Riwayat dan Eksistensi Syara' di Sulawesi Selatan

Oleh : Badruzzaman

Institusi Syara’ hadir bersamaan dengan proses awal islamisasi di Sulawesi Selatan. Kehadirannya melengkapi unsur-unsur pangngadereng yang merupakan wujud kebudayaan masyarakat daerah ini pada umumnya.
Sebelum agama Islam masuk di daerah Sulawesi Selatan, pangngaderang dengan telah menjadi pedoman masyarakat dalam bertingkah-laku dan dalam mengatur kehidupan bersama. Unsur-unsur pengngaderang berupa kaidah-kaidah atau norma-norma hidup masyarakat yang dinyatakan melalui pranata: ade’, bicara, rapang, dan wari,.
Ade’ merupakan ketentuan-ketentuan pemerintahan, berfungsi memberikan tuntunan hidup atau berfungsi preventif dalam pergaulan hidup demi menjaga kelangsungan hidup masyarakat dan kebudayaan. Bicara merupakan kententuan tentang peradilan, berfungsi untuk mencegah ketidakwajaran atau berfungsi repressif dan menempatkan sesuatu pada tempat dan proporsinya. Rapang yang memberikan contoh-contoh dan kias, berfungsi menjaga stabilitas kehidupan masyarakat serta menjaga kesinambungan pola peradaban. Dan wari yang mengatur tata cara hubungan masyarakat, berfungsi memberikan ukuran keserasian dalam pergaulan hidup bermasyarakat. (Mattulada, 1975).
Setelah Islam diterima dengan resmi oleh kerajaan-kerajaan di daerah Sulawesi Selatan maka dibentuklah institusi syara’ yang berfungsi mengatur urusan-urusan yang berhubungan dengan kepentingan dan masalah agama (Islam).
Pembentukan institusi syara’ merupakan konsekwensi logis dari diterimanya Islam sebagai agama resmi oleh kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan. Sesuai namanya, syara’ yang artinya syariat Islam, dengan demikian institusi syara’ bertanggung jawab dalam urusan-urusan yang menyangkut ajaran (syariat) Islam. Ini berarti bahwa syara’ mengurus hal-hal yang menyangkut sendi-sendi kehidupan masyarakat yang penting yakni kehidupan beragama. Karena itu institusi syara’ dibentuk bukan sebagai suatu institusi yang berdiri sendiri melainan diintergrasikan ke dalam sistem pangngadereng. Dengan integrasi itu maka sistem pangngadereng yang semula terdiri dari empat menjadi lima aspek yakni : (1) ade’, (2) bicara, (3) rapang, (4) wari’ (5) sara’.
Dalam Lontara Latoa, keempat hal itu dinyatakan. Pernyataan tersebut adalah sebagai berikut : Eppa’mi uangenna padecengie tana, iami nagenna limampuangeng narapi’mani asellengeng, naripattamatona sara’e. seuani ade’e, maduanna rapangngne, matellunna wari’e, maeppana bicarae, malimanna sara’e Artinya: Hanya empat macam saja yang memperbaiki negara, barulah dicukupkan lima macamnya, ketika Islam diterima dan syara’ dimasukkan juga. Pertama ade’ kedua rapang, ketiga wari’ keempat bicara, kelima syara’. (Anas, 1990)..
Pranata-pranata kehidupan sosial-budaya masyarakat Sulawesi Selatan (yang terdiri dari etnik Bugis, Makassar, Mandar, dan etnis-etnis kecil lainnya) tumbuh dari aspek-aspek pangngadereng. Setelah masuk Islam maka Syara diterima sebagai salah satu aspek dari pangngadereng. Karena itu aspek-aspek pangngadereng memperoleh pengisian coak yang tegas (Islami). Ketaatan masyarakat kepada syara’ sama dengan ketaatannya mereka kepada aspek-aspek pangngadereng yang lain. Syara’ memproleh kedudukan yang sama dengan kendudukan ade’ bicara, rapang, dan wari’.
Di kalangan orang Luwu ada dikenal ”paseng-paseng lontara”, berbunyi: pattuppui ri ade’e, pasanrei ri sara’e, muattangnga ri rapangnge, muolai gau’ abiasangnge’. Artinya lebih kurang sebagai berikut : segala sesuatu yang akan diputuskan hendaknya didasarkan pada adat dan disandarkan pada syara’ dengan mengindahkan contoh-contoh serta kebiasaan yang berlaku.
Di kalangan masyarakat Bugis, pada umumnya dikenal secara meluas adanya pesan lontara. Pesan lontara tersebut berbunyi : Mappakarajai sara’e ri ade’e, mappakalebbi’i ade’e ri sara’e. De’ assarangenna ade’e sibawa sara’e. temmakkullei ade’e narusa’ tarobicaranna sara’e, temakkuletoi sara’e narusa’ tarobicaranna ade’e. pusai ade’e ri tarobicarana, nasappa ritrobicaranna sara’e, pusai sara’e ri tarobicarana, nasappa ritrobicaranna ade’e. Artinya, kurang labih sebagai berikut: Syara menghormati adat, adat memuliakan syara’. Tak dapat dipisahkan antara adat dan syara’. Tidak mungkin adat merusak/menolak keputusan adat, tidak mungkin pula syara’ menolak keputusan adat. Apabila adat menemui jalan buntuh dalam menetapkan suatu keputusan maka hendaknya cari/bertanya pada syara’. Dan apabila syara’ menemui jalan buntu dalam menetapkan suatu keputusan maka hendaknya cari/bertanya pada adat’.
Bahkan dalam beberapa hal, kedudukan syara’ dapat dipandang lebih dominan dari pada adat, seperti terungkap dalam Lontara Bugis sebagai berikut: “Narekko moloiko roppo-roppo mutabuttu’ lisuko di ade’e. Narekko tabuttu’ mupo lisuko ri sara’e. Appettunna sara’e, apattung Puang. Luka taro anang, telluka taro maranang. Luka taro maranang, telluka taro ade’. Luka taro ade, telluka taro sara’. Artinya: Apabila engkau menemui hambatan dlam suatu urusan, kembalilah ke adat (mencari pemecahan atau jawaban). Kalau toh masih juga belum terpecahkan kembalilah ke syara’. Keputusan syara’ adalah keputusan Tuhan. (Dapat saja) dibatalkan hak/kepentingan pribadi (kalau hal itu dilakukan demi) tidak rusaknya hak/kepentingan keluarga. (Dapat saja) hak/kepentingan keluarga dibatalkan (demi) tidak rusaknya/batalnya hukum adat. (Dapat saja) hukum adat dibatalkan, tetapi hukum syara’ tidak dapat dibatalkan.
Di kalangan komunitas Amma Towa Kajang (masuk kelompok etnis Makassar) dikenal meluas bunyi “pasang ri Kajang”. Pesan tersebut menunjukkan bahwa (pejabat) syara’ memiliki kedudukan dan peranan yang sama dengan pejabat-pejabat lainnya. “Appai pattungkulu’na tanaya ri Kajang, ada’ Karaeng’ Sanro, Guru”. Artinya: Empat hal sebagai penopang negeri Kajang yakni ada’ (lembaga adat), Karaeng (pemeritah), dukun (tokoh dan pemuka masyarakat) dan guru (pemuka agama atau pejabat syara’).
Dalam Lontara Balannipa pun dapat ditemui. Dalam lontara tersebut digambarkan tentang kedudukan syara’ serta hubungan syara dengan ada. “Bainemi sara’ muanemi ada’. Ada’ mo maande cuke, sara’mo maande pattira. Naiyya ianggnna nabicara ada’ inggana toitia naissang sara’. Naiyya sara’, ada’ nalagassing. Naiyya ada’, sara’ nala sulo. Mateiada’ muandiang sara’. Matetoitia sara’ muandiang ada’. Artinya, lebih kurang sebagai berikut: Syara’ dianggap sebagai wanita dan adat sebagai pria. Adat berwewenang (memungut) pajak. Dan syara’ berwewenang (memungut) zakat fitrah. Wewenang adat tidak boleh dicampuri oleh syara’ . Begitu sebaliknya, wewenang syara tidak boleh dicampuri oleh adat. Kekuatan syara’ adalah adat. Adat bersandar kepada syara. Adat tidak mempunyai arti tanpa syara’ dan begitu pula sebaliknya, syara’ tidak berarti tanpa adat.
Ungkapan-ungkapan isi lontara tersebut diatas dipahami oleh masyarakat. Para pampawa ade’ (pejabat pemerintahan), parewa sara’ (pejabat syara’ memahami kedudukan syara’ serta hubungan antara ade’ (pemerintah) dengan sara’ (syara’), bahkan masyarakat umum pun mengetahuinya. Aplikasi dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan kerajaan, dapat ditelusuri lewat organisasi ade’ (pemerintahan) di satu pihak dan peranannya dalam sistem pangngadereng di lain pihak.
Syara’ sebagai bagian dari organisasi ade’ (pemerintahan) mempunyai tanggung jawab dalam pembinaan dan pelayanan kepentingan keagamaan masyarakat. Beberapa hal menyangkut kepentingan dan pelayanan keagamaan yang menjadi tanggung jawab syara’ adalah berkaitan dengan ibadah, seperti pengurusan zakat, pengurusan mesjid, urusan perkawinan dan warisan, urusan pendidikan agama, serta urusan sosial keagamaan yang bersifat tradisoinal.
Struktur organisasi syara’ mengikuti susunan organisasi pemerintahan kerajaan. Pada tingkat pusat terdapat kali (kadhi) selaku pajabat syara’ tertinggi dalam suatu kerajaan. Jabatan yang lebih rendah dari kali ialah imang (imam) dengan pembantu-pembantunya terdiri dari katte (khatib), bilala/bidala (bilal) dan doja/doya.
Di Luwu, pada mulanya pejabat syara’ hanya terdapat di tingkat pusat. Beberapa aparatnya antara lain adalah seorang kali, empat orang imam, empat orang khatib, empat orang bilal dan dua orang doja (jumlahnya 15 orang). Jumlah ini disesuaikan dengan kebutuhan kepentingan pelayanan urusan keagamaan masyarakat yang terdiri dari tiga kerajaan kecil: Buah, Baebunta dan Ponrang. Kali, seorang imam, seorang khatib, seorang bilal dan dua orang doja, ditugaskan di ibukota kerajaan. Sedangkan lainnya ditugaskan pada tiga kerajaan kecil. Pada setiap ibu kota kerajaan kecil ditempatkan seorang imam, seorang khatib dan seorang bilal.
Di Wajo, pejabat syara’ pertama dibentuk terdiri dari seorang kali. Pada setiap limpo (kerajaan kecil) ditempatkan dua orang khatib, dua orang bilal dan seorang penghulu (sama dengan jabatan imam), dan seorang amil. Pembantu imam dalam hal pengurusan zakat dan pelayanan kepentingan masyarakat yang bersifat fardhu kifayah.
Di Bone, pejabat syara’ pertama dibentuk terdiri dari seorang kali dan beberapa orang pembantunya bergelar amil. Kali dan amil berkedudukan di ibukota kerajaan sedangkan imam berkedudukan di ibukota kerajaan kecil (arung palili). Setiap kerajaan kecil ditempatkan seorang imam yang dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh seorang guru kampung (pembantu imam di tingkat kampung/desa). Guru kampung juga mempunyai pembantu-pembantu, yaitu dua orang khatib, dua orang bilal, satu atau dua orang doja. Khusus di ibukota kerajaan (Watampone) terdapat seorang imam, 20 orang khatib, 20 orang bilal, dan empat orang doja.
Di Soppeng, pejabat syara’ tertinggi adalah kali dan dibantu oleh beberapa orang amil. Kali dan beberapa pembantunya berkedudukan di ibukota kerajaan. Pada tingkat kerajaan kecil, diangkat seorang imam lompo. Dalam melaksanakan tugas imam lompo dibantu oleh imam (pada setiap kampung/desa) bersama pembantu-pembantunya terdiri atas khatib, bilal dan doja.
Di Gowa, susunan pejabat syara’ terdiri atas seorang kali, dibantu oleh 36 orang imam. Kali berkedudukan di ibukota kerajaan sedangkan imam berkedudukan di setiap kerajaan kecil (setingkat dengan distrik/kecamatan). Setiap imam dibantu oleh seorang guru, seorang khatib dan seorang bilal.
Di daearah Mandar, khusus di kerajaan Balannipa dan Banggai, jabatan syara’ yang tertinggi juga disebut kali atau sering pula disebut maraddia sara’. Jabatan-jabatan lainnya adalah imam, khatib, bilal, dan doja. Wilayah kerja dan fungsi jabatan-jabatan tersebut tidak berbeda dengan jabatan serupa di daerah-daerah Bugis.
Dapat disimpulkan bahwa unsur dan struktur aparat syara’ di berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Sekalipun ada sedikit perbedaan istilah serta jumlah pejabat syara’ satu daerah (kerajaan) dengan daerah lain, namun terdapat jabatan-jabatan tertentu dimana terdapat disemua daerah maupun etink. Jabatan-jabatan tersebut adalah kali, imam, khatib, bilal dan doja. Strukturnya pun menganut pola yang sama. Pola tersebut mengikuti struktur pemerintahan (kerajaan) yang berlaku pada setiap daerah atau kelompok etnis.
Peranan syara’ (selaku unsur pangngadereng) dalam keseluruhan sistem pangngadereng dapat ditelusuri lewat konvensi pengangkatan pejabat-pejabat syara’ serta dapat pula ditelusuri lewat peranan integratifnya. Hal ini dilakukan dalam upaya mengintegrasikan hukum atau syariat Islam ke dalam sistem pangngadereng secara keseluruhan. Pajabat-pejabat syara’ yang bergelar kali, imam dan khatib, secara konvensional direkrut dari kalangan keluarga raja atau kalangan bangsawan. Sedangkan bilal dan doja dapat diambil dari kalangan rakyat biasa. Ketentuan yang diaturkan syara’ pada dirinya sendiri, didasarkan pada pertimbangan kaitan antara tugas masing-masing pejabat syara’ dengan tata aturan dalam sistem pangngadereng, khususnya menyangkut pranata wari’.
Ketentuan adat menggariskan bahwa dalam musyawarah adat serta upacara-upacara adat, tempat duduk Kadhi (kali) dan imam berada di samping kanan raja. Sedangkan para pejabat adat berada di samping kiri raja. Demi kesejajaran dan keserasian maka seyogyanya kali dan imam adalah dari kalangan keluarga raja juga atau kalangan bangsawan. Demikian pula dalam pelaksanaan ibadah salat berjamaah, imam harus berada di depan, sedangkan para makmum yang terdiri dari antara lain raja dan pejabat-pejabat kerajaan serta tokoh-tokoh adat. Berdasarkan ketentuan dalam pelaksanaan salat berjamaah, makmum harus berbaris bersaf di belakang imam.
Seorang khatib yang sedang membawakan acara khutbah (baik khutbah Jumat maupun khutbah Idul Fitri dan Idul Adha), berdasarkan kaifiat/tatacara khutbah, ia harus berdiri di depan saf pertama di atas tempat yang lebih tinggi dari pada tempat duduk hadirin, dalam mana terdapat antara lain raja dan keluarganya serta para tokoh adat. Karena itu demi kelayakan/kepantasan serta untuk menjaga martabat raja maka seyogyanya imam dan khatib adalah dari kalangan keluarga raja atau kalangan bangsawan.
Alasan lain sehingga sehingga pajabat syara’ diambil dari kalangan kaluarga raja atau bangsawan ialah demi memberikan wibawa kepada pajabat syara’ yang telah diakui sebagai bagian dari aparat pemerintahan kerajaan dan sekaligus memberikan wibawa kepada peranan agama dalam kehidupan masyarakat. Kebijaksanaan demikian rupanya sangat kondusif dan merupakan salah satu faktor pendukung percepatan proses islamisasi di daerah Sulawesi Selatan.
Peranan integratif syara’ dalam mengemban missinya dapat ditelusuri pada sistem pendekatan yang digunakan yakni pendekatan yang sangat mengindahkan hal-hal yang bersifat kontekstual. Tiga tokoh ulama besar penganjur Islam terkenal di Sulawesi Selatan (Datuk Pattimang, Datuk ri Bandang, dan Datuk ri Tiro) dalam menjalankan missinya masing-masing menerapkan pendekatan adaptasi kultural serta mengindahkan konvensi dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat garapannya masing-masing.
Datuk Pattimang menghadapi masyarakat Luwu yang (ketika itu) kuat memegang kepercayaan Sawerigading. Mereka telah mengenal adanya Dewata Seuwae atau juga sering disebut Patotoe (Tuhan Yang Maha Kuasa menentukan nasib). Untuk itu Datuk Pattimang lebih memilih pendekatan dakwah dengan lebih menekankan pada segi aqidah yang benar (tauhid), walaupun aspek-aspek lain juga mendapat perhatian.
Datuk ri Bandang menghadapi masyarakat Gowa dan Tallo sekitarnya yang gemar melakukan perjudian, minum tuak/arak, perzinahan dan makan riba. Untuk itu Datuk ri Bandang banyak-banyak menekankan pendekatan dari segi syariat, disamping menanamkan keimanan (tauhid). Sementara itu, ulama lain yakni Datuk ri Tiro dalam menghadapi masyarakat Tiro yang kuat berpegang pada ilmu kebatinan, memilih pendekatan yang menekankan segi tasawuf.
Generasi pelanjut dari ketiga tokoh ulama pengajur Islam tersebut mengembangkan sistem pendekatan yang dirintis pendahulu mereka melalui institusi syara’ yang telah terbentuk pada setiap kerajaan. Demikian misalnya Syekh Abdurrrahim Kamaluddin yang membawa Islam ke daerah Mandar, telah melengkapi dirinya dengan ilmu kebatinan/ilmu gaib untuk menghadapi masyarakat Mandar yang terkenal dengan kekuatan gaibnya. Kamaluddin adalah perutusan Syekh Yusuf Tuanta Salamaka dari kerajaan Gowa yang terkenal sebagai penganjur Tarekat Khalawatiyah. Menurut ceritera rakyat di daerah Mandar bahwa sebelum raja Balannipa menerima Islam yang didakwakan oleh Syekh Abdurrahim Kamaluddin, lebih dahulu sang syekh diminta raja untuk memperlihatkan kekeramatannya, antara lain berdoa untuk menghentikan angin ribut yang melanda Mandar waktu itu, berjalan di permukaan air, shalat di atas daun pisang, dan memegang bara api. Konon semua permintaan raja itu dapat dipenuhi oleh sang syekh, sehingga akhirnya raja menyatakan memeluk Islam serta menerima Islam sebagai agama resmi kerajaan Balannipa.
Pendekatan dakwah yang diakukan syeikh Abdurrahim Kamaluddin adalah bertahap. Menghadapi perlakuan dan kebiasaan masyarakat yang bersumber dari kepercayaan lama yang memuja dewa atau roh nenek moyang. Syara’ tidak menentangnya atau berusaha mengubahnya sekaligus, melainkan membiarkannya hidup terus berdampingan secara damai dengan perilaku Islami yang dikembangkan syara’. Kemudian secara berangsur-angsur syeikh memasukkan hal-hal baru yang bercorak Islami dan menwarnai keseluruhan perlakuan dan kebiasaan tradisional yang bersumber dari kepercayaan lama tersebut.
Peranan integratif yang dimainkan syara’ dalam mengemban missinya, seperti dikemukakan di atas, sejatinya merupakan manifestasi dari suatu kearifan yang tinggi, yakni kearifan dalam menerapkan metode dakwah yang mengindahkan faktor kondisi lingkungan yang dominan yakni struktur sosial masyarakat, dengan pendekatan adaptasi kultural. Mattulada menilai pendekatan tersebut secara metodologis adalah tepat sekali, karena apa yang dicapai dalam adaptasi kultural, yakin menggatikan emosi persekutuan yang dibangun dalam pengngadereng, membuat orang Bugis (dan kelompok etnik lain di Sulawesi Selatan yang telah memeluk Islam) merasakan kesatuan identitas dengan Islam.
Sejatinya, institusi syara’ adalah organisasi top-down yang muncul di tingkat atas. Missi pokok yang diemban ialah mengorganisasikan kegiatan pelayanan kepentingan masyarakat yang menyangkut ajaran (syariat) Islam dalam konteks nilai sosial budaya masyarakat berdasarkan pangngadereng.
Sebagai salah satu unsur pangngadereng, syara’ merupakan wujud kebudayaan orang Bugis, Makassar dan Mandar (serta kelompok etnis lain di Sulawesi Selatan). Walau terakhir diterima sebagai subsistem pangngadereng, namun pada akhirnya dia diidentifikasikan sebagai ciri yang mewarnai pangngadereng secara keseluruhan. Sebagai salah satu perangkat dari seluruh organisasi pemerintahan kerajaan (waktu berlakunya masa pemerintahan kerajaan), institusi syara' disusun mengikuti organisasi pemerintahan kerajaan, sehingga pelaksanaan tugasnya dalam rangka pewarisan nilai-nilai Islam memiliki landasan yang kuat (legal dan resmi). Demikianlah, melalui kurun waktu yang cukup panjang (lebih tiga abad). Syara’ memainkan peranan selaku posisi sentral dalam proses sosialisasi Islam di daerah ini. Sehingga pada gilirannya syara’ diidentifikasikan masyarakat sebagai pangngadereng itu sendiri.
Pada zaman penjajahan aspirasi keagamaan masyarakat tetap mendapat perhatian. Di masa penjajahan, mulai awal abad ke 20 M, Hindia Belanda dan Jepang memberikan perhatian yang cukup terhadap institusi syara'. Hal ini dikarenakan oleh pemerintahan penjajah menyadari bahwa kehidupan beragama (menurut Islam) merupakan ciri yang mewarnai kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Bahwa ada kebijaksanaan tertentu dari penjajah dalam hal pengurusan kehidupan beragama masyarakat daerah jajahannya, adalah hal yang dapat dipahami sebagai bagian dari politik penjajahan yang diterapkan.
Pada masa penjajahan Hindia Belanda, tugas-tugas syara’ tetap diberikan peluang untuk dilaksanakan dalam masyarakat. Hanya saja, tanggung jawab pembinaan (dan juga pengawasan) serta pengangkatan pejabat-pejabatnya, dioperalih pemerintahan. Kegiatan syara’ yang menyangkut urusan pengajaran/pendidikan agama (formal) dimasukkan ke dalam kewenangan Departeman van Ondervijs en Eredienst (Departemen Pengajaran dan Ibadah). Sedangkan urusan yang menyangkut nikah, talak, rujuk, dan urusan haji berada dalam kewenangan Departemen van Nederland Bestuur (Departemen Dalam Negeri). Sementara itu, urusan yang menyangkut peradilan agama berada dalam kewenagan Departemen van Justitie (Departemen Kehakiman). Dengan demikian, hak/kewenangan pengangkatan syara’ pun didistribusikan kepada instansi-instansi pemerintahan tersebut.
Urusan peradilan agama masuk kewenangan Departemen Kehakiman, tetapi kadhi (kali) yang salah satu tugas pokoknya ialah bidang peradilan agama, diangkat oleh residen. Imam (yang waktu itu disebut penghulu mesjid) diangkat oleh Bupati. Demikian halnya dengan pejabat-pejabat syara’ lainnya, seperti khatib, bilal dan doja, semua memperoleh status yang jelas dan dipandang sebagai perangkat kampung/desa.
Pada masa pemerintahan pendudukan Jepang, kebijakasanaan penditribusian pelayanan urusan keeagamaan masyarakat, khususnya umat Islam, tidak banyak mengalami perubahan dibanding dengan masa penjajahan Hindia Belanda. Perubahan terjadi hanya pada beberapa hal, seperti adanya kantor/unit institusi khusus yang mengurus soal-soal pergerakan agama pada masa Belanda bernama Kantor Adviseur voor Inlandsch Mohammadansche Zaken. Pada masa Jepang institusi ini dihapus dan diganti dengan didirikannya Kantor Urusan Agama (Shumuhu) sebagai bagian dari Gunseikanbu. Sedangkan di daerah-daerah diadakan Kantor Urusan Agama daerah (Shumuka) sebagai bagian dari pemerintahan keresidenan atau shu.
Dengan terbentuknya Departemen/Kementetian Agama setelah kemerdekaan, semua urusan keagamaan masyarakat yang dipandang menjadi tanggung jawab pemerintahan diserahkan pengelolaannya kepada departemen ini. Sebagian dari aparat syara’ (yang memenuhi persyaratan) diangkat menjadi pegawai Departemen Agama.
Pilihan untuk mengangkat aparat syara’ menjadi pegawai Departemen Agama dianggap merupakan jalan pintas yang efisien dan efektif dalam rangka proses pengadaan pegawai di instansi ini yang justru merupakan instansi baru. Di dalam struktur organisasi Departemen Agama pada awal terbentuknya, terdapat tiga unit kerja atau bagian yang bidang tugas masing-masing terkait erat dengan bidang tugas yang secara tradisional ditangani oleh syara’. Bagian-bagian yang dimaksud ialah: Bagian B yakni Kepenghuluan, Bagian C yakni Pendidikan Agama, dan Bagian D yakni Penerangan Agama. Secara berangsur susunan organisasi Departemen Agama semakin sempurna, termasuk pembentukan kantor-kantor terkait tingkat daerah propinsi, kabupaten dan kecamatan, semakin memberikan peluang bagi aparat syara' yang berminat untuk menjadi pegawai instansi ini.
Namun demikian, pelbagai keterbatasan yang ada pada instansi Departemen Agama selaku organisasi resmi pemerintahan, menyebabkan instansi ini belum dapat dipandang sebagai subinstitusi alternatif bagi institusi syara'. Dilihat dari segi struktur organisasi, level vertikal terendah hanya sampai pada tingkat kecamatan yakni Kantor Urusan Agama Kecamatan (KUA). Tugas pokoknya memang dalam bidang urusan agama Islam, tetapi fungsinya sangat terbatas, yakni: (1) menyelenggarakan statistik dan dokumentasi, (2) menyelenggarakan perkatoran dan (3) melaksanakan pencatatan nikah, talak, rujuk, baitul mal, ibadah sosial, kepedudukan, dan kesejahteraan keluarga. Dengan demikian fungsi KUA lebih bersifat kegiatan administratif, sedangkan tugas-tugas syara’ lebih bersifat kegiatan teknis.
Selain keterbatasan jangkauan struktur organisasi dan fungsinya, keterbatasan lain yang kelihatan menonjol pada KUA memerlukan pagawai minimal 7 orang termasuk Kepala KUA. Namun kenyataannya di daerah Sulawesi Selatan dewasa ini, banyak KUA yang hanya memiliki tenaga personil tiga sampai empat orang. Bahkan tidak kurang KUA hanya memiliki satu orang pegawai yakni Kepala KUA sendiri, terutama di daerah pedalaman.
Keterbatasan lain dilihat dari segi personilnya ialah waktu kerja. Pegawai KUA, sebagai mana halnya pagawai negeri lainnya, mempunyai waktu kerja yang terbatas. Mereka hanya memiliki waktu kerja tujuh jam sehari, yaitu dari jam 7.00 sampai dengan 14.00 (sebelum pemberlakuan lima hari kerja dalam seminggu). Sedangkan tugas-tugas syara' tidak tertentu waktu dan batas waktunya. Aparat harus selalu “siap tugas“ 24 jam sehari semalam.
Dengan demikian, ingin ditegaskan sekali lagi bahwa instansi operasional Departemen Agama yang terbawah yakni Kantor Urusan Agama Kecamatan dengan seluruh perangkatnya tidak dapat memainkan peran pengganti bagi syara’, sebagai mana anggapan sementara kalangan selama ini.
Menyadari keterbatasan Departemen Agama, sejak awal berdirinya, pimpinan instansi ini mencoba mengidentifikasi kegiatan-kegiatan keagamaan masyarakat (umat) Islam di seluruh wilayah nusantara yang tidak dapat ditangani langsung Departemen Agama. Kegiatan-kegiatan tersebut selama ini diurus dan ditangani oleh pemimpin keagamaan (Islam) yang telah melembaga dalam masyarakat seperti institusi syara' di Sulawesi Selatan. Tindak lanjut kemudian dilakukan ialah diterbitkan “Maklumat Bersama Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Agama tanggal 30 April 1947 Nomor 3/1947 yang hanya berlaku untuk daerah-daerah di luar Jawa dan Madura. Delapan tahun kemudian, yakni pada tahun 1955, wilayah berlaku Maklumat Bersama tersebut ditingkatkan menjadi “berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia“. Ketentuan ini dinyatakan melalui satu Penyataan Bersama Menteti Agama dan Menteri Dalam Negeri masing-masing dengan identifikasi: Kementrian Agama RI Nomor 2 Tahun 1955 tanggal 23 Juni 1955 dan Kementerian Dalam Negeri nomor Pem. 50/3/20/KDN tanggal 24 Juni 1955, ditandatangani oleh Menteri Agama K.H. Masykur dan Menteri dalam Negeri Mr. R. Soenarjo.
Penghargaan dalam arti “penghargaan sosial“ diberikan berupa despensiasi, untuk tidak dikenakan berbagai kewajiban. Setiap pejabat syara’:
- tidak dikenakan kewajiban berperang,
- tidak dikenakan kewajiban gotong-royong,
- tidak dikenakan kewajiban membayar pajak,
- tidak dikenakan kewajiban pungutan lainnya,
- tidak dikenakan keharusan adat untuk memberi kado dalam rangka pesta perkawinan, kecuali kalau sang pejabat syara’ bersangkutan menghendakinya,
- tidak dapat diberhentikan dari pejabat syara' kecuali dalam hal-hal sebagai berikut:
a. meninggal dunia,
b. sakit berat, temasuk gila dan
c. permintaan sendiri dan dibenarkan alasannya oleh pampawa ade (pejabat yang berwenang),
d. terbukti melakukan pelanggaran hukum syara' dengan memperbuat salah satu dari tiga perbuatan, yakni: judi, berzina, dan makan riba.
Dengan penghargaan yang diberikan itu maka para pejabat atau aparat syara' merasa terjamin kebutuhan hidup mereka serta merasa terjamin rasa keamanan dan kebebasan mereka untuk mengatur tugas pemberian dan pelayanan kebutuhan keagamaan masyarakat, di mana sebagian dari tugas-tugas itu bersifat insidentil sehingga memerlukan kesiapan setiap saat dari aparat syara'.
Hal yang kedua (kode huruf n) berkaitan dengan sistem suksesi atau pergantian pejabat syara’ termasuk pula pengisian lowongan. Dalam diktum Maklumat Bersama dinyatakan bahwa pengisian lowongan kaum dilakukan dengan sistem pemilihan dengan teknik menyeleksi pengetahuan keagamaan untuk memilih satu di antara dua sampai empat calon yang dipersiapkan sebelumnya yang menjadi penduduk desa/kelurahan bersangkutan.
Dengan prosedur demikian berarti Maklumat Bersama melakukan perubahan kepemimpinan di kalangan aparat syara’. Konvensi yang dianut sejak masa pemerintahan kerajaan, zaman pemerintahan penjajahan dan awal kemerdekaan Indonesia ialah bahwa aparat syara' yang menjabat selaku kali, imam dan khatib selalu diambil dari kalangan keluarga raja atau kalangan bangsawan setempat. Tetapi di dalam Maklumat Bersama, hal utama yang dijadikan dasar penilaian dalam menyeleksi calon yang akan diangkat menjabat jabatan syara' tersebut ialah pengetahuan agama, sedangkan persyaratan konvensional seperti “calon harus dari kalangan bangsawan“ tidak lagi menjadi persyaratan yang menentukan.
Tentu saja perubahan mendasar di atas dipahami sebagai bagian dari kebijaksanaan penataan perikehidupan masyarakat dalam alam kemerdekaan yang mencita-citakan penerapan suasana kehidupan demokratis, berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945. Dengan kebijakan tersebut, unsur pimpinan atau pejabat syara' yang sebelumnya didominasi oleh golongan kelas tertentu (keturunan bangswan), menjadi terbuka untuk semua pihak yang memilki persyaratan pengetahuan yang dibutuhkan yakni pengetahuan agama Islam. Dengan demikian, peluang bagi institusi syara' untuk tetap eksis semakin terbuka. Berbarengan dengan itu tenaga yang memiliki persyaratan untuk diangkat dalam jabatan syara' telah tersedia lepasan dari berbagai perguruan Islam dan/atau lembaga pesantren yang ada di daerah Sulawesi Selatan ketika itu.
Dalam waktu relatif singkat, dapat dikatakan hampir seluruh desa/kampung yang penduduknya mayoritas menganut agama Islam, telah memiliki aparat syara’ yang lengkap, yakni terdiri dari imam, khatib, bilal dan doja. Di tangan merekalah terletak seluruh tanggung jawab pembinaan dan pelayanan kepentingan keagamaan masyarakat (umat Islam), sebagaimana yang dicantumkan dengan jelas di dalam Maklumat Bersama Menteri Agama dan Menteri dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1947, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT SULAWESI SELATAN

SISTEM KEKERABATAN ORANG BUGIS, MAKASSAR, MANDAR DAN TORAJA

SEKILAS SEJARAH MASUKNYA KRISTEN DI ALOR