KHAZANAH SEJARAH: AL-QARDAWI MENJAWAB TRANSFORMASI IPTEK


by Prof. Dr. H.Ahmad M. Sewang, MA

Bagian Pertama 
Al-Qardawy menulis tentang faktor penyebab munculnya perbedaan yang dilarang. Di bawah ini sengaja saya salin teks  orisinalnya agar netizen bisa menganalisah dan memperkayanya:
 الاختلاف المذموم هو:
١. ماكان سببه البغي واتباع الهوى، ... .
٢،- وهوختلاف الذى يؤدى إلى تفرق الكلمة وتعاد الامة، وتنازع الطوائف، ...،
Perbedaan yang tercela adalah:
1. apabila menimbulkan kebencian dan mengikuti hawa nafsu. ...Allah mengecam dan mencela umat terdahulu yang ingin tetap melestarikan perbedaan, karena didorong kecintaan berlebihan pada dunia. Kecaman ini, boleh saja terjadi pada umat masa kini yang ingin mempertahankan perpecahan karena secara tak sadar ingin mendapatkan keuntungan duniawi dari sebuah lembaga bantuan yang juga punya kepentingan tertentu pula.
2. Perbedaan pendapat yang mengakibatkan timbulnya perpecahan  dan permusuhan sesama umat dan antar kelompok. ...Walau pun menyangkut masalah furu, jika bisa membawa pada perpecahan juga dikategorikan sebagai perbedaan yang  tercela. Banyak nas-nas al-Quran  dan sunah Nabi saw. mengecam adanya perpecahan, sebaliknya menyuruh untuk bersatu. 

Dalam sebuah seri tulisan ini telah di-sharing bahwa di antara kelemahan umat adalah lebih hobi berpecah daripada bersatu, seperti kejadian di Timur Tengah saat ini. Pada seri yang lain, penulis menghimbau kepada para pemimpin umat agar menahan diri untuk membuat pernyataan yang bisa jadi faktor penyebab terjadinya perpecahan, misalnya dengan mengatakan, "Semakin panjang janggut semakin goblok." Walau saya tidak berjanggut, saya menghormati orang yang berjanggut karena menurut anggapan mereka sebuah usaha meneladani sunah Nabi saw. Sebaliknya mereka juga harus menghargai orang  yang tidak berjanggut karena berjanggut baginya termasuk kebiasaan Nabi sebagai manusia. Sedang kebiasaan Nabi sebagai manusia adalah masalah pilihan, apa lagi tidak adadi  dalil yang sarih memperkuatnya. Hanya dengan saling menghormati dan menghargai, barulah umat akan bisa bersatu. Pelajaran inilah yang saya  dapatkan dari seorang ulama dan guru besar, ketika masih menjadi mahasiswa di PPs Jakarta. Kembali lagi, jangan berhenti pada perbedaan, Tetapi, lanjutkanlah dengan menelaah argumentasi  di balik terjadinya kedua pendapat yang berbeda itu. Apa pun pendapat yang diperpegangi setelah itu, mereka tetap harus menghormati pendapat lain sepanjang memiliki argumen atau dalil. Sebab menyangkut masalah ijtihadiyah, menurut al-Qardawy, tidaklah bisa dipastikan mana yang lebih benar.

Wassalam,
Makassar, 22 November 2019

Bagian Kedua
Revolusi iptek telah membawa hidup manusia lebih comport dan lebih efesiensi. Kemudahan dan kenyaman hidup dalam  transpontasi dan kenyamanan AC di musim panas atau penghangat ruangan di musim dingin, pemanas dan pendingin air sesuai kebutuhan, hadirnya mesin cuci, dan sebagainya. Kemajuan iptek dewasa ini berakibat telah terjadinya perubahan sosial bagi kehidupan umat manusia, tak terkecuali umat Islam, baik di bidang kemasyarakatan, ekonomi, politik, dan budaya. Semua kemajuan itu, menurut al-Qardawi, justru menantang setiap pemikir muslim untuk mengkaji ulang terhadap khazanah pemikiran klasik.

Seiring transformasi sosial sebagai akibat kemajuan iptek, muncullah banyak permintaan fatwa dari masyarakat luas. Permintaan fatwa, menurut al-Qardawi, adalah sebuah kebutuhan agar umat bisa survive di tengah masyarakat modern. Artinya, mereka menginginkan petunjuk Islam untuk diamalkan dalam kehidupan keseharian sesuai fatwa yang diterimanya, misalnya mereka yang bergelut dalam dunia perbankan, asuransi, bisnis saham, transportasi, kesehatan, mengenai zakat, dan lain sebagainya. 

Pandangan al-Qaradawi di atas memang ada relevansinya dengan kenyataan baru yang berbeda dengan pemikiran fikih lama. Kenyataan baru menuntut fatwa baru sejalan ‘illat hukum yang telah berubah. Walau demikian, beliau tidak memaksakan fatwanya. Fatwa adalah masalah ijtihadiah  yang selalu bisa diperdebatkan, sangat tergantung pada penguasaan ilmu, tidak fanatik, dan ketulusanan seorang mufti. Kumpulan fatwa al-Qardawi telah ditulis dengan judul: فتاوى معاصرة diterbitkan di Bairut oleh Darul Ma'rifah tahun 1409 H/1988 M dan telah diterjemahkan dalam banyak bahasa, termasuk bahasa Indonesia, yang kalau dihitung hampir tiga ribu halaman.

Wassalam,
Makassar, Awal Desember 2019

by Prof. Dr. H. Ahmad M. Sewang, MA.

Bagian Ketiga
Satu di antara sekian banyak fatwa al-Qardawi dalam menghadapi revolusi dunia kedokteran adalah peninjauan kembali ketentuan masa menunggu (‘iddah) wanita yang dicerai. Para ulama dengan segala otoritas yang dimilikinya telah menetapkan bahwa masa ‘iddah bagi wanita yang dicerai suaminya adalah 3 bulan. Ketetapan ini berdasarkan tafsiran dari kata quru’, yang diartikan dengan tiga kali suci dari mestruasi (haid). Kata tersebut dinyatakan dalam ayat: “Wanita-wanita yang dicerai hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya…” (Q.S. al-Baqarah, 2: 288). 

Padahal kata quru’ bermakna ambigus atau musytarakah (mempunyai arti lebih dari satu). Kata tersebut dapat berarti menstruasi (haid) dan dapat pula berarti dalam keadaan suci (tuhr). ‘Umar ibn al-Khattab, Ali ibn Abi Talib, ibn Mas’ud, dan Abu Musa al-Ash’ari, menafsirkan kata “aqra’“, bentuk mufrad dari kata quru’ dengan tafsiran haid. Tafsiran ini diperpegangi pula oleh Sa’id al-Musayyab, Ata’, dan beberapa kelompok tabi’in serta sejumlah ahli hukum. Sementara itu, ‘Aishah, Zayd ibn Tabit dan Ibnu ‘Umar diriwayatkan bahwa mereka menafsirkan kata “aqra’” yang terdapat pada ayat di atas dengan tafsiran masa suci serta di antara menstruasi (athar). 

Perbedaan tafsiran mengenai ayat hukum tersebut menyebabkan perbedaan dalam pengambilan kesimpulan penentuan ‘iddah bagi wanita yang dicerai. Menurut tafsiran pertama masa menunggu bagi wanita yang dicerai (‘iddah) itu adalah setelah selesai menstruasi ketiga. Sedangkan menurut tafsiran kedua, ‘iddah selesai dengan dimulainya menstruasi ketiga. Jadi, tafsiran pertama mengharuskan wanita menyelesaikan masa ‘iddah-nya itu selama tiga bulan penuh. Sedangkan tafsiran kedua menyatakan tidak harus selama tiga bulan penuh, yakni cukup pada waktu dimulai mestruasi ketiga saja. Bahkan hadis da’if menyatakan bahwa ‘iddah wanita yang dicerai itu cukup dua kali mestruasi saja. 

Sesungguhnya ‘illat hukumnya sudah bisa diketahui keadaan rahim wanita yang dicerai, yaitu apakah wanita itu sedang mengandung janin dari suaminya atau tidak dalam keadaan mengandung. ‘Umar bin Khattab melarang suami menceraikan istrinya dalam keadaan mengandung. Jika terpaksa bercerai, maka ‘iddah wanita yang dicerai dalam keadaan mengandung itu adalah hingga melahirkan. "Bagaimana fatwa al-Qardawi dalam menjawab revolusi kedokteran?"  Mengingat uraian ini terlalu panjang untuk dimuat di sebuah medsos, maka terpaksa artikel ini dibagi dua dan pertanyaan di atas akan dimuat pada seri ke-4  besok. Namun, jika ingin segera dapat jawaban bisa membaca buku al-Qardawi yang berjudul: فتاوى معاصرة

Wassalam,
Makassar, 7 Desember 2019

Bagian Keempat
Jika 'illat wanita yang diceraikan adalah mengandung, sesungguhnya sudah bisa diketahui melalui bantuan teknologi kedokteran atau alat USG. Al-Qardawi  berpendapat, sepertinya tidak perlu lagi menunggu hingga tiga kali mestruasi, melainkan cukup SATU KALI saja. Sebab untuk membuktikan kebenaran diagnosis kedokteran tentang ketidakhamilan perempuan yang dicerai itu, cukup dengan kecanggihan alat USG. Menurut al-Qardawi bahwa ketetapan masa ‘iddah wanita yang dicerai itu pun harus diperbaharui, yaitu tidak bisa lagi secara mutlak ditentukan harus selama tiga kali menstruasi. Karena rahasia rahim wanita yang menjadi ‘illat bagi masa ‘iddah telah diketahui secara gamblang oleh teknologi kedokteran. 

Fatwa al-Qardawi, tentu saja menimbulkan kontroversi karena sifatnya pembaharuan yang berbeda dengan fatwa ulama fikih sebelumnya. Namun, itulah ijtihad al-Qardawi dalam menjawab transformasi revolusi kedokteran agar umat tetap surviva dalam menjalani agamanya di dunia modern. Ala kulli hal, siapa pun yang berani mengambil jalan pembaharuan pasti kontroversi, hatta Nabi Muhammad saw. sendiri yang memperkenalkan monoteisme di tengah masyarakat jahiliyah yang paganism atau penyembah banyak Tuhan, membuat Nabi harus hijrah ke Madinah. Itulah nasib setiap pembaharu. Bagi seorang ilmuan, memang ada dua pilihan. Pertama, memilih jadi pembaharu, tetapi akan mendapatkan tantangan sementara, atau kedua, memilih bersikap adaftasi dengan masyarakat sekitar agar sepi dari goncangan, tetapi ia akan dianggap tidak berbuat apa-apa. Kalau bahasanya lebih disederhanakan, maka dapat dikatakan, "Hanyalah orang yang memanjat bisa menadapatkan buah, walau harus berhati-hati dari kemungkinan terpleset. Tetapi, mereka jauh lebih baik daripada duduk pasrah berpangku tangan walau pasti tidak akan terpleset." Terlepas dari itu, Prof. Dr. Syekh Yusuf al-Qardawi, memang sebagian fatwanya menuai kontroversi, tetapi, semua fatwanya memiliki argumentasi sari'ah sebagai alasan.Tidak ada satu pun fatwanya yang asal-asalan, seperti masalah 'iddah di atas, melainkan selalu punya dalil. Bukankah beliau sudah hafal dalil-dalil al-Quran sejak masih umur belia10 tahun? Sekali lagi, dihimbau kepada para netizen, agar tak berhenti pada materi fatwanya, tetapi melanjutkannya dengan mencari argumentasi sar'i di belakang setiap fatwanya. Hanya dengan demikian, umat tidak akan a priori secara hitam-putih, melainkan akan lebih arif memahami secara akademik sebuah fatwa. Sebenarnya, masalah utama dalam sebuah fatwa adalah dukungan argumentasi, sedang sikap setuju atau tidak setuju adalah menempati nomor paling terakhir. Perlu pula ditambahkan bahwa semua hasil ijtihad, menurut hadis, tetap diberi pahala sepanjang didasari keilmuan dan ketulusan.
والله أعلم بالصواب

Wassalam,
Makassar, 8 Desember 2019


Komentar

Postingan populer dari blog ini

STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT SULAWESI SELATAN

SISTEM KEKERABATAN ORANG BUGIS, MAKASSAR, MANDAR DAN TORAJA

SEKILAS SEJARAH MASUKNYA KRISTEN DI ALOR