IN MEMORY HUSNI DJAMALUDDIN

by Prof. Dr. H. Ahmad M.  Sewang, MA.

Bagian Pertama
Sehubungan dengan Haul Husni Djamaluddin ke-15 di Tinambung, Polman, 10 November 2019 lusa. Saya ingin sekali hadir bersama dengan penyair Madura, D. Zawawi Imron, tetapi karena masih dalam pemulihan dari sakit, sehingga tidak memungkinkan hadir. Sebagai gantinya saya mengirim in memory dalam dua seri, hari ini dan besok, sebagai berikut:

Menurut riwayat, setiap zaman akan hadir seorang manusia pilihan. Di tanah Mandar lahir seorang anak manusia bernama Husni Djamaludin. Beliau manusia pilihan yang genius di bidang sastra yang mendapat julukan sebagai "Panglima Puisi". Walau saya mengenalnya agak terlambat, yaitu ketika pindah kos ke jalan Maipa tahun 1979. Tetapi, perkenalanku cukup intens dan berkualitas. Rumah kos saya tidak jauh dari rumah beliau di Jl. Kelapa. Kami memiliki tempat pengabdian yang sama di Masjid Aqsha. Beliau sebagai ketua pengurus Masjid Aqsha dan saya sekertaris umum remajanya. Beliau sebagai ketua pengajian dan saya salah seorang sekretarisnya. Sebagai remaja yang mulai banyak aktivitas waktu itu, sering saya mengundangnya ke IMMIM untuk nara sumber. Biasanya selesai salat subuh, Beliau singgah di rumah kosku, sekedar ingin berbincang dan mendengar rekaman hasil ceramahnya yang baru disampaikan  di suatu tempat. Mungkin karena kebiasaan saya waktu itu merekam setiap kegiatan.

Bang Husni, demikian saya menyapanya. Kedekatan saya denganya, tidak dapat dilukiskan, sampai suatu waktu saya sudah menetapkan rumah untuk melamar kawin, Beliau berkeras agar rumahnya ditempati melamar dengan segala fasilitasnya. Paling tidak bisa saya lupakan,  dianggapnya saya sebagai Adik sendiri dan dilibatkan dengan semua kegiatannya. Saya juga jadikan Beliau  konsultan pada setiap kegiatan kemasyarakatan yang sudah mulai menumpuk. Sebagai konsultan, sahabat, dan sekaligus sebagai guru yang baik, sebab tidak pernah memaksakan pendapatnya pada orang lain. Jika orang lain belum bisa menerima pendapatnya, Dia hanya merespon dengan memperkuat argumen baru. Biasanya habis Magrib di masjid digunakan untuk silaturrahim. Beliau selalu mengajak agar saya jadi kiyai. Tanahnya beberpa haktar are di suatu tempat di Mandar, siap di wakafkan untuk sebuah pesantren, demikian perhatiannya ke dunia pendidikan. Kiyai tak perlu jauh-jauh pergi sekolah tinggi, cara beliau mempengaruhi saya. Gelar kiyai bisa diperoleh atas kepercayaan masyarakat dengan memimpin sebuah lembaga  pesantren. Sayang tawaran itu belum bisa saya terima karena obsesi saya ingin secepatnya jadi dosen di sebuah universitas ternama. Walau demikian, saya yakin, niat baik Almarhum sudah sampai pada Allah swt.

Saya memperhatikan, pergaulan Bang Husni begitu luas tanpa membedakan, mulai dari ulama sampai ke pendeta dari orang biasa sampai ke presiden. Suatu ketika Beliau mengajak saya menemani ke rumah K.H. Sayid Djamaluddin Puang Ramma, untuk bersama membuat konsep yang akan diusulkan pada Presiden Gusdur (sahabat budayawan beliau). Beliau juga seorang dermawan, biasanya habis Jumat sering saya diundang untuk makan bersama di sebuah restoran. Suatu ketika kami bertemu pemain sepak bola nasional, Pattinasarany, di restoran. Saya kagum karena sepertinya sangat menguasai dunia persepakbolaan. Perbincangan keduanya nyambung dan saya hanya diam mendengarnya. Beliau manusia multi talenta sebagai seorang wartawan. Beliau pun selalu melibatkan saya dalam membicarakan pemekaran Provinsi Sulawesi Barat, dalam diskusi dan seminar. Suatu ketika beliau mengemukakan alasan bahwa Sulawesi Barat bagai seorang anak yang sudah menanjak dewasa dan sudah memerlukan rumah sendiri. Mari kita jadikan Sulawesi Barat sebagai provinsi malaqbiq yang jauh dari korupsi, himbau Beliau pada suatu ketika.

BANG HUSNI MANUSIA LANGKA

almarhum manusia pilihan
wartawan dan sastrawan
penyair sejati dan writers
all round dan serba bisa
manusia jujur apa adanya
persahabatannya luas menembus batas
tokoh agama dan strata sosial
dari orang biasa sampai presiden
dari ulama sampai pendeta
dari mahasiswa sampai sampai guru besar
dari jamaah sampai pegurus masjid
dari pekerja seni sampai ke pengajian

almarhum dirindukan banyak manusia
dari wali tarekat sampai wali kota
dari tukang parkir sampai pemain bola
dari santri sampai gurutta
semua sahabat tak memilah
bergaul harmoni dalam multi aneka
berbincang santai penuh makna
itulah Bang Husni yang kukenal
(bersambung)

Wassalam
Makassar, 8 Oktober 2019

Bagian Kedua
Pengajian Aqsha sangat populer di era awal tahun 80-an. Pengajian Aqsha mampu mendatangkan nara sumber dari luar Sulawesi Selatan, seperti Prof. Dr. Hamka, Prof. Dr. Nurchilish Madjid, Prof. Dr.  Harun Nasution, bahkan Prof. Dr. J. Vredenvberg dari Belanda. Tidak ada satu pun cendekiawan di Makassar yang tidak pernah menjadi nara sumber di Aqsha. Dapat dikatakan Pengajian Aqsha se level dengan Pengkajian Islam Salahuddin di UGM Yogyakarta atau Pengkajian Islam yang ada di Masjid Salman ITB  Bandung. Pengajian Aqsha disponsori para cendekiawan dari Unhas, IKIP, dan IAIN yang Ketua Umumnya dr. M.N. Anwar, SKM dan sekretaris Umum dr. Amiruddin Aliyah.

Puncak kegiatan Pengajian Aqha bersama Bang Husni ketika mengundang para ulama dan cendekiawan mengikuti diskusi panel Pengajian Aqsha bertempat di Masjid Kampus IAIN Alauddin. Berhubung Ketua dan Sekretaris Umum sedang tidak di tempat, maka kegiatan dilaksanakan Bang Husni sebagai ketua sekaligus moderatornya dan saya sebagai sekretaris. Masalah yang diangkat adalah Tasawuf dilihat dari berbagai aspek yang mengerucut pada "Nur Muhammad" dengan pembicara utama sesuai urutan nama dan gelar ketika itu, yaitu Drs. H. Muchtar Husein, Drs. Muhammad Ahmad, Drs. H. Sahabuddin, K.H. Mustafa Zahri, Drs. Rahim Amin, dan Drs. H. Syuhudi Ismail. Diskusi ini dihadiri Dr. H.M. Quraish Shihab, M.A., Drs. Moerad Usman (Rekor IAIN Alauddin Ujungpandang), Habib Abubakar al-Attas, K.H. Muhammad Nur, K.H. Bakri Wahid, B.A., dan K.H. Khalid Husain. Dikatakan puncak pengajian karena Masjid kampus ketika itu penuh sesak, dari subuh sampai jam 09.00 pagi, dihadiri jamaah dan cendekiawan muslim, bahkan ada ulama yang sengaja datang dari Mandar, K.H. Djalaluddin, dan Dr. Arif Djamaluddin dari Jakarta hanya untuk mengikuti pengajian tersebut. Saya menyaksikan langsung jalannya diskusi itu, Bang Husni tampil maksimal bak polisi lalu lintas yang mengatur perbincangan dengan lincah. Beliau memang patut disebut bintang perbincangan di tengah para ulama dan cendekiawan saat itu. Peristiwa itu, saya masih ingat, tanggal pelaksanaannya, 26 Desember 1982, karena pada hari yang sama, secara kebetulan, saya juga diamanahkan oleh H. Fadli Luran sebagai ketua panitia diskusi panel tentang "Mubalig Profesional" yang diselenggarakan DPP IMMIM dan Bang Husni pula yang saya undang sebagai salah satu nara sumbernya. Hasil diskusi tentang Nur Muhammad telah saya rapikan dalam bentuk buku yang telah saya transkripsi dari pita kaset. Waktu itu, akan diterbitkan panitia, tetapi karena pertimbangan kondisi psikologis umat yang tidak memungkinkan segera dipublis dan demi memelihara ukhuwwah sehingga ditunda. Padahal peristiwa dan materinya masih sangat relevan sampai masa kini. Saya merekomendasikan, demi pengembangan ilmu pengetahuan, agar kita tidak kehilangan jejak sejarah penting masa lalu, dan hambatan psikologis sudah tak ada lagi, sebab hampir semua pelaku sejarahnya sudah mendahului kita, maka jika ada yang bersedia menerbitkannya, dengan senang hati saya akan menyerahkan semua bahannya.سأقدم بكل سرور جميع المكونات.

Terlalu banyak kenangan dibenakku atas kebaikan Bang Husni,  sedang ruang ini sangat terbatas.Tetapi, tak berlebihan jika saya memandang beliau adalah sumber matair kebaikan bagi yang sedang kehausan. Sumber ilmu pengetahuan bagi yang dahaga ilmu pengetahuan. Saya beruntung karena Allah mempertemukan saya dengan almarhum.  Beliau adalah profesorku walau tidak pernah menjadi mahasiswa di universitas. Bang Husni adalah autodidak sejati. Persis seperti almarhum Buya Hamka diberi gelar professor walau tidak pernah jadi mahasiswa. Pertemuan terakhirku dengan Bang Husni di rumahnya yang sengaja saya datang ziarahi, beliau memberikan bukunya yang terakhir yang langsung ditandatangani sendiri, sambil berpesan agar saya bisa jadi manusia lebih baik dan beliau pun menyampaikan kata terakhirnya, "Saya bersyukur kerena masih banyak temanku, seperti Adik Ahmad, di tengah penderitaan penyakit kankerku yang sudah stadium empat." Itulah pertemuanku yang terakhir, sebab tidak lama setelah itu, beliau dipanggil kekasih-Nya Yang Maha Abadi yang selama ini beliau rindukan, yaitu Allah swt. Ketika mendengar telepon berdering dari Jakarta mengkhabarkan berita wafatnya, saya hanya mampu diam dan merenung sambil mengucapkan,
"inna lilillahi wa inna rajiun." Saya sungguh sangat kehilangan sejak kepergiannya, tidak ada lagi guru dan sahabat yang ingin mendengar curhatku sama dengan beliau. Sampai hari ini kenanganku pada almarhum terkadang muncul tiba-tiba di bawah sadar. Karena itu, tidak ada salahnya, kita semua yang hadir dalam peringatan haul besok di Tinambung membacakan al-Fatihah, semoga almarhum mendapatkan pahala sesuai amal ibadahnya. Sambil berharap, semoga di Negeri Tipalayo ini lahir lagi Husni-Husni baru si pemilik talenta yang all round. Amin! Bukankah sudah lebih 15 tahun lalu kita ditinggalakn almarhum, tapi belum ada juga tanda-tanda penggantinya?. 

Dari dua seri tulisan berturut-turut, saya bisa mengambil natijah imajiner bahwa seakan almarhum sedang santai di dunia sana melihat ke luar jendela dunia sambil menikmati amal jariahnya dan berpesan pada kita yang masih hidup di dunia sini,

BERGERAK 
TAK KENAL HALTE

"Jika ingin jadi manusia talenta 
dikenang sejarah sepanjang masa
janganlah mengenal halte belajar
walau secara autodidak
pandanglah burung terbang bebas di udara kapan berhenti bergerak 
automatis terhempas di alam fana
ibarat itulah manusia
baru bisa diam senyap
pada halte paling punca
saat manusia
memenuhi panggilan-Nya
Sang Kekasih Yang Sesungguhnya."

Wassalam
Makassar, 9 Oktober 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT SULAWESI SELATAN

SISTEM KEKERABATAN ORANG BUGIS, MAKASSAR, MANDAR DAN TORAJA

SEKILAS SEJARAH MASUKNYA KRISTEN DI ALOR