KHAZANAH SEJARAH:BAHAYA FANATISME BERLEBIHAN

by Ahmad M. Sewang

Fanatisme dalam bahasa Arab disebut al-taassub. Seorang fanatis tidak tertarik belajar di luar aliran yang ia anut atau paham yang berbeda dengan organisasinya atau yang tidak se mazhab dengannya. Karena itu, fanatisme sama dengan menutup diri dari orang yang dianggap out side. Berbeda dengan orang yang tidak fanatis, ia membuka diri dari pendapat orang lain, bahkan menerimanya jika itu lebih baik, lebih bermanfaat, dan lebih benar. Dalam ilmu budaya dikemukakan di antara karakteristik masyarakat bersahaya adalah menutup diri dari segala bentuk budaya luar. Sedang orang yang sudah sampai pada tingkat budaya modern adalah membuka diri pada setiap budaya luar.

Larangan pada fanatisme, sebab dengan fanatisme akan sulit maju ke depan, tidak akan bisa bersaing dan berkompetisi dengan manusia modern. Seorang yang fanatis merasa hanya pendapatnya saja yang benar, di luar pendapatnya adalah salah, karena itu perlu diluruskan dan disesuaikan dengan paham yang dianutnya. Orang fanatis cenderung tidak menghargai pandangan orang lain dan dia selalu ingin memaksakan pendapatnya pada orang lain. Orang semacam ini bisa meningkat menjadi orang yang mengklaim kebenaran. Sedang orang yang tak sependapat dengannya digolongkan sesat atau kafir. Karena dia kafir bisa dihalalkan darahnya. Dari sinilah asal mula timbulnya teroris, seperti yang bisa dibaca pada sejarah munculnya sekte Khawarij.

Ketua Uni Ulama se Dunia yang berkedudukan di Qatar,  Syekh Yusuf al-Qardawi, menghimbau dalam bukunya bahwa fanatisme berlebihan dalam bentuk apapun berbahaya, seperti, fanatisme berlebihan pada suku, agama, mazhab, organisasi partai, daerah, dan pendapat sendiri. Beliau mengibaratkan bahwa fanatisme terhadap pendapat sendiri bagaikan tinggal di rumah kaca sendirian. Yang dilihatnya adalah dirinya sendiri, berpendapat sendiri, perilakunya sendiri, hanya dia saja yang benar. Ia sudah menutup diri dari mendengar pandangan orang lain. Tidak heran, jika dia mengklaim hanya dia saja yang benar. Di luar itu adalah salah dan harus dihindari.

Dalam sebuah diskusi saya bertemu seseorang yang mengklain diri sebagai ustaz. Dia nampaknya tidak banyak bahan sehingga dia hanya bicara itu-itu saja, walaupun tema yang didiskusikan tidak ada hubungannya dengan yang ditanyakan. Ia sukanya menyalahkan orang lain yang tidak se organisasi atau se mazhab dengannya. Saya sampaikan padanya, "Jika ada seorang menamakan diri ustaz di satu daerah, cobalah membuka tempurung kepalanya dengan memperluas wawasan dan membaca pandangan ulama lebih besar, baik pada tingkat nasional atau pun ulama di tingkat internasional, seperi Grand al- Azhar." Sehinga tidak seperti katak dalam tenpurung, setelah tempurungnya dibuka, barulah ia sadar bahwa masih ada langit di balik tempurung.

Syekh Yusuf al-Qardawi,  berpendapat, "Jika ada orang berpandangan bahwa umat Islam se dunia cukup keluar dengan satu pendapat, walau menyangkut masalah furu dan ijtihadiah, Syekh al-Qardawi berkata "لم يكن وقعه" (tidak mungkin terjadi dalam realitas), sebab perbedaan adalah sunatullah, al-sarwah atau sebuah kekayaan, dan rahmat untuk berfastabiqul khaerat.
Karena perbedaan tidak bisa dihindari, maka paling bijak jika saling menghargai perbedaan itu sendiri sambil berusaha mendalami argumentasi letak perbedaan itu agar umat bisa bersatu. Kecuali jika ingin hidup menyendiri, seperti dalam gua sendirian.


Wasalam,
Makassar, 09 Mei 2021

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT SULAWESI SELATAN

SISTEM KEKERABATAN ORANG BUGIS, MAKASSAR, MANDAR DAN TORAJA

SEKILAS SEJARAH MASUKNYA KRISTEN DI ALOR