi. Mereka juga biasanya berbeda pendapat dalam memahami perintah Nabi, misalnya, antara Umar bin Khattab dan Abu Bakar r.a tentang tawanan perang atau Ibn Umar dan Ibn Abbas tentang bersentuhan perempuan dalam wudu, tetapi walau  berbeda mereka tidak sampai berpecah apalagi saling menyesatkan satu sama lain. Sahabat yang mulia itu, benar-benar mempraktekkan perintah Allah swt. dan Nabi-Nya,  "Berpegangteguhlah pada tali Allah jangan berceraiberai." Perbedaan adalah rahmat dan al-sarwah, tetapi berpecah adalah laknat dan mazmumah. Perbedaan hanya bisa dipraktekan, bila kita memiliki kelapangan hati untuk berbeda dan wawasan luas yang bisa menghargai pendapat orang lain (احترام الراى الآخر), kata al-Qardawi.

Wassalam,
Makassar, 6 Mei 2020

KHAZANAH SEJARAH:
PERSATUAN UMAT SEBAGAI TANTANGAN MASA KINI (2)
by Ahmad M. Sewang

 Pada tingkat nasional, sejak 1911sudah ada upaya untuk menyatukan Umat Islam Indonesia dalam satu saf, yaitu dengan mendirikan Persatoean Oemmat oleh Abdoel Halim di Majalengka. Sebagai lanjutannya MIAI didirikan 1937, dan Masyumi 1943 yang tujuannya untuk menyatukan umat dalam satu barisan, tetapi ada saja faktor penyebab sehingga selalu dibayangi perpecahan. Partai  Politik tanpaknya paling rentan terpecah, sebagai contoh pada masa Orde Baru, PPP didirikan untuk menjadi rumah besar umat Islam dengan menjadikan Kabah sebagai lambang perjuangan dimaksudkan agar umat bersatu dan bernaung di bawahnya. Namun, PPP segera berpecah terutama ketika memasuki Era Reformasi, semua partai yang berfusi, masing-masing melompat keluar untuk mendirikan partai sendiri-sendiri. Pada waktu yang hampir bersamaan didirikan ICMI yang dimaksudkan  untuk menyatukan potensi umat dalam membangun bangsa, tetapi ada juga umat Islam sendiri yang menentangnya. Sekarang ini, era Presiden Jokowi, PKS sebagai satu-satunya partai yang berani beroposisi juga pada akhirnya terpecah dua dengan berdirinya Partai Glora sebagai pecahan dari PKS.

Ketika Cina Komunis mendapatkan sorotan dari banyak negara di dunia atas perlakuannya terhadap muslim Uighur. Mereka dimasukan ke dalam kamp konsentarasi untuk brainwash atau cuci otak. Tetapi ada saja pimpinan organisasi Islam di Indonesia justu membangun kerjasama dengan China Komunis dengan mengundang duta besarnya datang ke lembaganya dan memanfaatkannya untuk minta sumbangan. Akhirnya, bantuan pada muslim Uighur jadi buyar. Pertanyaannya kapan umat ini bersatu? Padahal dengan persatuan akan membuka jalan lebih mudah menyelesaikan banyak masalah yang muncul, seperti keterbelakangan umat dalam segala aspek kehidupan.

Dalam sebuah diskusi baru-baru ini dengan nara sumbernya Imam Syamsi Ali langsung dari New York AS via on line. Diskusi yang diprakarsai Institut Parahikma Indonesia, salah seorang peserta berpendapat bahwa bersatu dengan non-muslim jauh lebih mudah dibanding dengan sesama muslim sendiri. Sebab di antara muslim sudah terbiasa menyesatkan orang yang beda paham dengannya daripada menghormati pendapat sesamanya. 

Akhirnya, saya membayangkan, alangkah indahnya jika ada sebuah lembaga yang menjadi milik bersama, di dalamnya menghimpun muslim cerdas dengan latar belakang organisasi yang berbeda-beda. Mereka bekerjasama bahu-membahu untuk memajukan umat secara bersama. Itulah yang dilakukan di IMMIM, sekali pun organisasi regional yang hanya mengurusi masjid dan mubalig, tetapi kami bahagia menikmati berinteraksi dengan para sahabat yang datang dari berbeda-beda latar belakang organisasi. Pernah kami sarankan dengan Prof. Quraish Shihab, agar membentuk cabang organisasi al-Taqrib bayna al-Mszahib (Pendekatan di antara Mazhab) dan  beliau berpotensi memimpinnya. Sayang, karena kesibukan, cita-cita ini belum bisa terwujud. Sebaliknya, sungguh ironis, jika ada lembaga bersama seperti tersebut di atas bersifat eksklusif. Mereka hanya bisa bekerja sendiri tanpa peduli pada saudaranya yang kebetulan beda organisasi sekalipun saudaranya itu ada yang lebih baik dan memenuhi semua persyaratan. Organisasi semacam ini hanya akan meninggalkan legacy kebencian dan memperpanjang perpecahan sekaligus melestrikan kemunduran. Semoga kita semua terhindar dari lembaga demikian. Amin!

Wassalam,
Makassar, 18 Ramadan 1441 H

KHAZANAH SEJARAH:
PERSATUAN UMAT SEBAGAI TANTANGAN MASA KINI (2)
by Ahmad M. Sewang

 Pada tingkat nasional, sejak 1911sudah ada upaya untuk menyatukan Umat Islam Indonesia dalam satu saf, yaitu dengan mendirikan Persatoean Oemmat oleh Abdoel Halim di Majalengka. Sebagai lanjutannya MIAI didirikan 1937, dan Masyumi 1943 yang tujuannya untuk menyatukan umat dalam satu barisan, tetapi ada saja faktor penyebab sehingga selalu dibayangi perpecahan. Partai  Politik tanpaknya paling rentan terpecah, sebagai contoh pada masa Orde Baru, PPP didirikan untuk menjadi rumah besar umat Islam dengan menjadikan Kabah sebagai lambang perjuangan dimaksudkan agar umat bersatu dan bernaung di bawahnya. Namun, PPP segera berpecah terutama ketika memasuki Era Reformasi, semua partai yang berfusi, masing-masing melompat keluar untuk mendirikan partai sendiri-sendiri. Pada waktu yang hampir bersamaan didirikan ICMI yang dimaksudkan  untuk menyatukan potensi umat dalam membangun bangsa, tetapi ada juga umat Islam sendiri yang menentangnya. Sekarang ini, era Presiden Jokowi, PKS sebagai satu-satunya partai yang berani beroposisi juga pada akhirnya terpecah dua dengan berdirinya Partai Glora sebagai pecahan dari PKS.

Ketika Cina Komunis mendapatkan sorotan dari banyak negara di dunia atas perlakuannya terhadap muslim Uighur. Mereka dimasukan ke dalam kamp konsentarasi untuk brainwash atau cuci otak. Tetapi ada saja pimpinan organisasi Islam di Indonesia justu membangun kerjasama dengan China Komunis dengan mengundang duta besarnya datang ke lembaganya dan memanfaatkannya untuk minta sumbangan. Akhirnya, bantuan pada muslim Uighur jadi buyar. Pertanyaannya kapan umat ini bersatu? Padahal dengan persatuan akan membuka jalan lebih mudah menyelesaikan banyak masalah yang muncul, seperti keterbelakangan umat dalam segala aspek kehidupan.

Dalam sebuah diskusi baru-baru ini dengan nara sumbernya Imam Syamsi Ali langsung dari New York AS via on line. Diskusi yang diprakarsai Institut Parahikma Indonesia, salah seorang peserta berpendapat bahwa bersatu dengan non-muslim jauh lebih mudah dibanding dengan sesama muslim sendiri. Sebab di antara muslim sudah terbiasa menyesatkan orang yang beda paham dengannya daripada menghormati pendapat sesamanya. 

Akhirnya, saya membayangkan, alangkah indahnya jika ada sebuah lembaga yang menjadi milik bersama, di dalamnya menghimpun muslim cerdas dengan latar belakang organisasi yang berbeda-beda. Mereka bekerjasama bahu-membahu untuk memajukan umat secara bersama. Itulah yang dilakukan di IMMIM, sekali pun organisasi regional yang hanya mengurusi masjid dan mubalig, tetapi kami bahagia menikmati berinteraksi dengan para sahabat yang datang dari berbeda-beda latar belakang organisasi. Pernah kami sarankan dengan Prof. Quraish Shihab, agar membentuk cabang organisasi al-Taqrib bayna al-Mszahib (Pendekatan di antara Mazhab) dan  beliau berpotensi memimpinnya. Sayang, karena kesibukan, cita-cita ini belum bisa terwujud. Sebaliknya, sungguh ironis, jika ada lembaga bersama seperti tersebut di atas bersifat eksklusif. Mereka hanya bisa bekerja sendiri tanpa peduli pada saudaranya yang kebetulan beda organisasi sekalipun saudaranya itu ada yang lebih baik dan memenuhi semua persyaratan. Organisasi semacam ini hanya akan meninggalkan legacy kebencian dan memperpanjang perpecahan sekaligus melestrikan kemunduran. Semoga kita semua terhindar dari lembaga demikian. Amin!

Wassalam,
Makassar, 18 Ramadan 1441 H

KHAZANAH SEJARAH:
RESPONS PADA NETIZEN TENTANG PROBLEMA PERSATUAN UMAT 
by Ahmad M. Sewang

Terima kasih semua masukan dari para sahabat: Prof. Hasyim Aidit, Wahyuddin Halim, Muh. Wayong, Yadi dan Arif serta beberapa respon di luar Sulawesi Selatan Berbagai problem yang menimpa umat membutuhkan penyelesaian multi pendekatan, di antaranya:
1. Memikirkan ulang usaha para pendahulu kita dan menghormati usaha yang telah mereka rintis untuk membangun persatuan umat. Seperti diketahui lewat tulisan sebelumnya bahwa sejak awal abad ke XX pada tahun 1911 sudah memulai upaya ke arah persatuan itu dengan mendirikan Persatoean Oelama di Majalengka oleh Abdoel Halim. Usaha itu terus-menerus dilakukan sampai kini, tetapi dalam kenyataan selalu saja ada hambatan, tidak mudah memang untuk mewujudkannya, sebab ada saja faktor penyebab terjadinya perpecahan. Untuk itu, diperlukan gerakan bersama simultan menuju persatuan itu. Siapa pun yang berpotensi untuk memimpin umat, maka itulah yang seharusnya dijadikan pemimpin bersama, tanpa memandang latar belakang organisasinya. Sebaliknya pemimpin yang disepakati itu segera mengubah dan menyadari diri sebagai pemimpin untuk semua, bukan lagi pemimpin kelompok. Dulu saya memilih K.H. Hazim Muzadi dari NU dan bersana Prof. Din Syamsuddin, sebagai ketua karena keduanya sudah memiliki jaringan Internasional dan keduanya memiliki potensi atau siapa pun yang disepakati jadi pemimpin umat. Berpedoman pada pendirian Masyumi yang didirikan Tahun 1943 dipimpin oleh K.H. Hasim Asari dari NU dan K.H Mas Mansur dari Muhammadiyah semata-mata agar organisasi ini jadi milik bersama. Kita mencontoh hal yang positif masa lalu dari Masyumi, semata-mata mengikuti jargon pesantren, "Memelihara tradisi positif masa lalu dan menerima yang lebih baik yang baru masa kini."
2. Istilah Eep Saifuddin, bahwa umat masih tertinggal, baru bisa berkerumun tetapi belum tahu berorganisasi untuk menyusun agenda strategis. Misalnya, banyak sahabat belum bisa menahan duri untuk mendaftar sebagai calon DPD. Jika semua mau jadi calon DPD, baik dari NU atau pun dari Muhammadiyah masing-masing mencalonkan lebih dari satu orang, padahal paling memungkinkan lolos hanya satu orang tetapi karena tidak dibicarakan bersana strategi yang baik, hasilnya satu pun tak ada yang lolos ke Senayang. Beda dengan satu kelompok kecil yang suaranya pas-pasan satu orang karena calonnya hanya satu dan mereka bersatu dan fokus memenangkannya, maka itulah yang berhasil lolos ke Senayang. Artinya, kita juga perlu strategi. Karena itu, kita tak perlu menyesal jika diwakili oleh senator yang diabggap tidak mewakili suaranya di Senayang
3. Ada kebiasan umat tidak menghargai pendapat orang lain yang berbeda dengannya. Bahkan ada kebiasaan yang kurang baik, orang yang berbeda dengan pahamnya, langsung saja dicap salah bahkan sesat. Perlu diketahui masalah ijtahadiah pasti menghasilkan perbedaan. Di masa Nabi sendiri ada dua sahabat yang selaku bertolak belakang pendapatnya, seperti Umar dan Abu Bakar a.s. demikian pula Ibn Abbas dan Ibn Umar, tetapi kedua sahabat ini saling menghormati satu sama lain dan tidak sampai muncul perselisihan berkat arahan wibawa dan leadership Nabi. Sama halnya di Indonesia ada satu masalah yang sama yang menghasilkan fatwa yang berbeda, misalnya hukum merokok berdasarkan bahsul masail NU dan majlis tarjih Muhammadiyah. Hasil fatwanya kontradiksi, yang satu menghalalkan rokok, yang lainnya mengharamkannya dengan argumen masing-masing. Sekalipun kontradiktif mereka menerima perbedaan itu dengan lapang dada. Mereka tidak saling menyesatkan satu sama lain. Keduanya saling menghargai hasil ijtihad masing-masing. Mereka sadar bahwa perbedaan hasil ijtihad. Keduanya akan mendapatkan jaminan pahala dari Nabi sebagai penghargaan atas usaha ijtihad mereka. intinya, kita harus siap menghormati pendapat orang lain.
4. Para pengurus masjid dan mubalig di bawah yuridiksi DPP IMMIM saya fatwakan, jika ada masalah furu dalam agama yang berbeda, misalnya salat tarwih dan witir, apakah 21 rakaat atau 11 rakaat, jangan berhenti pada perbedaan itu, tetapi lanjutkan dan telusuri, kenapa berbeda? Hasil penulusuran itu, diperpegangi menurut yang diyakini paling benar, tetapi jangan menyalahkan pada pendapat yang dianggap kurang sarih. Cara beragama demikian jauh lebih diterima secara akademik dan kebih rasional daripada hanya mengandalkan emosi. Cara ini lebih bisa membawa pada persatuan.

Wassalam,
Makassar, 19 Ramadan 1441 H

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT SULAWESI SELATAN

SISTEM KEKERABATAN ORANG BUGIS, MAKASSAR, MANDAR DAN TORAJA

SEKILAS SEJARAH MASUKNYA KRISTEN DI ALOR