LAUTAN: GURU INTELEKTUALKU

Ahmad Mujahid

Di kala cuaca cerah, penulis dan  beberapa saudara lainnya biasa berendam di laut. Dalam sepekan bisa 3 sampai 4 kali. Sambil berendam kita berbincang banyak hal, termasuk wacana yang relevan dengan intelektualitas. Suatu saat penulis ajak mereka membaca hikmah ilahi dari lautan. Saya berkata; perhatikan ombak besar itu, dia tak bersuara kecuali ia berada di kendakalan. Kita tidak mendengar suara deru ombak terdengar kecuali di pinggiran laut dan airnya tentu dangkal. Di tengah lautan jarang sekali kita mendengar suara deru ombak, padahal boleh jadi ombaknya besar namun tidak menghasilkan suara. Ombak besar itu berlalu begitu saja, tanpa suara. 

Dalam perjalanan lewat laut dengan kapal laut kira-kira tahun 1997, di tengah samudra, kulihat dan kubaca air laut begitu tenang dan diam tanpa ombak yang berarti. Lautan yang demikian dalam memberikan ketenangan, kedamaian dan rasa aman bagi penulis dan seluruh penumpang kapal laut. 

Dua fenomena lautan tersebut, menjadi guru intelektual penulis. Keduanya mengajarkan hikmah yang dalam, antara lain; Lautan yang tenang dan dalam, lebih banyak diam tidak mengeluarkan suara meskipun di dasar lautan arusnya deras. Berbeda dengan air laut yang dangkal di pinggiran laut, suara deru ombaknya sangat jelas terdengar. 

Terkait dengan pembacaan penulis tentang lautan dalam dan pinggir laut, yang dsebutkan di atas, dari sudut intelektualitas sejalan dengan nasehat hikmah dari kaum ulama atau ahli ilmu, seperti perkataan mufti Syafiyah di Makkah, yakni Syekh Said al-Yamani, yaitu: "iza zaada nadzrur rajuli wattasa'a fikruhu qalla inkaruhu alan naas." Artinya jika seseorang bertambah ilmunya dan luas cakrawala pemikiran dan pandangannya, maka ia akan sedikit menyalahkan orang lain. 

Kalimat hikmah yang senada mengatakan: "man katsura ilmuhu qalla inkaaruhu wa qalla ilmuhu katsura inkaruhu."  Artinya; " barangsiapa yang banyak ilmu maka sedikit keingkarannya (terhadap pendapat yang berbeda dengannya). Sebaliknya barang siapa yang sedikit ilmunya, maka banyak pengingkarannya (terhadap pendangan yang berbeda dengannya).

Kedua kata hikmah di atas mengajarkan kepada penulis, untuk belajar dan terus belajar, hingga mencapai suatu titik di mana penulis lebih banyak terdiam untuk mendengar dan merenung. Berbiarkan mulut banyak terkunci dan diam, mempertajam pendengaran dan membiarkan kalbu tenggelam dalam renungan yang dalam. Dengan cara seperti itu, insya Allah penulis tidak jatuh dan terjebak pada kebiasaan banyak mengingkari pendapat orang lain dan atau mazhab tertentu, apalagi menyesatkan dan mengakfirkannya. 

Contohnya, ketika dalam interaksi intelektual.yang penulis jalani, banyak orang berkata bahwa Syiah dan Sunni berbeda aqidahnya. Rukun imannya berbeda satu sama lain. Al-Quran orang sunni berbeda dengan orang syiah. Demikian pula dalam persoalan fighiyah. Penyikapan penulis terkait semua itu, tidak dengan cara langsung menyalahkan dan menyesatkan salah satu dari keduanya. Misalnya karena saya sunni maka syiah sesat. Begitu pula sebaliknya karena saya syiah maka sunni sesat. Akan tetapi tetap berdiri tegak dalam kesunnian saya namun tidak menutup diri dari mazhab pemikiran syiah. Maka saya mesti belajar tentang syiah.untuk menguatkan kesunnian saya sendiri.

Misalnya dalam bidang hadis. Saya belajar kitab hadis syiah seperti kitab al-Kafi sebagaimana saya belajar kitab hadis sunni seperti kitab Bukhariy dan Muslim. Kemudian mencari titik temu kedua kitab hadis yang berbeda mazhab tersebut. Walhasil penulis menemukan banyak kesamaan riwayat meskipun tidak sedikit yang berbeda dan itu sangat wajar. Akan tetapi yang mencenangkan penulis adalah bahwa baik Imam Bukhariy maupun Imam Muslim banyak meriwayatkan hadis dari perawi-perawi yang bermazhab syiah. Dengan kata lain, di antara jalur sanad dalam.shahih Bukhari dan Muslim, terdapat periwayat yang bermazhab syiah. Maka apabila kita berkeras bahwa mazhab Syiah itu sesat, itu berarti riwayat hadis imam Bukhari dan Muslim tidak dapat diterima alias tertolak karena keduanya terbukti meriwayatkan hadis.orang yang bermazhab syiah, yang dianggap sesat. 

Demikian pula dalam persoalan figh. Seperti telah diketahui bahwa di sunni dikenal ada 4 mazhab fighi, yakni mazhab Ahmad bin Hambal. Pendiri mazhab ini berguru kepada Imam Idris asy-Syafiiy sebagai pendiri mazhab Syafiiyah. Sementara Imam.asy-Syafiy adalah murid dari Imam Malik, pendiri mazhab Malikiy. Dan imam malik berguru kepada imam Abu Hanifah sebagai.pendiri.mazhab Hanafiah. Dengan perkataan lain, pendiri keempat mazhab fighiyah di sunni, keempat-keempatnya memiliki relasi murid dan guru. Hal yang paling menarik adalah ternyata guru sekaligus pendiri mazhab pertama di sunni, yakni imam Abu Hanifah merupakan murid dari Imam Ja'far Shadiq, pendiri mazhab Ja'fari, sebagai mazhab fighi di kalangan syiah. Dari sini penulis ingin tegaskan bahwa dalam kajian figh terdapat relasi yang  kuat antara sunni dan syiah. 

Abu Hanifah berkata: "Kalau tidak karena dua tahun belajar bersama ash-Shadiq maka binasalah Nu'man (Abu Hanifah)"  Allusi menjelaskan perkataan Abu Hanifah dengan berkata:  "inilah Abu Hanifah, dari ahlu sunnah, berbangga diri dan berkata dengan bahasa yang sangat jelas dan gamblang bahwa jika tidak ada dua tahun itu, maka binasalah Nu'man. Yang dimaksud dengan dua tahun adalah masa di mana Abu Hanifah menuntut ilmu dari Imam Ja'far ash-Shadiq.

Dalam konteks keindonesiaan, pakar tafsir yang tidak diragukan keahliannya, demikian pula kedalaman ilmu dan kemampuan intelektualnya yakni Quraish Shihab, telah menjadikan kitab tafsir " al-Mizan fi Tafsir al-Quran".karya Husain Thabaththabaiy, seorang ulama tafsir bermazhab Syiah, merupakan salah satu ulama tafsir yang banyak dikutip pandangannya oleh Quraish di dalam karya Tafsirnya yakni tafsir al-Misbah. Menurut penulis, Quraish bukan syiah, meskipun banyak orang menuduhnya demikian. Berbagai tudingan dan tuduhan negatif yang demikian, tidak menyebabkan dia menutup diri dari pemikiran mazhab Syiah.

Tokoh Pemikir muslim indonesia yang bermazhab aswajah atau ahli sunnah wal jamaah, namun ia merespons positif pemikiran mazhab yang berbeda dengannya, misalnya mazhab syiah, yakni Gus Dur. Beliau pernah berkata bahwa "NU adalah Syiah tanpa Imamah." Dari pernyataan Ketua Umum PBNU tersebut dapat dipahami bahwa.pemikiran-pemikiran orang-orang NU tidak jauh berbeda dengan mazhab syiah. Bedanya hanya satu yakni persoalan imamah. Oleh karena itu, sangat berani tegaskan bahwa tradisi keagamaan yang hidup di kalangan NU itu juga hidup di Syiah. Misal tradisi ziarah ke makam para wali, acara maulidan, acara asyurah dan lain-lain. Hanya saja penulis tidak tahu siapa yang dipengaruhi dan siapa yang memberi pengaruh. Pastinya tradisi keagamaan keduanya sama bahkan identik dan tak berbeda.

Demikianlah beberapa tokoh pemikir Indonesia, maupun selain indonesia yang patut diteladani dan dicontohi dalam menyikapi berbagai perbedaan furuiyah. Mereka semua telah berada pada kedalaman lautan intelektual-spiritual, maka mereka akan lebih banyak diam merenungkan arus gelombang pendakian spiritual yang besar dan tinggi. Dia tenang menenangkan dan damai mendamaikan. Apa pun yang ditujukan kepadanya, apa itu suara-suara protes ataukah persetujuan dan sanjungan, sama sekali tak memberikan bekasan pengaruh. Dia konsisten menenggelamkan diri dalam lautan keyakinan yang begitu mendalam. Dia kokoh berdiri tegak bagaikan huruf "Alif."

Sebagai closing statemen, penulis lebih lanjut ingin berkomentar secara subyektif terhadap sosok Gus Dur, yang tidak sedikit orang menyesatkannya, karena pikiran-pikirannya yang kontroversial. Akan tetapi, bagi penulis, sosok Gus Dur adalah Guru umat Islam dan Guru bangsa Indonesia. Bahkan Guru kemanusian dan Guru Rahmatan lil alamiin. Lihat saja, bagaimana ia menenangkan bangsa ini dan menghalangi terjadinya perpecahan. Ketika beliau dilenserkan dari kusri kepresidenan, beliau tenang-tenang saja, dan diam tak bergejolak. Padahal Gus Dur sangat bisa bertahan dalam istana dengan dukungan masyarakat indonesia, khusus warga NU dan juga penganut agama-agama lainnya. Namun Gus Dur tidak menerima alias menolak dukungan sosial-politik tersebut. Hanya dengan satu alasan, yaitu Gus Dur tidak ingin bangsa ini terjatuh dalam perang saudara yang saling membunuh. Menurut penulis, Gus Dur telah mencontohi prilaku Imam Hasan ketika ia rela turun dari jabatan kekhalifaan setelah ayahnya yakni Ali bin Abi Thalib terbunuh. Imam Hasan kemudian menyerahkan kursi kekhalifahan kepada Muawiyah bin Sofyan demi mencegah perpecahan umat. Imam Hasan lebih mengedepankan persatuan umat dari pada kekuasaan politik.

Menurut saya, apa yang terjadi pada Gus Dur, hanya dapat disikapi dengan begitu tenang dan damai oleh orang yang memiliki kedalaman lautan intelektual-spiritual yang mempuni atau hanya politikus yang berpandangan dunia religius-spiritual transendental ilahi. Hal lain yang menarik dari Gus Dur, pernyataannya ketika menghadapi pertayaan yang bernada protes, beliau sering kali.berkata: "BEGITU SAJA REPOT." Menurut penulis, perkataan Gus Dur tersebut menggambarkan bahwa Gus Dur orang yang telah selesai dengan dirinya sendiri. Sanjungan dan protes sama sekali tak berpengaruh lagi. 

Jika ingin damai, tenang di tengah-tengah perselisihan dan perbedaan pendapat dan terbebas dari bahaya takfiri, maka menyelamlah sedalam-dalamnya ke dalam lautan ilmu dan iman. Dengan begitu, engkau mampu tersenyum lebar menyaksikan berbagai dan aneka ragam pendapat. Oleh karena, engkau mampu mengerti alasan-alasan yang mendasari setiap pendapat yang ada. Maka dari itu, jangan pernah berhenti belajar, menyelam dan menenggelamkan diri di dasar lautan ilmu dan iman. Wa Allah A'lam. 

Makassar 20 Januari 2022.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT SULAWESI SELATAN

SISTEM KEKERABATAN ORANG BUGIS, MAKASSAR, MANDAR DAN TORAJA

SEKILAS SEJARAH MASUKNYA KRISTEN DI ALOR