MENELUSURI FILOSOFI HIKMAH BERKURBAN DALAM AL-QURAN



Oleh: Ahmad Mujahid


Dalam al-Quran, paling tidak, ada tiga kata yang menunjuk makna ibadah kurban, yaitu: Pertama, kata qurbaan. Kedua, kata az-zibh dan ketiga adalah kata an-nahr. Berikut uraian lebih lanjut beberapa ayat yang relevan dengan ibadah kurban berdasarkan ketiga istilah di atas. 


1. Pengurbanan Habil dan Qabil: Gerakan Menjadi Manusia Rabbani dan Pembebasan Diri Menjadi Manusia Setan


Di antara ayat yang relevan dengan pembahasan bagian adalah QS. al-Maidah/ 5: 27-31, sebagai berikut:
۞ وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَاَ ابْنَيْ اٰدَمَ بِالْحَقِّۘ اِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ اَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْاٰخَرِۗ قَالَ لَاَقْتُلَنَّكَ ۗ قَالَ اِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللّٰهُ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ لَىِٕنْۢ بَسَطْتَّ اِلَيَّ يَدَكَ لِتَقْتُلَنِيْ مَآ اَنَا۠ بِبَاسِطٍ يَّدِيَ اِلَيْكَ لِاَقْتُلَكَۚ اِنِّيْٓ اَخَافُ اللّٰهَ رَبَّ الْعٰلَمِيْنَ اِنِّيْٓ اُرِيْدُ اَنْ تَبُوْۤاَ بِاِثْمِيْ وَاِثْمِكَ فَتَكُوْنَ مِنْ اَصْحٰبِ النَّارِۚ وَذٰلِكَ جَزٰۤؤُا الظّٰلِمِيْنَۚ فَطَوَّعَتْ لَهٗ نَفْسُهٗ قَتْلَ اَخِيْهِ فَقَتَلَهٗ فَاَصْبَحَ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ فَبَعَثَ اللّٰهُ غُرَابًا يَّبْحَثُ فِى الْاَرْضِ لِيُرِيَهٗ كَيْفَ يُوَارِيْ سَوْءَةَ اَخِيْهِ ۗ قَالَ يٰوَيْلَتٰٓى اَعَجَزْتُ اَنْ اَكُوْنَ مِثْلَ هٰذَا الْغُرَابِ فَاُوَارِيَ سَوْءَةَ اَخِيْۚ فَاَصْبَحَ مِنَ النّٰدِمِيْنَ ۛ


Kata qurban yang terdapat pada kelompok ayat di atas, yakni awal ayat 27, dari sudut kebahasaan menunjuk kepada dua makna pokok yang berdekatan yaitu: 


Pertama berarti menyembelih hewan kurban. Kedua berarti mendekatkan diri kepada Allah. Kedua makna ini memiliki keterkaitan yang erat, yakni dengan mengatakan bahwa: “Menyembelih hewan qurban bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Alllah. Jadi ibadah kurban disyariatkan oleh Allah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. 
Dengan kata lain, syariat ibadah kurban adalah sarana memperoleh kedekatan diri kepada Allah Swt.


Kandungan ayat 27 surah al-Maidah di atas, mengemukakan perintah Allah kepada Nabi Muhammad Saw. agar beliau membacakan dan menceritakan berita tentang dua putra Adam dengan sebenar-benarnya berita. Kedua anak Adam yang dimaksud adalah Qabil dan Habil. Keduanya telah melaksanakan ibadah kurban. Qabil yang berprofesi sebagai petani berkurban dengan hasil pertanian. Sedangkan Habil yang berporfesi sebagai peternak mempersembahkan kurban dari hasil peternakan. 


Habil mempersembahkan binatang kurban yang terbaik, yakni domba yang paling besar, sehat dan gemuk. Berbeda dengan Qabil, dia mempersembahkan kurban dari pertanian yang paling jelek dan buruk. 


Dalam beberapa kitab tafsir dikemukakan latar belakang perintah berkurban disyariatkan kepada keduanya. Hawa sebagai ibu dari Qabil dan Habil, ketika melahirkan anak-anaknya selalu dalam keadaan kembar laki-laki dengan perempuan. Habil lahir dengan kembaran perempuan yang bernama Lubada. Sementara Qabil lahir dengan kembaran perempuan yang bernama Iqlima. Iqlima berparas cantik, sementara Lubada, kurang cantik. 


Keberadaan manusia di masa Adam, masih sangat terbatas, maka syariat pernikahan atau perkawinan yang berlaku adalah pernikahan silang antara anak-anak Adam yang selalu lahir kembar tersebut. Maka menurut syariat yang berlaku, Habil berhak menikahi Iqlima yang berparas cantik. Sementara Lubada yang berparas tidak cantik, dinikahi oleh Qabil. Aturan syariat pernikahan tersebut ditolak oleh Qabil. Qabil hanya ingin menikahi saudara kembarnya yang cantik yakni Iqlimah. Dia menolak menikahi Lubada. 


Oleh karena penolakan Qabil terhadap syariat pernikahan yang berlaku, maka Adam as. memberikan solusi atau jalan keluar, yaitu dengan cara mempersembahkan kurban kepada Allah Swt. Ketetapannya adalah siapa kurban yang diterima oleh Allah, maka dia yang berhak menikahi iqlima. Adapun tanda yang menunjukkan bahwa kurban keduanya diterima dan atau ditolak adalah ketika api dari langit menyambar kurban yang dipersembahkan, maka itu tanda diterima.


Ternyata, kurban Habil berupa hewan ternak yang paling baik, sehat, besar dan gemuk, yang disambar oleh api dari langit. Dengan demikian, kurban Habil diterima oleh Allah. Sementara kurban yang dipersembahkan Qabil dari hasil pertanian yang paling jelek kwalitasnya, tidak disambar oleh api dari langit. Dengan demikian, kurban Qabil ditolak oleh Allah Swt.


Jadi yang berhak menikahi Iqlima adalah Habil dan bukan Qabil.
Melihat kenyataan tersebut, Qabil menjadi marah kepada Habil. Dia iri hati, dengki dan dendam kepada Habil. Qabil berniat dengan tekad yang kuat untuk membunuh Habil. Qabil berkata kepada Habil: “Sungguh, aku pasti membunuhmu,” seperti ditunjuk oleh kalimat “laaqtulannaka,” pada ayat 27 surah ke 5 di atas. 


Penggunaan huruf “lam dan nun” pada kalimat “laaqtulannaka,” mengisyaratkan makna bahwa Qabil bersungguh-sungguh, bertekad kuat dan pasti melakukan pembunuhan kepada saudaranya Habil. Dipahami demikian, karena kedua huruf tersebut menunjuk makna taukid yang berarti penguatan dan atau kesungguhan. 
Habil yang mendengarkan rencana Qabil yang demikian matan, penuh amarah, dengki dan dendam untuk membunuhnya, ia berkata kepada Qabil, bahwa: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang-orang yang bertakwa.” 


Menurut penulis, respons Habil yang tampak pada perkataannya, sesungguhnya berisi nasehat kepada Qabil. Habil berkata sambil menasehati Qabil bahwa ditolaknya kurban yangk engkau persembahkan tidak disebabkan oleh saya. Akan tetapij disebabkan karena tidak ada ketakwaan yang melandasi ibadah kurban yang engkau persembahkan wahai saudaraku. Oleh karena itu, keliru dan tidak pantas, engkau menyalahkan diriku. Lebih tidak pantas lagi, engkau membunuhku.


Lebih lanjut Habil berkata kepada Qabil; “namun apabila kamu tetap ingin membunuhkan dengan menggerakkan tanganmu kepadaku,  aku tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Oleh karena, sungguh aku takut kepada Allah, Tuhan semesta alam.” 
Dari perkataan dan respon Habil tersebut, dapat dipahami bahwa Habil adalah manusia yang beramal ibadah berlandaskan iman yang telah mencapai derajat takwa. Misalnya Habil mempersembahkan kurban berlandaskan ketakwaannya kepada Allah. Dengan kata lain, kebajikan sosial yang ia lakukan didasari oleh ketakwaan kepada Allah. Selain itu, Habil adalah sosok manusia yang  tidak ingin membalas perbuatan kejahatan dengan kejahatan yang serupa. Habil lebih memilih bersifat sabar dan tidak membalas. Oleh karena Habil adalah manusia yang takut kepada Allah, seperti ia sendiri tegaskan pada penutup ayat 28 surah ke 5 di atas.  


Habil kembali menasehati Qabil, dengan berkata; bahwa apabila engkau tetap melaksanakan tekadmu untuk membunuhku, maka pasti engkau kembali kepada Allah Swt. dengan membawa dan memikul dosa besar karena telah membunuhku. Selain itu, pundakmu akan memikul dosa-dosamu yang lain. Akibatnya engkau pasti menjadi penghuni neraka. Oleh karena engkau tergolong kelompok orang yang dhalim. Perkataan ini ditegaskan dalam ayat 29 surah al-Maidah di atas. 


Namun perkataan Habil yang berisi nasehat dan sekaligus peringatan tidak digubris oleh Qabil dan tidak memberi pengaruh sedikit pun kepadanya. Oleh karena itu, Qabil yang telah dikuasai oleh hawa nafsunya tetap melaksanakan niat dan tekadnya yang kuat untuk membunuh saudaranya. Maka, Qabil pun benar-benar membunuh Habil. Dengan perbuatan Qabil yang demikian, maka dia digolongkan termasuk orang-orang yang rugi (QS. al-Maidah/ 5: 30).


Setelah Qabil membunuh Habil, Qabil mengalami kebingungan. Dia tidak tahu, apa yang mesti ia lakukan terhadap jasad Habil yang telah menjadi mayat. Menurut riwayat Mujahid, seperti tertulis dalam tafsir at-Thabariy, bahwa Qabil telah memikul jasad Habil selama seratus tahun. Terkadang Qabil meletakkan jasad Habil, terkadang juga ia memikulnya. Kebingungan Qabil yang demikian, sungguh menggambarkan kebodohannya. Dalam kebingungan yang demikian parah, Allah kemudian mengirim seekor burung gagak sebagai guru Qabil. Burung itu menggali tanah, untuk menguburkan gagak lain yang telah mati. Burung gagak memperlihatkan kepada Qabil bagaimana cara menguburkan sesuatu yang telah menjadi mayat. Setelah Qabil melihat perbuatan burung gagak, dia pun mencontohinya. Qabil pun menggali tanah untuk menguburkan Habil yang telah dia bunuh. Hal ini tergambar dari perkataan Qabil, yakni: “Celakalah aku! Mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini sehingga aku dapat mengubur mayat saudaraku?” Qabil pun menjadi orang-orang yang menyesal, karena kebodohannya.


Demikianlah informasi yang terkandung dalam ayat 31 surah al-Maidah. 
Terkait dengan keberadaan burung gagak sebagai guru Qabil, pertanyaan yang menarik diajukan adalah mengapa burung gagak yang bulunya berwarna hitam gelap dan bukan burung lainnya yang diutus Allah kepada Qabil? Menurut penulis, salah jawaban atas pertanyaan ini adalah bahwa burung gagak yang seluruh bulunya hitam, masih lebih baik dari manusia seperti Qabil. Dikatakan demikian, karena hati Qabil lebih hitam dari bulu burung gagak. Buktinya ia dikirim oleh Allah sebagai “guru” bagi Qabil. Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia banyak memperoleh ilmu dan mengembangkan kemampuan intelektualnya dalam rangka mengembangkan kehidupannya, justru belajar dari perilaku hewan, tumbuhan, dan fenomena alam lainnya.


Selain itu, burung gagak yang kepadanya dianugrahi nafsu, namun burung gagak tidak pernah membuat hukum sendiri untuk mengatur hubungan dengan sesama burung gagak. Burung gagak hanya mengikuti aturan hukum yang telah ditetapkan Allah kepada kalangan burung gagak. Termasuk cara menguburkan burung gagak yang sudah mati. 


Berbeda dengan manusia yang juga dianugrahi nafsu dan akal. Namun manusia senang membuat aturan-aturan hukum berlandaskan hawa nafsunya dan menentang aturan hukum yang telah ditetapkan Tuhan Penciptanya. Padahal ketetapan hukum Tuhan pasti benar, baik dan sesuai dengan kepentingan dan keadaan manusia. Seperti apa yang dilakukan oleh Qabil ketika menentang aturan syariat tentang pernikahan silang. Qabil menolak hukum pernikahan silang dan membuat hukum pernikahan yang dia inginkan demi kepentingannya.


Terkait dengan kisah Qabil dan Habil, yang diperintahkan Allah kepada Muhammad Saw. untuk diceritakan kepada umat manusia, Rasulullah Saw. pernah bersabda yaitu: كن كخير ابني ادم yang berarti; “jadilah kamu seperti salah satu dari dua putra Adam yang baik. Sabda beliau ini diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal, Abu Dawud dan Ibnu Hibban. 


Menurut penulis, sabda Rasulullah Saw. tersebut, menegaskan kepada kita, agar mampu mengambil pembelajaran dan hikmah dari kisah Qabil dan Habil. Sabda beliau tersebut, jelas menegaskan urgentitas gerakan mencontohi dan meneladani sosok yang terbaik dari kedua anak Adam tersebut. Oleh karena itu, penulis akan mengemukakan.matrix perbandingan kedua sosok anak Adam tersebut berdasarkan uraian kandungan ayat-ayat dalam surah al-Maidah yang telah diuraikan di atas. Berikut perbandingannya. 


a) Qabil adalah sosok manusia yang menolak dan tidak taat kepada syariat Allah. Sementaraj Habil adalah sosok yang ridha menerima dan mentaati syariat Allah. Di antara syariat yang ditolak Qabil dan diterima Habil adalah syariat pernikahan silang yang diberlakukan pada masa kehidupan keduanya. 


b) Qabil adalah sosok yang berfokus pada kenikmatan-kenikmatan dhahir dan pencinta perhiasan-perhiasan dunia. Buktinya ia hanya ingin menikahi perempuan cantik meskipun itu bertentangan dengan syariat Allah. Sebaliknya ia menolak menikahi perempuan yang buruk rupa, meskipun itu sesuai dan diperintahkan oleh syariat Allah. 
Berbeda dengan Habil, tidak hanya berfokus pada kecantikan dhahir. Akan tetapi beliau hanya mengikuti ketetapan syariat Allah. Buktinya Habil masih saja mau dan ridha mengikuti syariat berkurban dan tidak mengingkarinya, sebagai solusi atas penolakan Qabil menikahi Lubada dan ingin menikahi Iqlima. Kurban siapa yang diterima, maka dia dianggap berhak menikahi Iqlima yang cantik. Padahal sebelumnya, telah ditetapkan bahwa yang berhak menikahi Iqlima adalah dirinya. 


Kesediaan Habil mengikuti “sayembara berkurban” mengisyaratkan makna bahwa dirinya rela tidak menikahi Iqlima, apabila persembahan ibadah kurbannya ditolak. Di sisi lain, Qabil, dengan adanya “sayembara berkurban,” sebagai solusi atas penolakannya terhadap syariat penikahan silang, maka bagi Qabil masih terbuka peluang dan atau memiliki kesempatan, keinginannya dapat terpenuhi untuk menikahi Iqlima. Padahal sebelumnya syariat telah melarangnya. 


c) Qabil adalah manusia yang kalbunya dipenuhi dengan penyakit-penyakit hati, seperti kikir, iri hati, dengki, dendam dan merasa lebih baik dari orang lain serta sombong dan angkuh. Berbagai karakter buruk ini telah menghitamkan dan menggelapkan hatinya, melebihi hitam dan gelapnya bulu-bulu burung gagak. Berbanding terbalik dengan Habil. Dia adalah manusia yang hatinya terbebas dari kotoran-kotoran batin. Hati Habil berkwalitas hati Nurani bukan hati dhulmani seperti Qabil. Buktinya Habil bersifat dermawaan, terbebas dari sifat kikir dan mementingkan diri sendiri. Beliau merdeka dari kotoran dan kegelapan sifat iri hati, dengki dan dendam apalagi keangkuhan dan kesombongan.


d) Qabil adalah manusia yang minus ketakwaan kepada Allah. Sementara Habil adalah tergolong manusia takwa kepada Allah. Takwa bagi Habil telah menjadi pandangan dunia kemuliaannya. Bagi Habil, takwa telah menjadi landasan kebajikan dan kesalehan sosial-masyarakatnya. Selain itu takwa bagi Habil telah menjadi bekal kehidupannya yang utama dan terbaik. Bagi Habil, takwa telah menjadi cita-cita tertinggi dalam hidup dan kehidupannya untuk dicapai dan diraih. Semua implimentasi takwa ini tidak ditemukan dalam diri dan kehidupan Qabil. 


e) Qabil adalah manusia yang dikuasai oleh hawa nafsunya. Dengan demikian, akalnya terkalahkan, hatinya terhijab dari kebenaran. Jiwanya terkotori, ketaatannya sedikit atau minus (baca: untuk tidak mengatakan tidak ada). Kemaksiatannya banyak dan panca indranya diliputi dengan kegelapan.  


Sementara Habil mampu mengendalikan dan menguasai hawa nafsumya. Dengan begitu akalnya menang, hatinya terbuka dan sangat lapan menerima kebenaran. Bahkan hati Habil mampu menemukan hikmah yang tersembunyi dalam kebatilan sekalipun.   


f) Qabil adalah manusia pertama yang melakukan pembunuhan. Dia pewaris kejahatan kepada seluruh umat manusia sesudahnya. Dia adalah pelaku dosa dan kemaksiatan. Kejahatannyalah yang menjadi ikutan pelaku kejahatan dan dosa sesudahnya. Berbanding terbalik dengan Habil. Beliau menolak melakukan gerakan pembunuhan, meskipun telah diancam untuk dibunuh oleh Qabil. Habil terbebas dari dosa-dosa, baik kecil apalagi besar. Kontraproduktif dengan Qabil yang tenggelam dalam dosa-dosa, baik dosa besar apalagi dosa-dosa kecil.


g) Qabil adalah dikategorikan manusia dhalim, manusia perugi, tergolong manusia bodoh dan dipenuhi dengan penyesalan. Qabil menjadi ashab an-nar (penghuni neraka) yang pertama. Sementara Habil terbebas dari semua kwalitas-kwalitas religius negative tersebut. Sebaliknya Habil berenang, menyelam dan menenggelamkan diri pada lautan karakter dan kwalitas spiritual religius positif.


Bertolak dari beberapa poin perbandingan karakter dan prototype Qabil dan Habil yang dikemukakan di atas, maka Habil dapat dikategorikan sebagai prototype manusia rabbani. Sementara Qabil adalah manusia yang berprototype setani, oleh karena itu, gelaran yang tepat bagi Qabil adalah manusia setan. Qabil dengan berbagai karakter yang membentuk prototype kediriannya sungguh memiliki banyak keserupaan dengan iblis dan setan. 


Bukankah iblis juga penentang syariat Allah? Iblis menentang perintah Allah untuk sujud kepada Adam. Bukankah Iblis senantiasa merasa lebih baik dari Adam? Oleh karena itu dia tidak mau sujud kepada Adam meskipun yang perintahkan adalah Allah. Bukankah Iblis iri hati, dengki dan dendam kepada Adam? Buktinya iblis, tidak mengingingkan Adam dan anak keturunannya memperoleh kenikmatan surgawi. Iblis bertekad melakukan gerakan penyesatan terhadap manusia. Tujuannya adalah agar manusia bersama-sama dengannya dalam kesensaran abadi di dalam neraka.


Titik keserupaan antara Qabil dan iblis, tampak jelas dari sisi hawa nafsu yang dijadikan sebagai raja dan penguasa atas dirinya. Qabil yang dikuasi oleh hawa nafsunya merupakan bukti bahwa ia memiliki konektifitas yang sangat kuat dengan iblis. Bukankah senjata utama dan alat terkuat iblis pada diri manusia adalah hawa nafsu manusia? Oleh karena Qabil dikuasai oleh hawa nafsunya, maka ia adalah pengikut setia dari pada iblis dan setan. 


Dalam al-Quran memang ditegaskan bahwa terdapat golongan yang menjadi manusia setan dan juga jin setan, seperti ditegaskan dalam QS. al-An’am/ 6: 112:
وَكَذٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيٰطِيْنَ الْاِنْسِ وَالْجِنِّ يُوْحِيْ بَعْضُهُمْ اِلٰى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوْرًا ۗوَلَوْ شَاۤءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوْهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُوْنَ


Kandungan ayat 112 ini menegaskan di antara musuh setiap nabi dan rasul Allah adalah manusia setan dan juga jin setan. Mereka adalah manusia yang berkarakter iblis dan setan. Mereka yang menjadi pasukan pewaris dan penyebar kejahatan, kemungkaran, permusuhan, kedurhakaan di muka bumi. Bukankah semua itu adalah program utama Iblis ketika diturunkan ke bumi, yakni untuk menyesatkan manusia sebagai anak keturunan Adam. Demikianlah, dengan jelas tergambar permusuhan Iblis terhadap Adam bersifat abadi dan tidak akan pernah mencapai kedamaian. 


Oleh karena itu, Allah memerintahkan agar iblis, setan, sekutunya yakni manusia setan dan jin setan mesti dijauhi dan ditinggalkan dalam kebatilan dan kesesatan mereka, seperti dikemukakan dalam klausa penutup ayat 112 di atas. Apabila kandungan klausa penutup ayat ini diperpautkan dengan perintah Rasulullah Saw. agar menjadi pengikut salah satu keturunan Adam yang terbaik, maka penulis dapat tegaskan bahwa Qabil dengan berbagai karakter buruknya mesti dan wajib dijauhi dan ditinggalkan. Oleh karena Qabil adalah manusia yang berprototype iblis atau setan. 


Sebaliknya Habil dengan berbagai karakter dan kwalitas spiritualnya yang mulia dan tinggi, seperti telah diuraiakan di muka, maka seyogyanya ia mesti dan wajib dicontohi dan diteladani oleh seluruh manusia, khususnya orang-orang beriman. Oleh karena Habil adalah prototype manusia Rabbani. 


Dalam al-Quran dikemukakan prototype manusia Rabbani, yakni dalam QS. Ali Imran/ 3: 79, sebagai berikut:
مَا كَانَ لِبَشَرٍ اَنْ يُّؤْتِيَهُ اللّٰهُ الْكِتٰبَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُوْلَ لِلنَّاسِ كُوْنُوْا عِبَادًا لِّيْ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ وَلٰكِنْ كُوْنُوْا رَبَّانِيّٖنَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُوْنَ الْكِتٰبَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُوْنَ ۙ


Kandungan ayat 79 ini, mengemukakan perintah Allah, yakni menjadi kelompok manusia yang digelari sebagai “rabbaniyun.” Lalu siapa yang dimaksud manusia rabbaniyun? 


Kalau gelaran “rabbaniyun” dikaitkan dengan asal katanya yakni berakar pada kata “rabb” yang menunjuk makna asal, yaitu; “menumbuhkan suatu keadaan menuju kepada kesempurnaan sedikit demi sedikit hingga mencapai kesempurnaan yang puncak.” Maka dari makna asal ini, penulis memahami bahwa: 

"Seorang “rabbaniyuun” adalah seseorang yang mendidik dirinya secara bertahap untuk meraih puncak pendidikan dan atau keterdidikan. 
Adapun puncak kesempunaan pendidikan adalah mereka yang mengilmui dan memahami ayat-ayat Allah baik yang tertulis (wahyu al-Quran) maupun ayat-ayat yang tergambar (ayat-ayat kauniyat atau alam semesta). Dengan keilmuaan yang demikian, mereka memperoleh hikmah dan memperoleh kebajikan yang banyak. Di antara bentuk hikmah yang dimaksud adalah kemampuan memakrifati Allah. Tunduk, patuh dan taat kepada-Nya dengan penuh kecintaan. 


Dalam konteks beragama, seorang Rabbaniyuun adalah mereka yang menghidupkan agama dalam diri dan kehidupannya secara sempurna, tidak berhenti pada pengakuan iman saja, tetapi tanpa islam apalagi ihsan. Akan tetapi seorang rabbaniyuun adalah mereka yang mukmin plus muslim dan plus muhsin. 
Dengan perkataan lain, keimanan, keislaman dan keihsanannya telah merasuk kedalam kalbunya secara bersamaan dan mencahayai seluruh aktivitas, diam dan gerakannya, serta terwujud dalam moralitas akhlak yang agung. Kwalitas seperti inilah yang menjadi puncak cita-cita, harapan dan pencapaian orang-orang yang bertakwa yang sesempurna-sempurnanya takwa (haqqa tuqaatihi). 


Quraish Shihab mendefinisikan “rabbaniyuun” dengan makna mereka yang semua aktivitas, gerak, langkah, niat, ucapannya sesuai dan sejalan dengan nilai-nilai Allah Swt. yang Maha Pendidik dan Pemelihara.


Sementara Ath-Thabarsi mengemukakan beberapa pendapat tentang makna ar-Rabbaniyuun, yaitu: 1) kaum fuqaha; 2) ahli agama dan sekaligus ahli hikmah; 3) orang-orang yang bertakwa kepada Allah; 4) kelompok orang yang memikirkan mashlahat dan bermanfaat serta memberikan kebajikan dan kesalehan sosial masyarakat dan 5) adalah para pengajar, pendidik, pembimbing masyarakat untuk senantiasa membumikan syariat-syariat Allah. 


Apabila makna rabbaniyun dan berbagai karakteristiknya, yang telah dikemukakan di atas, diperpautkan dengan berbagai karakteristik dan kwalitas religius-spiritual Habil, seperti telah dikemukakan di muka, maka menurut penulis, tidak diragukan lagi bahwa Habil adalah manusia yang berkarakter dan berprototype “rabbaniyun.” Sementara Qabil, sama sekali tidak memenuhi karakter dan prototype rabbaniyun meskipun hanya satu. Oleh karena itu, tidak ada alasan lagi, untuk tidak meneladai dan mencontohi Habil. Dengan gerakan demikian, maka diharapkan dalam kehidupan kita di dunia ini, dapat ditemukan manusia-manusia Habil, bukan manusia-manusia Qabil. 


Demikianlah, harapan dan cita-cita yang hendak diraih dari pada ibadah kurban tahun ini serta tahun-tahun akan datang, termasuk tahun-tahun yang telah lewat.
Namun, apabila kedua prototype manusia dan kemanusiaan ini dihubungankan dalam era kekiniaan, maka dapat dikatakan bahwa betapa sulitnya ditemukan sosok Habil di kehidupan modern dan pasca modern, termasuk di negari Indonesia yang tencinta ini. 


Habil adalah manusia pertama yang melakukan perang dan pembebasan dari segala bentuk kehidupan yang berorentasi materialistik-hedonistik dan liberalistik-sekuralistik. Habil adalah seorang sosialis transendental-religius yang telah melakukan dan menegakkan gerakan sosial transendental-takwa dalam kehidupan sosial-masyarakat dalam bentuk kebajikan-kebajikan dan kesalehan-kesalehan sosial berlandaskan ketakwaan kepada Allah. 


Sebaliknya prototype manusia Qabil sudah sangat mudah ditemukan dalam kehidupan kekinian, bahkan dapat dikatakan bahwa mayoritas penghuni dunia ini, termasuk di negeri Indonesia yang kita cintai ini adalah manusia-manusia Qabil. Seperti dapat dilihat dan dirasakan, kebanyakan manusia modern dan pasca modern, orentasi hidupnya adalah materialistik-hedonistik dan liberalistik-sekulalistik.


Lebih mengerikan dan mengkhawatirkan lagi adalah manusia yang berprototype Qabil  merupakan penguasa-penguasa dunia sekarang yang korup dan serakah serta pelaku pembunuh manusia dan nilai-nilai kemanusiaan dalam arti yang seluas-luasnya. Tegasnya dunia yang kita huni sekarang ini di bawah kekuasaan manusia Qabil. Dunia kehidupan ini, sedang dan sudah terjebak dan berjalan menuju titik nadir kehancuran, kerusakan dan bahkan kematian sosial atau dehumanisasi. (bersambung)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT SULAWESI SELATAN

SISTEM KEKERABATAN ORANG BUGIS, MAKASSAR, MANDAR DAN TORAJA

SEKILAS SEJARAH MASUKNYA KRISTEN DI ALOR