Acuan Kategori Aliran Sempalan Menurut Masyarakat Gorontalo



 Ada enam katergori yang dijadikan acuan oleh masyarakat Gorontalo dalam mengidentifikasi aliran sempalan. Yaitu:
1.    Rukun Iman
Mayoritas masyarakat Gorontalo menganut agama Islam. Ajaran-ajaran agama Islam menjadi pemahaman, ritual,  maupun pola perilaku sosial masyarakat Gorontalo. Pemahaman terhadap aspek aqidah merupakan paham domain masyarakat Gorontalo, seperti keesaan Allah swt berserta sifat-sifatnya, keyakinan terhadap Alquran sebagai satu-satunya firman Tuhan, sumber utama ajaran Islam, Nabi Muhammad adalah nabi terakhir, Allah SWT memiliki sejumlah malaikat, kepercayaan terhadap hari akhirat dan takdir baik dan buruk.  Pemahaman aqidah ini yang menjadi kriteria utama yang dijadikan acuan untuk mengindetifikasi aliran sempalan.
Pada tahun 2008, terdapat sebuah kolompok di Gorontalo yang menyatakan adanya nabi selain Nabi Muhammad saw. Diketahui bahwa penganut paham ini (Aliran Ahmadiyah) berasal dari luar Gorontalo yang diduga datang dengan kepentingan tertentu. Setelah paham keagamaannya mulai disosialisasilkan, maka gejolak penolakan terhadap paham itu pun muncul dari masyarakat.. Menurut penuturan beberapa sumber bahwa gerakan penolakan itu cenderung anarkhis[1].
   Pada tahun 2006 muncul sebuah aliran keagamaan yang mempercayai sebuah kitab sumber ajaran selain Alqur’an. Aliran tersebut dinamai oleh masyarakat Gorontalo Jamaah Alqadiriyah Alanggaya. Kelompok yang didirikan oleh Hamzah Igirisa (65 tahun) bermukim di Kelurahan Buliide  Kecamatan Kota Barat. Sang pendiri aliran disebut-sebut pernah diperjalankan sampai ke gunung “kaf” dan “nun” di sidrat al muntaha' untuk menerima  petunjuk yang mereka sebut “Kitab Hijau”.  Ia menceritakan, pada sebuah malam, tepatnya malam Jumat, dirinya didatangi seekor merpati. Kemudian ia diajak terbang sampai ke langit ketujuh di sidrat al muntaha', tepatnya Gunung Kaf dan Nun. Di sanalah Hamzah Igirisa mendapat petunjuk berupa kitab hijau yang diselipkan di dada Hamzah. Proses pemberian petunjuk dari Sang Khalik itu cukup lama, di mana Hamzha masih berjalan-jalan mengelilingi bagian demi bagian dari sidrat al muntaha'. Setelah itu Hamzah kemudian dikembalikan ke bumi, dan dia kaget.  Kitab Hijau yang bersifat abstrak dan hanya diketahui oleh Hamzah Igirisa  itulah yang berisi penjelasan substansi ini kandungan Alquran dan Hadis. Ini yang kemudian disampaikan kepada jamaahnya sebagai bekal hidup di dunia dan akhirat. Keberadaan jamaah Alqadiriyah Alanggaya nyaris menyulut  amukan massa, sebab ditentang oleh masyarakat karena dinilai melenceng dari ajaran Islam[2].
2.    Peradatan
Kebudayaan masyarakat Gorontalo dilaksanakan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam adat istiadat sejak dahulu kala. Pada waktu agama Islam menjadi agama masyarakat Gorontalo pada abad ke enam belas terkenal kata-kata bijak leluhur: “Adat bersendi syara’, syara’ bersendi Kitabullah”. Tatakrama adat yang dilaksanakan oleh masyarakat haruslah sesuai dengan ajaran agama. Kebudayaan yang bernafaskan Islam lambat laun masuk ke dalam tata adat Gorontalo antara lain, bahasa, musik, tatakrama perhelatan bahkan sapaan seperti Aba (Ayah), Umi (Ibu), Ami (Paman). Aspek-aspek adat Gorontalo pada hakekatnya adalah saling menghargai dan menghormati. Walaupun pada dasarnya manusia sama namun Allah memberikan amanah kepada yang kehendaki-Nya. Allah menciptakan manusia tidak serentak di seluruh dunia tetapi berlapis-lapis, turun temurun sehingga terjadi tingkatan orang-orang tua, orang muda dan anak-anak. Demikian pula susunan masyarakat ada yang dituakan karena jabatannya atau ilomatonya (karyawan) dan ada pula masyarakat (tuangolipu). Yang muda menghormati yang tua dan masyarakat menghormati pimpinan. Tatakrama menghormati orang lain bukan merendahkan diri malah dapat mengangkat derajat diri seseorang. Yang dihormati merasa dihargai sedangkan yang menghormati terangkat derajatnya sebagai manusia yang mengenal tatakrama dan adat. Sedangkan muara dari penghormatan itu sendiri semuanya ditujukan kepada Allah SWT.
Kondisi  peradatan ini berlangsung hingga sekarang, yang nampak telah menjadi sarana resistensi terhadap perkembangan aliran sempalan di Gorontalo. Masyarakat Gorontalo  sangat menghormati pemangku adat beserta tradisi peradatan. Kerenanya aliran keagamaan yang tidak mengakomodasi sistem peradatan sebagai bagian dari khasanah keagamaan, tidak akan berkembangan lama di Gorontalo.
Menurut DR.H. Muhajirin Yanis, M.Pdi[3] bahwa ada beberapa organisasi keagamaan yang muncul di Gorontalo yang tampak antipasti terhadap sistem peradatan. Kelompok keagamaan ini cenderung ditolak oleh dominan masyarakat.[4]  Wahdah Ismaliyah sebagai salah satu organisasi keagamaan yang dinilai oleh dominan masyarakat cenderung antipasti terhadap sistem peradatan,  meskipun masih tetap esksis namun reaksi-reaksi penolakan masyarakat Gorontalo sangat kuat. Di kalangan siswa MAN Model Gorontalo, gejala penolakan itu muncul ketika beberapa orang siswa yang berhasil masuk sebagai jamaah Wahdah Islamiyah. Beberapa siswa tersebut menawarkan pemahaman,  ritual ibadah dan cara berperformansi yang berbeda dengan kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat Gorontalo yang agamis. Paham pengharaman  terhadap kebiasaan-kebiasaan adat, musik, model pakaian tertentu; beberapa gerakan sholat  yang diajurkan yang berbeda dengan kebiasaan selama ini dipahami dan diajarkan oleh tokoh-tokoh agama, sampai pada model pakaian.[5]
Siswa-siswa beserta guru MAN Model Gorontalo melakukan kajian terhadap tawaran-tawaran tersebut dengan menghadirkan beberapa siswa anggota jamaah Wahdah Islamiyah itu. Setelah melalui proses penanganan dialogis dan persuasif, beberapa sisiwa itupun menyatakan tidak akan ikut lagi dalam kagiatan-kegiatan organsisasi keagamaan tersebut[6].
Sinegitas antara sistem peradatan dan ajaran Agama Islam tampak sangat diperpegangi kuat oleh masyarakat Gorontalo. Sehingga sistem budaya ini menjadi alat resistensi masyarakat untuk mengantisipasi muncul dan berkembangnya aliran sempalan.  Menurut Muhajirin Yanis, bahwa aliran keagamaan yang berpaham antipati, sangat tegas dan bahkan mengharamkan terhadap sistem peradatan, tidak akan berkembang di Gorontalo. Aliran keagamaan yang paham keagamaannya cocok dangan sistem peradatan Gorontalo dan mendukung sistem peradatan tersebut maka aliran keagamaan itu akan berkembang pesat.[7]
3.            3. Kebiasaan Peribadatan Masyarakat
Kebiasaan ritual peribadatan yang dianut masyarakat Gorontalo juga menjadi acuan mengidentifikasi aliran sempalan. Sistem peribadatan yang dianut, menurut beberapa sumber, menganut sistem peribadatan Sunni atau Syaf'iiyah. Tatacara shalat menshahirkan niat, dan basmalah, qunut saat salah shubuh, membesarkan zikir dan slahawat saat selesai shalat, khususnya shalat magrib dan shubuh, berdoa berjamaah. Selain itu terdapat pula kebiasaan tertentu mu’azin membaca shalawat sesaat sebelum mempesilakan khatib shalat Jumat membacakan Khutbah, di masjid-masjid membaca shalawat (kitab Barazanji) di malam Jumat dan kegiatan-kegiatan syukuran masyarakat, membaca doa arwah, dan lain-lain.[8]
Kebiasaan-kebiasaan ritual peribadatan dan keagamaan ini membudaya di masyarakat Gorontalo, sehingga menjadi warna tersendiri dalam kehidupan keagamaan masyarakat. Sehingga sistem peribadatan yang berbeda dengan sistem peribadatan yang selama ini dipraktikkan, dianggapnya sebagai sistem peribadatan yang sempal. Seperti tatacara shalat shubuh tidak qunut, semula dianggap sebagai tatacara shalat yang sempal, namun tatacara shalat ini dianut oleh jamaah organisasi sosial keagamaan Muhammadiyah, maka tatacara shalat itu dipahami sebagai salah satu cara beribadah yang benar. Namun dominan masyarakat Gorontalo tidak menerapkannya dalam peribadatan.
Muncul juga tatacara shalat yang mendahulukan meletakkan tangan kanan di atas dada sesaat setelah takbir ihram lalu memposisikan kembali peletakan tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri,  menempatkan kedua tangannya di atas perut  saat berdiri i’tidal, takbir dengan mengangkat tangan sajajar dengan telinga saat akan sujud pertama,  ketika shalat. Praktik shalat ini muncul beberapa tahun terakhir ini di Gorontalo, khusus dipraktekkan oleh dominan pelajar (mahasiswa dan beberapa siswa). Praktik shalat ini dinilai sempal juga oleh dominan masyarakat Gorontalo, khususnya siswa MAN Model Gorontalo. Praktik shalat ini pernah dilakukan oleh beberapa siswa MAN, namun ditentang oleh dominan siswa, bahkan sejumlah guru MAN.[9]
4.    B    4. Bentuk Penafsiran Terhadap Ayat Alquran dan Hadist
Pada aspek non peribadatan pun dalam bentuk penafsiran juga dijadikan sebagai acuan mengidentifikasi aliran sempalan. Penafsiran terhadap sebuah hadist sehingga muncul pengharaman terhadap segala bentuk musik, dinilai sempal oleh masyarakat Gorontalo. Wacana ini pernah muncul dikalangan siswa MAN Model Gorontalo yang dibawah oleh beberapa siswa. Para siswa dan guru MAN pun kelakukan kajian terhadap beberapa pendapat berkaitan dengan hadis tersebut. Hasil kajiannya bahwa pendapat yang mengharamkan musik tidak dapat diterima karena merupakan salah satu bentuk budaya muslim. Hal serupa dengan munculnya fenomena memperpanjang jangguk meskipun hanya beberapa helai, dan bentuk calana panjang yang didisain lebih pendek (kira-kira panjangya sampai sejengkal di bawah lutut) yang mereka sebut dengan isbal. Praktik-praktik semacam ini merupakan bentuk tafsiran dari hadis-hadis tertentu yang dianggap oleh dominan masyarakat Gorontalo bentuk penafsiran yang sempal.[10]
5.   e     5. Bentuk Kegiatan Keagamaan yang Baru
Indikator yang lain yang dijadikan pedoman untuk dikategorikan sebagai aliran sempalan oleh dominan masyarakat Gorontalo adalah bentuk-bentuk kegiatan keagamaan yang baru. Bentuk kegaiatan yang dimaksud adalah bentuk pengkajian keagamaan dan bentuk rumah ibadah.
Salah satu organisasi keagamaan yang pernah menjadi sasaran penolakan dan dianggap sempal oleh masyarakat Gorontalo adalah Jamiatul Islamiyah. Menurut Dra.Hj. Fitriyani Humokor, M.Pdi[11]. bahwa masyarakat melakukan penolakan terhadap lembaga keagamaan yang semula berpusat di Tapa ini karena diindikasi mempraktikkan bentuk peribadatan yang baru. Peribadatan secara berjamaah (bersama-sama)  dilakukan terbatas hanya komunitas mereka sendiri, dan cenderung tertutup bila terdapat salah seorang jamaah yang berasal dari komuntias mereka. Demikian halnya dengan bentuk pengkajian Alqur’an Jamiatul Islamiyah dilakukan, secara tertutup: pengkajian yang hanya diikuti oleh jamaah/anggota-nya. Bentuk masjid yang dibangun pun tampak berbeda dengan bentuk masjid yang dominan ada di Gorontalo, hanya berbentuk semacam gedung pertemuan.  Kelompok ini pernah ditentang kuat oleh masyarakat Gorontalo, bahkan sampai pada melakukan perusakan terhadap masjidnya.[12]
Sampai saat ini tampaknya sejumlah kalangan masyarakat tertentu sudah mulai menerima Jamiatul Islamiyah. Karena mendapat penolakan di Tapa, maka Jamiatul Islamiyah kemudian berkembang di Paguyaman, dan diperoleh informasi bahwa organisasi keagamaan ini telah mengakomodir beberapa pejabat di Gorontalo sebagai anggotanya. Fitriyani Humokor menambahkan  bahwa penolakan masyarakat saat lebih disebabkan oleh keawaman masyarakat saat itu karena menemukan praktik keagamaan yang baru.[13]

6.    Praktik Tariqat atau Ajaran Tasawuf (Praktik Zikir)
Acuan yang lain yang dijadikan indikasi aliran sempalan oleh masyarakat Gorontalo adalah praktik zikir tertentu. Praktik zikir tertentu yang tampak dinilai sempal oleh masyarakat Gorontalo pun berkembang. Beberapa kelompok praktik zikir yang berkembang di Gorontalo yang tampak dinilai sempal oleh masyarakat Gorontalo adalah Yayasan Syech Maulana, Ladunni Ilman, dan Terikat Makrifatullauh.
Prektik peribadatan yang diamalkan oleh Yayasan Seck Maulana, menurut penilaian masyarakat, melakukan zikir dengan menggunakan tape/kaset. Selain itu, pengamatan masyarakat pada praktik peribadatan yang dilakukan saat melakukan shalat wajib. Menurut laporan beberapa masyarakat bahwa saat waktu shalat tiba, tampaknya kelompok ini tidak terdengar melaksanakan shalat, tetapi yang dilakukan hanya kegiatan zikir saja. Pihak pemerintah, Bidang Kesatuan Bangsa Provinsi Gorontalo, telah melakukan pertemuan dengan kelompok itu, dan diperoleh informasi bahwa kegiatan yang dilakukan hanyalah bentuk kegiatan tasawuf.[14] Berbeda dengan kelompok Ladunna Ilman, kelompok ini diindikasi sempal oleh masyarakat karena memprektekkan zikir sambil berbaring di atas sajadah. Pemimpin kelompok ini mengaku berguru langsung dari Allah dan mampu bertemu dan duduk berhadapan langsung dalam kondisi mengawan (tidak rapat dengan tanah) dengan salah seorang Sunan dari Wali Songo, serta bersyahadat dengan menyebut nama pimpinan kelompoknya.[15]


[1] Drs. H. Sulaeman Tankonoo, wawancara tanggal       di Kantor Kemenag Kota Gorontalo.
[2] Drs. H.Syamsuddin, wawancara tanggal         di Kantor Badan Kesatuan Bangsa Porvinsi Gorontalo.
[3] Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Gorontalo.
[4] Wawancara tanggal    di Kantor Wilayah Kemenag Gorontalo
[5] Diskusi dengan beberapa Pengurus OSIS MAN Model Gorontalo
[6] Yordan Palu Raga, S.Ag. M.Pdi. wawancara tanggal   di MAN Model Gorontalo.
[7] Wawancara tanggal    di Kantor Wilayah Kemenag Provinsi Gorontalo.
[8] Pengamatan peneliti selama melakukan penelitian di Kota Gorontalo.
[9] Diskusi dengan 4 orang pengurus OSIS MAN Model Gorontalo.
[10] Ibid.
[11] Kepala Bagian Tata Usaha Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Gorontalo.
[12] Wawancara tanggal     di Kantor Wilayah Kemenag Provinsi Gorontalo.
[13] Ibid.
[14] Berita Acara Penyidikan Badan Kesantuan Bangsa Prov. Gorontalo terhadap Yayasan Syekh Maulana, tanggal 29 Juni  2012
[15] Drs.H.Syamsuddin, wawancara tanggal 29 Juni  di Kantor Badan Kesantuan Bangsa Prov Gorontalo. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT SULAWESI SELATAN

SISTEM KEKERABATAN ORANG BUGIS, MAKASSAR, MANDAR DAN TORAJA

SEKILAS SEJARAH MASUKNYA KRISTEN DI ALOR