KHAZANAH SEJARAH:DAI PROFESIONAL DALAM MENJAWAB TANANGAN MASA KINI (1)

by Ahmad M. Sewang 
 
Pada 25 Oktober 2021, Ketua Umum Badan Koordinasi Mubalig Se Indonesia (BAKOMUBIN), Mamuju, Sulawesi Barat meminta saya berpartisipasi untuk memberi pelatihan dan muzakarah tentang dai profesional. Pertanyaannya, benarkah ada dai profesional? Dai profesional dalam pengertian sebagai dai bayaran dan hidup dari profesinya sebagai dai adalah sulit ditemukan dan mungkin tidak ada. Jika definisi ini dinisbahkan pada petinju profesional sebagai petinju yang hidup dari profesinya, seperti almarhum Muhammad Ali atau Make Tyson. Kata profesional diartikan dalam bahasa Arab "kaffa" dan dalam bahasa Indonesia disebut "total". Profesional berasal dari bahasa Inggris profesion. Dalam dunia profesi selalu dihubungkan dengan bayaran, seperti petinju profesional yang diartikan, hidup dari profesinya sebagai seorang petinju. Antonim profesional adalah amatiran atau alakadarnya, dan apa adanya tidak yang memerlukan bayaran, sekedar penyaluran hoby, seperti radio amatir yang tidak perlu bayaran.

Sebaliknya, beda dengan profesional yang selalu mendapat bayaran, misalnya petinju lagendaris Mohammad Ali. Sekarang muncul petinju baru kelas berat dari Inggeris,
Anthony Joshua. Pemegang bayaran tertinggi ketika berhadapan Andy Ruiz. Joshua adalah petinju kelas berat pemegang rekor bayaran termahal di dunia sampai sekarang, bayarannya tembus Rp 552 juta per detik. Bayaran keseluruhan $ 66 juta  (Rp 1,2 triliun). Bandingkan dengan seorang mubalig profesional. Sebagai Ketua Umum DPP IMMIM saya hafal persis bayaran rata-rata seorang dai yang setiap Jumat menaiki mimbar sebagai khatib, yaitu rata-rata Rp 500 ribu setiap tampil. Rp 500 ribu dibagi 15 menit per tampil = Rp 33,333 per menit atau 55 cent rupiah per detik. Pendapatan seorang dai paling tidak rata-rata  Rp 500 ribu sekali naik mimbar di Makassar atau jika penghasilan seorang  khatib dikali empat dalam satu bulan sama dengan dua juta rupiah. Jumlah itu, tidak mungkin bisa hidup dengan keluarganya jika pendapatannya hanya mengharapkan pendapatan sebagai khatib. Jika pendapatan itu tidak mungkin, kenapa kita bicara yang tidak mungkin? Kenapa tidak bicara yang mungkin saja? Bukankah lebih baik bicara yang mungkin, maka yang mungkin adalah, "DAI PROFESIONAL DALAM PENYAJIAN, TETAPI AMATIRAN DALAM BAYARAN." Lagi pula seorang mubalig beda dengan missionaris Kristen, hidupnya dibiayai oleh para jamaah. Dalam Islam tidak, mengenal lembaga kepastoran, لآربانية فى الإسلام  (tidak ada lembaga kepastoran dalam Islam). Itu sebabnya kebanyakan mubalig yang terjun ke dunia tablig adalah orang yang sudah memiliki pekerjaan tertentu dan bertablig adalah pekerjaan tambahan sebagai panggilan agama. 

Ada seorang mubalig, ingin mencoba tugas tablig sebagai profesi dengan menetapkan tarif, sehingga setiap naik di atas mimbar, maka honor selalu dalam perhitungan. Jika dianggap kurang, maka ia tidak segan menelepon panitia masjid agar ditambah honornya. Dia tidak paham bahwa tugas tablig adalah bahagian dari tugas suci keagamaan. Orang ini setelah menjadi viral ke mana-mana, ia dianggap gagal paham terhadap etika mubalig, akhirnya DPP IMMIM terpaksa rapat dan mengadilinya secara in absensia, karena dianggap ia telah melanggar etika mubalig. Apa dai tidak perlu bayaran? Ada memang yang tidak mau dibayar, seperti Prof. Halide. Beliau menganggap berdakwah bukan profesinya dan dengan tulus menyerahkan haknya kembali pada panitia masjid. Ada juga yang menerima bayaran sekedar untuk transfortasi. Jika mubalig menerima ongkos tranfortasi berarti ia telah menerima haknya, sebab dia telah menjalankan kewajiban sebagai tugas tablignya. Namun, berapa pun bayaran yang diberikan panitia masjid yang mengundangnya, ia akan menerimanya tanpa pernah merasa kurang. Seri berikutnya, bagaimana menjadi dai profesional dalam penyajian?

Wasalam,
Makassar, 1 November 2021

Bagian Kedua
by Ahmad M. Sewang

Seperti telah diuraikan pada seri pertama bahwa tidaklah mungkin kita mendapatkan dai propesional, dalam pengertian sebagai dai bayaran dan hidup dari profesinya sebagai dai.
Jika demikian, apa yang dimaksud dai profesional? Yang dimaksudkan adalah, "DAI PROFESIONAL DALAM PENYAJIAN, TETAPI AMATIRAN DALAM BAYARAN." Itu sebabnya kebanyakan mubalig yang terjun ke dunia tablig adalah orang yang sudah memiliki pekerjaan tertentu sedang bertablig adalah pekerjaan tambahan sebagai panggilan agamanya. 

Dai profesional dalam penyajian adalah dai yang menguasai dua  kompotensi utama. Kompetensi ini jika dijalankan secara maksimal akan semakin sempurna dalam menjalankan tugasnya  sebagai dai, yaitu,
1. Kompetensi substantif, yaitu: ia munguasai Alquran dan hadis, dan berwawasan luas. Untuk itu ia selalu meng-up date diri dengan membaca dan membaca sehingga ia bisa merespon masyarakatnya. Pada dasarnya, seorang dai dia harus lebih pintar dari rata-rata jamaahnya.

Dai bak sedang melakukan pendakian gunung menuju puncak kearifan. Semakin tinggi menuju puncak pendakian akan semakin luas wawasan yang disaksikan. Selain itu, ia pun fasih dalam bahasa Arab dan bahasa setempat serta memiliki ketrampilan ITC, sehingga dakwahnya tidak lagi terbatas pada dakwah billisan yang dibatasi oleh ruang dan waktu, tetapi semakin meluas tak terbatas.

2. Kompetensi Metodologi.
Bagaimana menawarkan suatu yang rumit tetapi enak di telinga jamaah, inilah yang saya sebutkan seorang dai yang arif. Definisi dai yang arif dan profesional dalam penyajian adalah, “Jika dihadapkan padanya masalah-masalah rumit justru dengan piawai menguraikannya dan segera bisa dipahami orang awan sekali pun. Sebaliknya seorang bukan dai profesional dalam penyajian, jika dibawakan sesuatu yang mudah, justru jadi rumit seperti benang kusut, sekalipun yang mengikutinya para cendekia.”
Jika seorang dai menginginkan profesional dalam penyajian, maka ikutilah secara maksimal kompetensi tersebut di atas, insya Allah akan semakin sempurna pula dakwah itu tersajikan di tengah jamaah.

Di antara tantangan dai masa kini adalah dihadapkan pada keterbelakangan umat dari berbagai bidang kehidupan;  kemiskinan duniawi dan keterbelakangan ilmu pengetahuan. Sementara setiap saat umat diperintahkan meraih kemajuan (kebahagiaan) dunia dan di akhirat. 

Dalam sejarah pada periode klasik Islam, menurut George Sarton, pernah mencapai masa kejayaan yang disebut The Golden age of Islam. Salah satu faktor yang bisa membawa pada kemajuan adalah keberanian bersikap inklusif sambil terus-menerus meng-up date diri. Mereka telah mampu menjawab tantangsn pada masanya dengan lahirnya sainstis yang beriman atau dai pada masanya, seperti al-Jabir, al-Khawarismi, al-Masudi, ak-Wafa, al-Biruni, Hujjatul Islam, Imam al-Gazali dan para Imam Mujtahid di masanya. Mereka adalah para para dai yang mampu memberi jawaban tantangan zamannya. Ini memang ideal tetapi akan bisa diwujudkan asal mengikuti kompetensi  dai di atas. Bukankah ini telah pernah terbukti dalam perjalanan historis umat Islam?

Wasalam,
Makassar, 4 November 2021

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT SULAWESI SELATAN

SISTEM KEKERABATAN ORANG BUGIS, MAKASSAR, MANDAR DAN TORAJA

SEKILAS SEJARAH MASUKNYA KRISTEN DI ALOR