Gerakan Keagamaan Kontemporer

Oleh : Badruzzaman

Perbincangan mengenai gerakan Islam kontemporer sesungguhnya tidak hanya memerlukan teresedianya konstruk-konstruk teoritis yang memadai, tetapi juga memerlukan tersedianya pengetahuan empiris yang dapat menjelaskan gerakan tersebut. Pertama-tama yang harus dijelaskan adalah gerakan Islam kontemporer itu sendiri kemudian mengidentifikasi gerakannya. Menemukan konstruk demikian itu tampaknya tidak terlalu muda dan bahkan mungkin masih dalam tahap penjelajahan. Selain itu, kasus Indonesia juga masih amat langkah. Dalam hal konsep teoritis, patut dicatat bahwa, Sharon Shiddiqie yang menyatakan bahwa studi tentang Islam komtemporer di Asia Tenggara, ternyata kurang memuaskan oleh karena keterbatasan konseptualisasi. Masalah utama menurut Shiddiqie terletak pada kurang memadainya konsep-konsep sosiologi barat tentang agama, yang menempatkan individu pada pusat analisa, sementara Islam tidak semata-mata mengadung rumusan hubungan antara manusia dengan Tuhan, melainkan juga rumusan tentang tatanan sosial kemasyarakatan, politik, dan sebagainya. Oleh karena itu, menurutnya, implikasi yang paling fundamental dari kebangitan Islam kontemporer adalah usaha yang giat untuk mengarahkan segala tatanan masyarakat pada sebuah bentuk visi tentang realitas yang berinspirasikan idiologi dan kanonik atau sistem tata hukum ((Shiddiqie, 1978).

Masalah lainnya adalah berkaitan dengan pendekatan studi idiologi terhadap Islam kontemporer. Suatu studi tentang ideologi yang memberikan tekanan pada pandangan bahwa ideologi bukan hanya dhilahirkan tetapi juga dilestarikan, akan membawa Islam kontemporer pada dua perspektif ideologi yang saling berlawanan, yaitu yang unversalistik dan partikularistik. Prespektif pertama lahir dari watak Islam yang bersifat kanonik yang memberikan landasan bagi ajaran bahwa Islam adalah pedoman hidup yang lengkap dan diterapkan secara universal menembus batas ruang, waktu, bahasa, dan lain-lain. sedangkan persefektif kedua lahir sebagai produk realitas sosial politik yang berbeda-beda, khususnya di Dunia Ketiga, yang masih relatif memperoleh kemerdekaan, dimana salahsatu kunci guna memahami perbedaan tersebut terletak pada pengujian keterlibatan Islam dalam konsep nasionalisme (Shiddiqie, 1978). Upaya-upaya pelestarian dan penyabaran kedua presfektif ideologi ini pastilah memuat prasyarat-prasyarat yang berbeda dengan konsekuensi yang berbeda pula.

Guna keperluan pemahaman terhadap gerakan Islam kontemporer di Indonesia, kajian ini akan bertolak dari tinjauan terhadap pandangan yang memahami Islam d Indonesia dari dua paradigma, yaitu Islam tradisional dan Islam Modernis. Studi mengenai gerakan Modernis Islam di Indonesia yang dilakukan oleh Deliar Nur membedakan Islam Tradisional dan Islam Modern sekurang-kurangnya dari tiga aspek. Pertama, semangat pemurnian ajaran. Semangat inilah yang telah menumbuhkan upaya-upaya yang tak kenal lelah dari Islam Modernis untuk membersihkan ajaran Islam dari apa yang mereka sebut sebagai bid’ah, takhayyul dam khurafat, yang menurut mereka masih dianut oleh kebanyakan masyarakat Islam di Indonesia. Pada perkembangan selanjutnya, upaya pemurnian mereka mendapat reaksi balik dari komunitas-komunitas muslim yang dianggap sebagai pelaku-pelaku bid’ah, takhayyul dan khurafat itu, yang kemudian memperoleh pijakan gerakan Islam tradisional ( Deliar Nur, 1980).

Dengan memperhatikan ketiga aspek di atas, maka perbincangan mengenai paradigma dikotomis tradisionalis dan modernis akan sampai kepada identifikasi mengenai gerakan-gerakannya. Di bidang sosial, Nahdlatul Ulama (NU) merupakan gerakan Islam Tradisonal yang paling menonjol di samping Tarbiyah Islamiyah (Perti). Sedangkan Muhammadiyah paling menonjol di kalangan Modernis di samping Persatuan Islam (Persis), Al-Irsyad, dan sebagainya. Di bidang politik, kaum Islam Tradisional diwakili oleh NU, Perti dan lain-lain, sedangkan kaum modernis diwakili oleh Masyumi, Partai Serikat Islam Indonesia (PSII) dan sebagainya.

Pada umumnya gerakan-gerakan Islam baik yang tradisional maupun yang mobdernis muncul sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, yaitu priode waktu antara 1900-1940-an. Akar-akar gerakan tradisional telah bersemi sekurang-kurangnya bersamaan dengan masuknya dan semakin meluasnya pemeluk Islam di pedalaman Jawa pada saat mana Islam mulai mengalami proses penerapan dan diserap oleh unsur-unsur budaya lokal. Proses yang lazim disebut sebagaia “domistikasi Islam” itu berlansgsung sekitar abad ke 16 dan ke 17 Masehi, dalam mana aspek-aspek mistik dan ajaran Islam Tasawwuf menunjukkan pengaruh kuat (Ziemek, 1986). Sementara itu, akar-akar gerakan medern Islam dapat dilacak melalui pengaruh gerakan reformis yang dilakukan Jamaluddin Al-Afghan, Muhammad Abduh dan lain-lain, terhadap sejumlah jemaah haji muda Indonesia yang belajar kepada murid-murid mereka di Mekkah atau melalui terbitan-terbitan tentang pemikiran mereka seperti majalah Al Urwah al Wustqa, dan Ktiab Tafsir Al-Manar. Jemaah haji muda itulah, diantaranya pendiri Muhammadiyah K.H.Ahmad Dahlan, yang kemudian mengembangkan gerakan modern Islam (Deliar Nur, 1980).

Perbedaan-perbedaan paham antaran kedua aliran keagamaan itu seringkali berkembang menjadi perselisihan tajam. Itu terjadi karena sebagai gerakan yang mulai terorganisasikan, kedua pihak tidak dapat menghidarkan diri dari proses “ideologisasi” alirannya masing-masing. Perselisihan menjadi semakin mengental ketika masing-masing pihak terlibat dalam kepentingan politik. Bahkan ketika Pemerintahan Orde Baru melakukan restrukturisasi politik tahun 1970-an dan partai-partai Islam baik yang berbasis Islam tradisional maupun modernis melebur diri dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), perselisihan itu tetap kentara (Ziemek, 1986). Peselisihan yang berkepanjangan di samping semakin mengecilkan pengaruh partai politik termasuk PPP dalam kehidupan politik di Indonesia, telah menimbulkan ketidakpastian bagi sejumlah komunitas Islam dalam memilih alternatif panutan keagamaan khususnya yang mendorong komunitas-komunitas tersebut untuk melahirkan gerakan-gerakan Islam spesifik yang kemudian disebut gerakan Islam kontemporer. Pada tahun 70-an sampai 80-an berkembang gerakan keagamaan seperti Islam Jamaah, Kelompok Islam Isa Bugis, Jamaah Islam Qur’an, Gerakan Kaum Muda Masjid Salman, Kelompok Islam Jogyakarta (Jamaah Mardiyah, Jamaah Mesjid Shalahuddin dan Masjid Syuhada) (Abdul Azis, 1989).

A. Gerakan Islam Kontemporer

Pada era reformasi ini muncul berbagai partai Islam. Namun kehadirannya belum berhasil mengangkat posisi Islam di percaturan kehidupan sosial politik. Selain itu di beberapa daerah muncul konflik-konflik yang bernuansa agama. dalam konflik tersebut nampak umat Islam dalam kondisi yang cukup mengenaskan. Namun partai-partai Islam dan organisasi-organisasi keagamaan yang sudah dianggap tidak mampu untuk mengadakan pembelaan. Dalam kondisi yang demikian, maka muncul gerakan keagamaan yang bersifat alternatif (kontemporer) yang ingin mengadakan pembelaan terhadap umat Islam yang dianggap oleh mereka sedang ditindas oleh kelompok lain. Oleh sebab itulah diantara kelompok alternatif ini manamakan dirinya dengan sebutan lasykar.

Di antara kelompok yang muncul pada era reformasi ini antara lain, Ikhwanul Muslimin, From Pembela Islam, Hizbut Tahrir dan Lasykar Jihad, Ikhawanul Muslimin atau Jamaah Tarbiyah sebuah gerakan Islam terbesar di jaman modern ini. Misi utamanya adalah mengajak umat Islam kembali ke Islam sebagaimana termaktub dalam Alqur’an dan Assunnah serta mengajak penerapan syarait Islam dalam kehidupan nyata. Gerakan ini berusaha membendung arus sekulerisasi di dunia Arab dan Islam pada umumnya. Pedirinya adalah Hasan Al Banna (1906-1949). Cikal bakalnya diletakkan tahun 1928, namum peresmian pendiriannya sebagai gerakan baru dilakukan pada tahun 1941. Selai Al Banna, Ikhwanul Muslimin banyak melahirkan tokoh pemikir, antara lain Sayid Qutb (1908-1966), Muhammad Qutub, Yusuf Qardawi, Said Hanna, Muhammad Al-Ghazali, Mustafah As Sabai, Abdul Latif, Abu Qurrah, dan Abdullah Azzam.

Di Idonesia, gerakan dakwah Ikhawanul Muslimin muncul dalam jamaah-jamaah tarbiyah yang tumbuh subur di lingkungan kampus dan kalangan Profesional muda pada tahun 1980-an. Ada yang menyebutnya dakwah ini juga yang menjiwai gerakan dan langkah Partai Keadilan yang telah mencanankan diri sebagai partai dakwah.

Missi dakwah Ikhwanul Muslimin kemudian menginspirasi Habib Husain Al Habsyi memproklamirkan Ikhwanul Muslimin Indionesia (IMI) pada Januari 2001 di Hotel Bumi Wiyata Depok. Selain Habib Husain sebagai Presiden IMI didukung para cendekiawan muslim antara lain Prof. Dr. K.H. Hambali, Dr. Muhammad Rivai, Ir. H. M. Rusli, H. Nasrullah, SH, Alwi Al-Atas dan Chandra Yulianto, MA.

From Pembela Islam muncul hampir bersamaan dengan runtuhnya rezim Orde Baru dan lahirnya gerakan reformasi. Ini merupakan gerakan amar ma’ruf nahi munkar. Dipimpin oleh Habib Muhammad Riziq Shihab, FPI banyak melakukan pembelaan terhadap kepentingan Islam dan umat. Lasykar-lasykar FPI di sejumlah kota (Jakarta, Tangerang, Solo) banyak melakukan gerakan nahi munkar berupa sweeping tempat-tempat maksiat, palacuran, miras, dan narkoba. Mendorong antara lain tegaknya syariat Islam, mendemo pemerintah maupun lembaga swasta yang dianggap merugikan umat Islam.

Hizbut Tahri (HT) atau Partai Pembebasan ini didirikan oleh Syeikh An-Nadhani pada tahun 1953 di Al Quds, Terusalem. Cita-cita utamanya adalah membentuk negara Islam sedunia (khilafah Islamiyah) melalui tiga tahap antara lain perjuangan (marhalah), yaitu pengkaderan (marhalah at-tatsqif), pemasyatakatan (marhalah tafa’ul ma’al ummah) dan pengambilalihan kekuasaan (marhalah istilaana al hukm).

Kelompok ini masuk ke Indonesia pada tahun 1982 melalui Abdurrahman Al Baqdadhi, seorang aktivis HT yang tinggal di Australia. Ketika ia diajukan oleh K.H. M. Abdullah untuk ikut mengembangkan pesantern Al-Ghazali, Bogor, Al-Bagdadhi dapat cepat berinteraksi dengan para aktivis masjid Al-Ghazali IPB Bogor. Ide-idenya memikat para aktivis dan banyak menyerbu ke kampus-kampus lain.

Tahun lalu dalam komprensi Internasional Khalifah Islamiyah pun sukses digelar di Istora Senayan dengan menghadirkn beberapa tokoh HT dari luar negeri, seperti Ustadz Ismail Mahwah (Ausrtalia), dan K.H. Syarifuddin M. Zaini (Malaysia), K.H. Muhammad Usman (Indonesia), dan K.H. Muhammad Al-Khattah (Indonesia). Nama terakhir in menjadi ketua HT Indonesia, dan nama kelompok lain diubah menjadi Sabab Hizbut Tahrir.

Lasykar Jihad lahir dari sebuah gerakan dakwah salafiah di Indonesia. Perintisnya adalah Ja’far Umar Thalib. Ia kelahiran Malang 29 Desember 1961, yang pernah berguru ke Persis Bangil, LIPIA, dan Maududi Institur di Lahore, Pakistan. Salah satu guru utamanya adalah Syaikh Mu’abil bin Had Al Wadli di Damaz, Yaman Utara. Sepulang dari Timur Tengah pada tahun 1973 ia mendirikan Pesantren Ihya’us Sunnah di Yogyakarta. Pesantren ini merujuk pada dakwah salafiah yang dirintis Muhammad bin Abdul Wahab di Arab Saudi. Salafiah sendiri punya makna dakwah berdasarkan Alqur’an dan Sunnah dengan pemahaman sahabat Nabi.

Ketika situasi ekonomi dan politik di Indonesia sedang bergejolak di awal tahun 1998, ia melaksanakan tablig akbar di Solo. Tablig akbar kembali dilakukan di Yogyakarta pada 30 Januari 200 dalam rangka menyikapi kasus pembantaian umat Islam di Maluku. Ia mengeluarkan resolusi jihad dengan deid line tiga bulan. Melihat ketidakjelasan mengenai politik Maluku, pada 6 April 200 ia bersama seluruh muridnya mendeklarasikan akan berangkat ke Ambon dan meresmikan berdirinya lasyka Jihad Ahlusunnah Waljamaah. Selain kelompok ini, masih banyak kelompok lainnya seperti Majelis Mujahidin Indonesia, Lasykar Jundullah, dan Lasykar Hisbullah.

Dari tinjauan ilmu sosial, yaitu suatu usaha kolektif untuk mempromosikan atau menentang perubahan di dalam suatu masyarakat atau satu kelompok. tingkat perubahan yang diadvokasi bervariasi menurut tipe-tipe gerakan sosial yang ada, apakah gerakan itu bersifat politik, keagamaan atau gerakan mahasiswa. Gerakan-gerakan lainnya menuntut perubahan dalam bidang tertentu dan bersifar moderat. Level perubahan baik berupa perubahan struktur sosial maupun perubahan sikap, kehidupan spiritual dan gaya hidup. Juga bervariasi dari tingkat nasional dan global.

B. Tipe-Tipe Gerakan

Gerakan sosial dapat diklasifiksi ke dalam gerakan revolusioner dan gerakan reformis. Gerakan revolusioner seperti Bolshevik, Palestina, Jihad Islam dan Gerakan Irlandia Merdeka. Gerakan-gerakan ini muncul menuntut adanya perubahan struktural yang fundamental dan radikal dalam institusi dasar suatu masyarakat, atau dalam kasus-kasusu tertentu, perubahan lebih luas pada sistem dunia. Karena mereka berhadapan dengan legitimasi pemegang otoritas yang luas, maka kelompok elite yang berkuasa biasanya menggunakan segala cara yang mungkin untuk menekan gerakan revolusioner tersebut.

Gerakan reformis, sebaliknya, berusaha untuk melakukan perubahan terhadap hubungan-hubungan struktural tanpa secara serius mengancam institusi yang ada. Konsekwensinya, sementara banyak kelompok elite yang menentang gerakan reformis, namun banyak juga yang bersikap toleran terhadap gerakan semacam ini ketimbang terhadap gerakan revolusioner. Ada gerakan-gerakan reformis yang bersifat umum seperti perdamaian, gerakan perempuan, dan gerakan lingkungan. Sedangkan yang lainnya bersifat khusus berkaitan dengan issu-issu tertentu, misalnya anti aborsi, anti mabuk ketika sedang mengemudi dan sebagainya. Masih ada lagi jenis reformis spesifik lainnya yaitu yang diarahkan pada issu gaya hidup dengan tujuan mengubah prilaku individu, buka perubahan struktur sosial.

Akibatnya gerakan sosial sering membangkitkan penentangan teroganisir dalam bentuk gerakan balik. Gerakan balik berusaha mencegah gerakan revolusioner atau reformis mencapai tujuannya. Kelompok ini biasanya berasal dari kalangan konservatif, yang cenderung mempertahankan institusi dan gaya hidup yang ada.

Semua bentuk dan level gerakan sosial memiliki karakteristik umum di mata ilmu sosial. Pertama, semua gerakan muncul di bawah kondisi historis, kultural dan struktur yang spesifik dan kompleks. Kedua begitu gerakan muncul, berbagi bentuk partisipasi juga muncul, termasuk rekrutmen anggota baru, pembentukan komitmen dan pelestarian partisipasi. Ketiga setiap gerakan diorganisir pada tingkat tertentu. Manifestasi gerakan yang paling jelas adalah organisasi gerakan sosialnya dan strategi serta taktiknya. Terakhir , setiap gerakan sosial memiliki konsekuensi-konsekuensi tertentu, betapa pun kecilnya.

C. Munculnya Gerakan

Ilmuan sosial telah menaruh perhatian terhadap faktor-faktor yang berkaitan dengan munculnya gerakan sosial. Teori dan penelitian awal menunjukkan bahwa gerakan sosial muncul ketika masyarakat mengalami ketegangan struktural, misalnya ketika terjadinya perubahan sosial yang cepat. Teori “ Break Down” ini menyatakan bahwa terjadinya pengaturan ulang struktur secara luas dalam masyarakat. Misalnya urbanisasi dan industrialisasi membawa kepada terputusnya kontrol sosial dan mempertinggi dorongan terhadap perilaku antisosial (Tilly, and Tilly, 1975). Sebab itu, “break down “ sistemik ini dikatakan sebagai penyebab meningkatnya pemogokan, kekerasan kolektif dan gerakan sosial.

Sarjana tentang gerakan sosial sekarang ini mengkritisi teori ‘breakdown” pada latar empiris dan teoritis. Ketimbang melihat kemunculan gerakan semata-mata gerakan politik dengan cara lain, yaitu sebagai satu-satunya cara terbuka bagi kelompok yang tidak pada posisi kekuasaan. Untuk memahami kondisi yang mempengaruhi munculnya gerakan, peneliti beralih ke faktor-faktor struktural yang kondusif bagi munculnya gerakan.

Satu faktor struktur makro adalah struktur kesempatan politik. Hal ini mengacu kepada reseptivikasi atau kerentanan sistem politik terhadap proses yang teroganisir dari suatu gerakan sosial. Penelitian tentang gerakan hak-hak warga negara, misalnya mengindikasikan bahwa kemunculan gerakan difasilitasi oleh serangkaian perubahan yang saling berkaitan dalam struktur kesempatan politik. Hal ini termasuk menurunnya harga kapas, migran orang hitam ke utara, meluasnya hak suara orang hitam, dan perubahan pemilih di dalam tubuh partai demokrat.

Faktor makro yang lain, yang dilihat oleh peneliti, adalah hilangnya tekanan (represi). Gerakan sosial kadang-kadang menghidari kekerasan atau respon represif dari penguasa, bukan hanya selama terjadinya krisis pemerintahan, tetapi juga selama periode dimana peluang politik semakin meluas.

Peneliti menunjukkan bahwa hubungan antara aksi kolektif dengan represi adalah bentuk bell. Usaha-usaha awal penguasa untuk menekan gerakan sering mengipas api ketidakpuasan dan menyulut kegiatan proses lebih jauh. Akan tetapi, apabila pemegang otoritas, memberikan respon berupa tekanan yang keras, seperti otoritas China mengerahkan tenk dan tentara ke Lapangan Tiananmen untuk memadamkan demonstrasi mahasiswa, maka biaya tindakan kolektif biasanya menjadi terlalu tinggi bagi suatu gerakan untuk melanjutkan gerakannya.

Organisasi pribumi (lokal/indigenous org.) merupakan faktor struktural mayor ketiga yang berkaitan dengan kemunculan gerakan. Organisasi yang sudah berfungsi sebagai jaringan komunikasi bagi anggota masyarakat yang kurang puas. Mereka juga menyiapkan basis untuk memobilisasi sumberdaya yang diinginkan guna mendukung sebuah gerakan. Gereja, misalnya, merupakan organisasi pribumi yang penting yang menyokong munculnya gerakan perdamaian, hak-hak civil, dan gerekan moral pada umumnya.

Terakhir, beberapa sarjana Eropa menyatakan bahwa intervensi negara ke dalam domain kehidupan privat telah membangkitkan gerakan sosial baru. Menurut persperktif ini, berbagai perubahan struktural di masyarakat industri modern, khususnya perubahan sistem produksi, membawa suatu negara untuk mengontrol wilayah privat yang ada sebelumnya, konsekwensinya, wilayah privat seperti hubungan seseorang dengan lain telah memasuki wilayah konflik publik. Gerakan sosial baru, seperti gay, eutanasia, dan lingkungan muncul untuk mendapatkan wilayah dari pemerintah.

Uraian di atas menunjukkan bahwa berbagai faktor struktur sangat penting bagi munculnya gerakan sosial. Namun demikian, faktor strurktural saja tidak cukup untuk munculnya suat gerakan. Para sarjana menelusuri adanya faktor-fktor interaksi mikro bagi munculnya suatu gerakan.

Sebagian besar penelitian menfokuskan pada proses interprestasi kekecewaan dariu keluhan. Hal ini mengacu kepada cara dengan apa masyarakat secara kollektif sampai pada definisi yang sama mengenai situasi atau “fram penafsiran” yang sama mengenai perubahan sosial yang mereka dukung atau tentang.

Kesimpulannya, gerakan sosial mungkin sekali terjadi pada saat kondisi struktural untuk mobilisasi sudah matang dan ketika penafsiran mengenai kekecewaan menghasilkan semacam pembebasan secara kognitif (kognitif liberation).

E. Partisipasi Gerakan

Erat kaitannya dengan issu tentang munculnya gerakan adalah pernyataan mengenai partisipasi gerakan. Siapa yang terlibat dan mengapa? Kondisi apa yang mempengaruhi terjadinya partisifasi? Bagaimana gerakan membangun komitmen keanggotaan dan melestarikan partisipasi? Pertanyaan-pertanyaan mengenai partisipasi ini dapat dijelaskan dengan teori “break down”. Partisipasi gerakan dapat dipandang sebagai suatu respon irasional terhadap ketegangan sosial-struktural. Faktor yang dianggap sebagai determinan kunci dari partisipasi gerakan berkisar dari adanya alinasi sosial dan isolasi sosial sampai kepada adanya deprivasi relatif (ketercabutan). Setiap pendekatan ini menyarankan bahwa adanya keluesan psikologis (malaise) atau kerusakan kepribadian mendorong individu-individu untuk bereaksi ketegangan struktural dengan cara berpartisipasi dalam gerakan sosial.

Meledaknya aksi koletif dan perkembangbiakan gerakan sosial pada tahun 60-an membawa ilmuan sosial mempertimbangkan asumsi “teori-teori break down”. Teorisi tertentu mendefinisikan ulang partisipasi gerakan sebagai suatu pilihan rasional. Menurut prespektif ini, partisipasi potensial mengambil bagian dalam aktivis gerakan sosial hanya ketika manfaat yang diinginkan lebih besar dari pada biaya partisipasi yang harus dikeluarkan.

Jaringan sosial adalah faktor penting lain yang mempengaruhi rekrutmen ke dalam gerakan sosial. Gerakan cenderung merekrut kebanyakan anggota barunya melalui jaringan anggota yang sudah ada. Seseorang memutuskan untuk pertama kali mengikuti kegiatan gerakan karena seorang teman, teman kerja atau keluarga mengundangnya. Mereka yang berada di luar jaringan kurang kemungkinannya untuk menyadari keberadan kelompok gerakan tertentu. Lagi pula mereka kurang (tertarik) mengikuti fungsi-fungsi gerakan apabila mereka tidak yakin disana ada orang yang mereka kenal.

Sementara memiliki jaringan dengan orang yang berpartisipasi dalam gerakan sosial dapat meningkatkan partisipasi gerakan, ikatan sosial berdampak sebaliknya. Ikatan sosial dalam bentuk hubungan keluarga atau profesi dapat menghambat partisipasi gerakan dengan banyak cara. Untuk seseorang, hal ini dapat menimbulkan konflik peran. Tuntutan sebagai partisipan pergerakan dan tuntutan sebagai seorang pekerja dapat suatu waktu tidak dapat disejalankan. Orang yang berstatus kawin yang memiliki tanggung jawab sebagai orang tua sementara ia juga pekerja full-time, boleh jadi tidak memiliki waktu untuk berpartisipasi dalam gerakan sosial.

Guna menjastifikasi partisipasi gerakan mereka bagi dirinya dan orang lain. maka partisipan mengembangkan perbedaharaan motif. Hal ini dalam rasional yang mengandung alasan-alasan partisipasi mereka dalam sebagai antisipasi munculnya pertanyaan dari atasan mereka di kantor, anggota keluarga, atau teman. Penelitian menunjukkan bahwa partisipasi gerakan secara sosial membangun perbendaharaan motif-motif ini ketika mereka berinteraksi satu sama lain. Aktivis selanjutnya menggunakan rasional ini sebagai pendorong moivasi untuk membangkitkan simpatisan dan pendukungnya melakukan aksi unutk mencapai tujuan (p. 1883).

Perbendaharaan motif tidak hanya menfasilitasi rekrutmen anggota gerakan, tetapi juga berfungsi sebagai mekanisme-penbangunan-komitmen (commitment-building-mechanisms). Mereka membantu partisipan menjastifikasi bagi dirinya sendiri melakukan pengorbanan yang dikeluarkan, maka semakin mahal biaya bagi suatu gerakan.

Penelitian tentang gerakan sosial juga menunjukkan bahwa motif partisipasi dan pengalamannya beraneka ragam. Tidak ada satu penjelasan tunggal mengenai hal ini. Bahkan, terdapat sejumlah faktor yang secara bersama-sama mempengaruhi pengambilan keputusan untuk ikut dalam satu gerakan. Begitu juga halnya, terdapat sejumlah cara untuk berpartisipasi, misalnya sekadar ikut menandatangani sejumlah petisi atau menulis surat kepada politisi, sampai kepada mereka memiliki komitmen lebih besar, seperti mengkoordinri kampanye tingkat nasional, atau mengorganisir aksi pembangkangan sivil.

E. Organisasi Gerakan

Aktivitas gerakan dan partisipasinya dikoordinir suatu Organisasi Geraakan Sosial (Social Movement Organizasian/SMO). Umumnya gerakan reformasi umum melahirkan berbagai SMO. Misalnya, pada tahun 1984, gerakan antinuklir AS memiliki 3000 SMO independen, dan 100 organisasi lokal lainnya. Gerakan reformasi-reformasi khusus, sebaliknya, cenderung memiliki lebih sedikit SMO, tanpa harus SMO tersebut bebentuk formal, sebagai pusat komando gerakan. Mereka memperoleh sumberdaya, memobilisasi pengikut, dan menerapkan strategi gerakan.

Para teoritis pengerahkan sumberdaya menekankan pentingnya SMO dalam menjalankan fungsi gerakan. Tanpa organisasi, sulit untuk memperoleh sumberdaya yang diperlukan guna mengatasi tantangan yang dihadapi. Gerakan kontemporer membutuhkan uang, iklan, cetakan, pengiriman (posting), lobing, staf dan sebagainya.

Teori pengerahan sumberdaya lain menyatakan bahwa studi mengenai SMO menunjukkan adanya ikatan timbal balik antara level makro dan mikro. Misalnya, level sumberdaya masyarakat mempengaruhi ketersediaan sumberdaya bagi SMO yang pada gilirannya mempengaruhi usaha rekrutmen. Selama kemakmuran ekonomi berlangsung, seperti pada tahun 1960-an, semua sektor gerakan sosial berkembang. Hal ini terjadi karena adanya keluhan sumberdaya untuk menunjang keterlibatan dalam gerakan. Dalam ilustrasi ini, level makro (surplus sumberdaya di masyarakat) yang dimediasi oleh SMO, mempengaruhi tingkat mikro (partisipasi individual).

Ada juga gerakan yang berupaya untuk mempengaruhi tingkat makro dari bawah. Lagi pula, SMO memainkan paran mediasi. Individu yang memiliki keprihatinan yang sama bertemu bersama secara tidak formal dalam suatu setting kelompok kecil yang oleh Mc Adam (1988) disebut sebagai konteks mobolisasi mikro (micromobilization context). Kadang-kadang peserta dalam pertemuan ad hoc ini memutuskan untuk membentuk organisasi formal untuk bertindak atas nama keprihatinan kolektif partisipan. Pada gilirannya SMO merancang strategi untuk mengubah sistem cara tertentu. Kadang-kadang SMO berhasil membawa perubahan tingkat makro.

Taktik dan strategi yang digunakan oleh suatu gerakan dalam memenuhi tujuannya dirancang olen SMO. Strategi gerakan mengacu ke ‘perencanaan umum organisasi’ untuk memperoleh dan menggunakan sumberdaya guna mencapai tujaun gerakan. Sebagai contoh, gerakan dapat mengusahakan perubahan sosial dengan merangcang strategi yang bertujuan merubah tatanan struktural atau mengubah orang-orang atau keduanya. Begitu pula halnya gerakan dapat memilih strategi legal atau illegal, atau strategi kekerasan atau damai.

Taktik mengacu kepada teknik spesifik yang digunakan oleh gerakan untuk menjalankan strateginya. Aksi-aksi seperti mengajar (teaching), duduk, berbaris, rally, mogok dan sunatan massal adalah bentuk-bentuk taktik yang sering digunakan.

Setiap gerakan mengembangkan sendiri taktik spesifik sesuai keahliannya. Spesifikasi ini muncul sebagai konsekwensi dari kerjasama dan persaingan di antara SMO-SMO yang ada. Dengan menerapkam taktik khusus, suatu SMO mampu mengukir suatu nich dalam gerakan yang membedakannya dengan gerakan lain. sekali suatu SMO sudah mengembangkan suatu indentitas organisasi, ia berada pada posisi membangun suatu basis sumberdaya.

F. Hasil Gerakan

Efek apa yang dicapai oleh suatu gerakan sosial kaitannya dengan perubahan sosial?. Pada umumnya, gerakan lebih efektif menghasilkan perubahan kultural daripada struktural. Warisan gerakan tahun 60-an misalnya adalah perubahan dalam bentuk perubahan sikap kaitannya dengan perempuan dan minoritas, trend fesyen (releks), gaya hidup (hedonistik) dan semacamnya. Orang hitam tetap mengalami diskrimanasi dalam pekerjaan, perumahan dan pendidikan. Begitu juga perempuan tetap memiliki pembedaan di tempat kerja dan di rumah.

Hal ini berarti gerakan selalu gagal dalam perubahan struktural. Akhir 80-an dan awal 90-an, gerakan akar rumput secara radikal berhasil mentrasnformasikan struktur politik totaliter di sejumlah negara-negara Eropa Timur menjadi negara demokratis. Gerakan pertengahan abad 19 berhasil menghapuskan perbudakan. Begitu juga, gerakan global terhadap aparheid telah berhasil di Afrika Selatan. Kesimpulannya, meskipun gerakan kadang-kadang dapt mencapai hasil dramatik, struktur sosial pada awalnya cenderung lebih resistan dari pada kultural bagi gerakan revolusioner atau reformasi (p.1885).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT SULAWESI SELATAN

SISTEM KEKERABATAN ORANG BUGIS, MAKASSAR, MANDAR DAN TORAJA

SEKILAS SEJARAH MASUKNYA KRISTEN DI ALOR