Oleh: Badruzzaman Pat Badrun
Identitas merupakan sebuah konsep yang selalu disematkan pada setiap individu. Identitas sangat penting, karena darinya dapat dibedakan antar satu individu dengan individu yang lain. Atas kepentingan ini maka pemerintah mewajibkan setiap warganya untuk memiliki bukti identitas, seperti KTP, SIM atau Passport.
Identitas sejatinya merupakan
refleksi diri seorang individu. Ia merupakan sebuah hasil dari proses individu
melihat kembali dirinya lalu mengidentifikasikan diri pada suatu genius
(kelompok) tertentu, seperti jenis kalamin, usia, profesi, suku, budaya, agama,
bahkan perilaku. Identitas
merupakan cerminan diri yang berasal dari keluarga, gender, budaya, etnis, dan
proses sosialisasi. Ia merupakan hasil dari proses seorang individu
mendefinisikan diri sebagai seseorang yang berbeda dalam perilaku, sikap dan
keyakinan.
Ragam Identitas
Penyematan identitas kepada
seseorang biasanya berdasarkan biologis, budaya, dan sosial. Jadi terdapat tiga
ragam identitas, yaitu identitas biologis, identitas budaya, dan identitas
sosial. Penyematan identitas biologis, dapat berupa jenis kelamin (laki-laki
dan wanita) dan usia (bayi, anak, pemuda, dewasa). Penyematan ini cenderung
menetap, perubahan terjadi ketika kondisi fisik individu berubah.
Identitas budaya, merupakan proses identifikasi
seorang individu pada budaya tertentu. Pengaruh budaya turut mempengaruhi identitas
pribadi seseorang, yang membedakannya dengan orang lain. Identitas
budaya merupakan rincian ciri-ciri sebuah kebudayaan yang dimiliki oleh
sekelompok orang melalui tatanan berpikir, berperasaan, dan bertindak. Ia dapat
diamati melalui cara dan orientasi berpikir, cara dan orientasi perasaan, dan
motivasi dan orientasi bertindak. Antara lain yang digolongkan identitas budaya
adalah agama, etnis, suku, dan bangsa. Orang Indonesia memiliki budaya komunal
yang kuat. Mereka dominan mempertimbangkan kepentingan keluarga dan komunitas-nya
yang lebih dalam bersikap dan berperilaku, seperti gotong royong, kerja sama,
ikatan kekeluargaan. Sementara orang Eropa dan Amerika dikenal memiliki budaya individualistis.
Masing-masing individu cenderung tidak mau terlibat pada bentuk perilaku dan
sikap orang lain.
Sementara identitas sosial merupakan
hasil persepsi seseorang sehingga ia mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian
dari anggota suatu kelompok. Menurut Michael A Hodd dan Dominic Abrams (1998:
16), bahwa konsep identitas sosial bertumpu pemaknaan-nya pada kategori sosial yang terdapat di dalam
ruang tertentu (ruang hubungan status dan kekuasaan). Aspek kategori sosial biasanya
berhubungan dengan kewarganegaraan, kelompok orang yang memiliki jenis
pekerjaan tertentu (profesi), dan kelompok penganut agama tertentu (agama), dan
sebagainya. Aspek kategori sosial ini biasanya muncul dalam bentuk “klaim
dominasi”.
Sementara aspek kekuasaan mengacu pada fakta bahwa
beberapa warga negara, pemilik profesi tertentu, atau penganut agama tertentu
memiliki kekuasaan besar, prestise, dan status yang tinggi dibanding dengan warga
negara, pemilik profesi atau penganut agama yang lain. Tajfel dan John Tuneer
(1970-1980) menggunakan teori ini untuk menggabarkan gejala sosial yang berkaitan dengan identitas sosial,
seperti perbedaan status kelompok, legitimasi, dan tingkat stabilitas yang
diakibatkan oleh perbedaan status kelompok.
Gejala identitas sosial dapat berupa
konsepsi diri seorang atau beberapa individu bahwa kelompoknya memilki posisi
tertentu dari sejumlah kelompok yang lain. Pemosisian tersebut dapat pada
posisi higherst, middel, atau lowest. Ia juga dapat berupa ligitimasi
individu atau kelompok, bahwa dirinya dan kelompoknya memiliki kekuasan
tertentu. Klaim (pengakuan) identitas biologis dan identitas budaya tidak
pernah menimbulkan permasalahan. Karena ia merupakan klaim personal seorang individu
terhadap suatu jenis identitas pribadi. Tak seorang pun yang mempermasalahkan
jika seseorang menyatakan bahwa dirinya adalah seorang berjenis kelamin lelaki
atau wanita. Demikian halnya dengan seseorang berhak menyatakan dirinya
menganut budaya komunal atau individual, mengaku bersuku atau berbangsa
tertentu.
Permasalahan biasanya muncul pada
klaim identitas sosial. Identitas sosial muncul dari proses interaksi antar
individu/komunitas lalu membentuk sebuah jenjang sosial yang mengarah pada
penguasaan aset-aset tertentu. Di sini
kemudian muncul klaim “dominasi” dan “penguasaan”. Sesorang yang mengidentifikasi
diri pada komunitas tertentu dimana komunitas tersebut memiliki jumlah anggota
yang terbanyak dan memiliki kekuasaan yang lebih kuat. Komunitas tersebut melahirkan
pola interaksi tertentu dengan kelompok yang minoritas dan lemah. Pola interaksi
itu dapat bernilai positif, seperti akomodatif, melibatkan, kerja sama, dan lainnya.
Namun pola interaksi negatif pun dapat muncul, seperti, diskriminatif,
antipati, dan konflik.
Identitas Budaya Yang Damai
Banyak bukti pertemuan antar budaya
yang tidak melahirkan konflik. Karena pertemuan
tersebut tetap berada pada posisinya sebagai identitas budaya. Akulturasi
budaya merupakan contoh konkrit, dimana kebudayaan suatu komunitas dihadapkan dengan kebudayaan asing.
Kebudayaan asing tersebut lambat laun diterima dan diolah ke dalam
kebudayaannya sendiri tampa menyebabkan
hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri.
Kenduri, selamatan, dan sesaji
merupakan kebiasaan orang-orang Hindu dan Budha yaitu ber-akulturasi dengan ajaran
Islam yaitu membaca surat Yasin dan beberapa surat dan ayat pilihan
lainnya, diikuti kalimat-kalimat tahlil, tahmid, dan tasbih. Tradisi ini
kemudian berubah nama menjadi Tahlilan. Sekaten, merupakan alat musik ciri
khas kraton Yogyakarta, di-akulturasi dengan kecintaan terhadap Nabi Muhammad
saw. Sehingga muncul tradisi Sekaten yaitu upacara untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad saw di
lingkungan Keraton Yogyakarta atau Maulud. Pada perayaan ini gamelan sekaten
diarak dari keraton ke halaman masjid Agung Yogyakarta dan dibunyikan
siang-malam sejak seminggu sebelum 12 Rabiul Awal.
Upacara turun mandi merupakan tradisi masyarakat
Minangkabau yang dilakukan sebagai bentuk kesyukuran atas lahirnya seorang
anak. Tradisi ini ber-akulturasi dengan nilai Islam sehingga lahir tradisi Balimau yaitu tradisi mandi membersihkan
diri menjelang bulan Ramadan.
Upacara Ammateang
pada masyarakat Bugis Makassar, dimana dilakukan saat terdapat seseorang dalam
suatu kampung meninggal dunia. Keluarga dan kerabat serta masyarakat sekitar
rumah duka berbondong-bondong menjenguk. Pelayat membawa sidekka (semacam sumbangan kepada keluarga yang ditinggalkan). Sidekka dapat berupa sarung, kebutuhan
pengurusan mayat, atau passolo
(amplop berisi uang). Mayat kemudian dimandikan setelah keluarga terdekat semua
hadir. Tradisi ini ber-akulturasi dengan ajaran Islam dalam hal pengurusan
mayat, yaitu: memandikan, mengafani, men-shalati, menguburkan, membaca doa saat
setelah dikuburkan.
Membaca kitab Lagaligo, merupakan salah
satu tradisi masyarakat Bugis pada setiap kegiatan adat sebelum masuk Islam.
Tradisi membaca kitab tersebut di-akulturasi oleh tiga Datuk penyebar agama
Islam di Sulawesi Selatan dengan menggantinya membaca kitab Barazanji, pada setiap kegiatan hajatan, upacara, perkawinan, doa selamatan,
bahkan saat pindah rumah baru dan
membeli kendaraan baru, dan sebagainya.
Problema
Identitas Sosial
Identitas budaya tidak menimbulkan
permasalahan bila posisinya tetap pada identitas budaya. Namun identitas budaya
melahirkan permasalahan jika ditarik menjadi identitas sosial. Sebab identitas
sosial mengakomodasi perbedaan status antar kelompok dan klaim dominasi dan
kekuasaan. Sejatinya, bukanlah identitas
budaya yang berinteraksi sehingga melahirkan konflik, tetapi manusia -sebagai
makhluk sosial yang menjadi pendukung identitas budaya itu -yang berinteraksi
dan memunculkan klaim dominasi dan kekuasaan. Jadi indikator utama identitas
sosial, adalah pengakuan diri memiliki status sosial yang selanjutnya
melahirkan pola interkasi tertentu. Pola intekasi itu dapat barupa akomodasi
atau diskriminasi, melibatkan atau antipati,
kerja sama atau konflik.
Ketika Allah menciptakan Adam as,
seluruh malaikat diperintahkan oleh Allah untuk sujud memberikan penghormatan
kepada Adam. Namun Iblis tidak mau sudud karena mengaku memiliki status sosial
yang tinggi daripada Adam. Ia memahami bahwa api asal ciptaaanya lebih tinggi
dan lebih mulia dari tanah di mana Adam diciptakan. Anggapan api lebih mulia
dari pada tanah merupakan refleksi diri Iblis sehingga yang melahirkan pengakuan
diri lebih mulia. Karenanya Iblis terjebak pada klaim memiliki identitas
sosial. Klaim Iblis memiliki identitas sosial itu, memunculkan pola interaksi.
Ia enggang sujud kepada Adam, bahkan menentang perintah penciptanya, Allah.
Peristiwa kriminal pertama di dunia
juga disebabkan oleh klaim atas
kepemilikan identitas sosial. Qabil dan
Habil merupakan dua orang Adam. Qabil
membunuh Habil karena Qabil mengidentifikasikan
dirinya memiliki status sosial di
atas Habil. Allah mengatur bahwa Habil harus kawin dengan saudara kembar Qabil
yang memiliki wajah cantik, demikian sebaliknya. Namun Qabil meng-identifikasi-kan diri memiliki status
sosial (lebih tua), maka Qabil melahirkan pola interaksi tertentu. Qabil
mau kawin dengan saudara kembarnya sendiri yang lebih cantik. Akibatnya Qabil
berbuat kasar dan bahkan membunuh Habil setelah kurbannya tidak diterima oleh Allah.
Perang Yugoslavia, dikenal dengan
konflik etnik yang terjadi antara tahun 1990-2001. Peperangan ini berciri
konflik etnik antara suku-suku yang mendiami Republik Federal Sosialis
Yugoslavia, seperti suku Slovenia, Kroasia, Bosnia, Serbia, dan Montenegro, dan
Albania. Sejatinya etnik merupakan
identitas budaya. Masing-masing suku memiliki budaya yang berbeda. Namun
karena identitas budaya diseret kepada kepentingan kekuasaan, maka akhirnya muncul konflik. Perang ini
berakhir dengan terbentuknya Republik Federal Yugoslavia dan akhirnya Montenegro
dan Kosovo memutuskan untuk berpisah dengan Serbia karena konflik pembantaian
suku. Perang ini sering disebut dengan perang yang paling mematikan di Eropa
karena berciri perang rasisme yang mengakibatkan terjadinya kejahatan perang
dan pembersihan etnis besar-besaran.
Perang Bosnia (1992) terjadi diawali
oleh serangan etnis Bosnia ke wilayah etnis Kroatia karena kepentingan
kekuasaan wilayah. Perang antar etnis ini ternyata juga melibatkan identitas agama. Konflik ini
juga melibatkan antara etnis Serbia Bosnia, Kroat Bosnia dan Muslim Bosnia.
Bahkan antar muslim Bosnia, yaitu muslim Bosnia Herzegovina pimpinan Alija
Izetbegovic dan muslim Bosnia Herzegovina Barat pimpinan Fikret Abdic.
Perang salib yang melibatkan antara penganut
agama Islam dan Kristen pada abad 10-18, merupakan bukti konflik karena identitas
budaya ditarik menjadi identitas sosial. Atas nama perbedaan agama yang
masing-masing mengajurkan kehidupan damai, cinta dan selamat, namun secara faktual
mendorong munculnya konflik. Perang Salib dimulai ketika Paus Urbanus II menyeru
dunia Kristen untuk mengobarkan Perang Salib. Ketika berkhotbah pada
penyelenggaraan Konsili Clermont (tahun 1095), ia menghimbau pada hadirin untuk
mengerahkan kekuatan militer demi
membantu Kekaisaran Byzantine menghadapi Turki. Orang-orang Turki saat itu
telah banyak bermigrasi ke barat dan menguasai Anatolia. Kemenangan diraih oleh bala tentara Kristen dengan berhasil
mendirikan beberapa Negara Tentara Salib, di kawasan Timur Laut Tengah, yakni
Edessa, Antiokhia, Yerussalem, dan Tripoli.
Upaya dua abad perang salib untuk
membebaskan Tanah Suci umat Kristen berakhir kegagalan. Setelah perang salib
pertama, masih ada beberapa peperangan besar dan kecil. Setelah benteng-benteng
pertahanan terdepan Kristen Katolik yang terakhir ditaklukan pada tahun 1291, tidak ada lagi perang salib. Namun Perang Salib Wendi dan
perang salib yang dikobarkan oleh Uskup Agung Bremen berhasil mempersatukan
seluruh kawasan timur laut Semenanjung Baltic
serta suku-suku di Mecklenburg dan Lausitz di bawah kendali Kristen Katolik
pada penghujung abad 12. Selanjutnya mendirikan Negara Tentara Salib di Prussia
dan Monarki Prancis pada abad 13. Kesultanan Turki Osmania memenangkan perang
di Nikopolis (1396) dan Varna (1444). Perang Salib berhenti dengan kemenangan
Kesultanan Turki Osmania menguasai Constantinople
(1453). Kondisi konflik antara penganut agama Islam dan Kristen terus hidup
sampai akhir abad 18, setelah Eropa
Barat telah berakhir pada dunia baru (adalah
benua Amerika yang ditemukan oleh Christopher Columbus (1493) yang selanjutnya
sebagai dunia baru penganut agama Kristen).
Beberapa analis menyatakan bahwa Perang Salib bukan perang yang
dimotivasi oleh ajaran agama (identitas budaya), tetapi perang yang dimotivasi
oleh kepentingan politik dan penguasaan wilayah (identitas sosial). Perang
Salib merupakan aksi militer yang direstui secara terbuka oleh paus yang sedang
menjabat.
Identitas agama sejatinya merupakan
identitas budaya. Ia merupakan pengakuan seorang individu untuk berkeyakinan,
beribadah dan ber-muamalat dengan sistem ajaran agama tertentu. Permasalahan
identitas agama muncul karena diseret masuk sebagai identitas sosial. Penganut
agama tertentu mengklaim dirinya memiliki besaran anggota atau memiliki tingkat
otoritas tertentu. Atau permasalahan muncul ketika seseorang mengaitkan antara
ke-penganut-an terhadap agama tertentu dengan tingkat dominasi dan otoritas
yang dimiliki. Muncullah klaim bahwa “penganut agama saya yang dominan”, atau “penganut
agama saya yang berkuasa”.
Solusi terhadap Problema Identitas
Konflik identitas muncul karena
mengambung antara identitas budaya dengan identitas sosial. Sejumlah dan fakta
historis yang telah memperlihatkan bahwa agama sebagai identitas budaya,
ditarik oleh penganutnya sebagai
identitas sosial. Sehingga beberapa ahli, khususnya sosiolog menyatakan bahwa agama
merupakan identitas budaya dan identitas sosial. Ia merupakan identitas yang
tersemat dalam diri seorang individu karena pemberiannya secara budaya dan
sosial.
Berdasarkan pola perolehan identitas
ini, sejatinya kita dapat memosisikan permasalahan yang muncul dari motif
agama, mungkin ia merupakan permasalahan budaya atau sosial. Problema yang bermotif
agama dapat di diposisikan melalui gejala-gejala yang dimunculkan. Kalau ada
seseorang yang memiliki pemahaman, pengamalan, atau peribadatan keagamaan yang
berbeda dengan ajaran Ahlusunnah Waljamaah, maka gejala ini dapat dikategorikan
sebagai fenomena budaya. Upaya penanganannya hendaknya menggunakan teori-teori
kebudayaan. Gejala ini hendaknya, diteliti, dianalisis, dan dipecahkan dengan
menggunakan pendekatan budaya. Demikian halnya dengan konflik identitas
(agama), sudah tentu merupakan gejala sosial. Maka mempelajari pemicu, penyebab,
dan aktualitas konfliknya, hendaknya menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial. Hal
serupa dengan upaya mencari solusi penyelesaiannya.
Asumsi melihat konflik identitas
sejatinya tepat. Jika asumsi kita bertolak pada pemahaman di atas maka semua
permasalahan penganut agama selalu dianggap sebagai problem budaya dan sosial. Setiap
penganut agama (apapun jenis agamanya) berpotensi untuk berperilaku kasar,
radikal, diskriminatif, dan berkonflik. Demikian sebaliknya setiap penganut
agama memiliki potensi untuk santun, moderat, saling menghormati dan bekerja
sama. Asumsi tersebut juga dapat melahirkan pemahaman serupa. Seluruh problema
penganut agama tidak lagi dianggap sebagai ciri ajaran agama yang dianut. Tidak
ada lagi klaim provokatif bahwa ajaran agama tertentu -lebih benar, lebih kompatibel
dengan kondisi dan zaman, lebih santun, lebih moderat, dan lain sebagainya- dari
ajaran agama lain.
Komentar