KHAZANAH SEJARAH:SEJARAWAN BAK SEDANG MENDAKI MENUJU PUNCAK

by Ahmad M. Sewang 

Awalnya, seri ini akan diisi dengan masalah perang dan damai dalam sejarah dan dampaknya sampai abad kini, tetapi karena adanya respons empati dari beberapa netizen tentang seri sebelumnya, maka saya menghormatinya dengan mendahulukan untuk meresponnya. Tentu saja respon ini secara umum diiringi sebuah harapan agar kita semua pada akhirnya bisa menemukan dunia baru penuh damai yang dicitakan.

Para sejarawan berpendapat bahwa belajar sejarah bagai orang yang sedang mendaki gunung menuju puncak. Ketika masih di kaki gunung, si pendaki hanya bisa menyaksikan laut di depannya yang masih terbatas, namun semakin jauh naik mendaki semakin luas horison cakrawala pandang yang dapat disaksikan, sampai ia tiba di atas puncak gunung yang membuatnya suprise, karena ia baru sadar bahwa di balik gunung ternyata ada lagi lautan yang terhampar lebih luas yang awalnya dia tidak bisa saksikan semasih di kaki gunung karena terlindungi oleh gunung itu sendiri. 

Di puncak gunung mulai merenung dan tidak mudah lagi memastikan dengan mengatakan lautan hanya ada di depannya saat di kaki gunung. Mendaki gunung ibarat  banyak membaca dan memperkaya pengalaman. Semakin banyak membaca, kata Imam Syafii, semakin banyak yang belum diketahui dan semakin tidak mudah melakukan generalisasi sebuah kepastian bahkan yang dianggap benar selama ini pun mulai dipertanyakan.

Dahulu ketika masih di Sekolah Rakyat di kampung (nama SD tahun 60-an) ia menganggap bahwa Pangeran Diponegoro adalah pahlawan sejati karena ia menentang kolonial, setelah belajar sejarah Belanda, ternyata Diponegoro, menurut versi Belanda, adalah penghianat karena menentang pemerintahan yang sah. Dahulu Arung Palaka adalah penghianat karena bekerja sama kolonial Belanda menentang Sultan Hasanuddin, tetapi sekarang setelah sampai di puncak, justru terbalik, ia melihat Arung Palaka sebagai pahlawan karena ia mempertahankan kerajaan Bugis, terutatama Bone, dan Soppeng dari hegemoni kekuasaan Gowa yang dipimpin Sultan Hasanuddin. Demikian seterusnya, ketika masih di Sekolah Rakyat, ia memahami bahwa Kahar Muzakkar adalah pemberontak terhadap pemerintah pusat, sekarang dilihatnya dari angel lain, Kahar seorang pahlawan, paling tidak di mata anak buahnya. Kahar Muzakkar berusaha mempertahankan anak buahnya agar tetap bergabung dalam TNI Brigade Hasanuddin, tetapi pemerintah pusat menolaknya. Penolakan itu, membuatnya kecewa dan meletakan pangkatnya sebagai kolonel serta membentuk DI/TII untuk menyesuaikan keadaan sosial Sulawesi Selatan. Dia juga tidak setuju pada pemerintahan Soekarno yang bekerjasama dengan komunis. Demikian seterusnya, semakin lama merenung di puncak semakin banyak pula masalah yang ia pertanyakan. Pandangannya tidak lagi sekedar hitam-putih dalam memandang sesuatu. Dalam perjalanan yang tidak mengenal halte, seorang sejarawan tidak akan pernah berhenti mekakukan pendakian sampai suatu saat ia harus mengakhiri pendakiannya karena sudah waktunya memenuhi panggilan Yang Maha Kuasa. Itulah filsafat belajar sejarah yang tak pernah mengenal kata henti. Sebab ia selalu mempertanyakan kebenaran yang dipahaminya, bahkan sekalipun sudah sampai ke atas puncak, belum tentu bisa meyakinkan dirinya. Bahkan walau ia sudah menetapkan pendapatnya sendiri, seperti Kahar Muzakkar, ia tetap mempertanyakan, karena kebenaran menurutnya, sangat tergantung kelengkapan data yang dikumpulkannya dan kejujuran dirinya dalam menetapkan sebuah peristiwa. Kejujuran dalam ilmu sejarah adalah menjawab pertanyaan, "Apakah ia tidak berat sebelah?"

Wassalam,
Makassar, 21 Juni 2021

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT SULAWESI SELATAN

SISTEM KEKERABATAN ORANG BUGIS, MAKASSAR, MANDAR DAN TORAJA

SEKILAS SEJARAH MASUKNYA KRISTEN DI ALOR