IN MEMORIAM AGH. DR. (HC) SANUSI BACO, LC

Ahmad M. Sewang 

Masih segar dalam ingatan, beberapa waktu lalu di Aula Rektorat, ketika UIN Alauddin memprakarsai MoU dengan beberapa ormas Islam, seperti MUI Sulawesi Selatan, DPP IMMIM, PW Nahdatul Ulama, PW Muhammadiyah dan Universitas Muhammadiyah. Saat inilah saya bertemu Gurutta, kebetulan tempat duduk saya berdampingan dengan Gurutta, sehingga saya bisa berbincang banyak dengan beliau. Saya tidak tahu bahwa ternyata pertemuan itu akan menjadi pertemuan terakhir dengan beliau. Apalagi Gurutta memancing perbincangan dengan mengingatkan memori masa lalu "Mana dulu itu anakmu di Taman Kanak-kanak Alauddin yang selalu menarik Ibunya minta cepat-cepat pulang?" Sambil Guruttta menambahkan, "Dia tidak tahu bahwa kami sementara menunggu antrian penerimaan gaji di kampus I IAIN Alauddin Anak itu tak mau mengerti bahwa gaji itu menentukan hidup selama sebulan." Saya jawab pada Gurutta, "Anak itu sudah besar kerja di Bank Sulselbar Majene dan sudah kawin di sana serta punya tiga anak."

Sekembali pada pertemuan itu, saya segera ceritakan pada Ibunya. Sambil saya ingatkan bahwa Gurutta sangat menaruh perhatian pada peristiwa tersebut walau sudah berlangsung lebih 30 tahun lewat. Juga menunjukan bahwa beliau sangat akrab. Pada pertemuan itu, saya juga janji ada beliau untuk menulis sebuah buku berupa kumpulan biografi guru dan sahabatku, termasuk biografi Gurutta dan beliau antusias menunggu terbitnya buku itu. Tetapi, karena Gurutta tiba-tiba pergi untuk selamanya, sehingga saya mengubah tulisan itu dalam bentuk in memoriam yang sesungguhnya awalnya saya akan menulisnya semasih Gurutta masih hidup. Tetapi itulah ketentua-Nya yang pasti, bak kata pepatah, "Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih."

Sebenarnya, saya mengenal Gurutta sejak awal pertama hijrah dari kampung ke kota Makassar untuk melanjutkan studi pada tahun 1973. Pada semester III di Fakultas Adab, beliau langsung mengajar saya mata kuliah Usul Fikhi. Namun yang paling menarik perhatian saya pada Gurutta adalah sikap ke lapangan dada dan toleransi menerima perbedaan. Benar apa kata kaidah sosial, "Semakin luas wawasan seseorang berbanding lurus dengan sikap toletansi pada perbedaan." Bahkan beliau mengingzinkan almarhum Ishak Ngelyaratan (non-muslim) memberi ceramah di lantai dasar Masjid Raya Makassar.

Di sebuah peristiwa almarhum K.H. Dr. Jalaludsin Rakhmat, M.Sc. datang di Masjid Raya Makassar dengan membawa seorang Ayatollah dari Iran. "Gurutta dengan sikapnya yang lapang dada dan toleransi memberi kesempatan pada Ayatollah berceramah di depan jamaah dalam bahasa Persia yang diterjemahkan K.H. Dr Jalaluddin Rakhmat ke dalam bahasa Indonesia," demikian cerita almarhum Jalaluddin Rakhmat pada saya di suatu saat.

Sikap toleransi beliau, membuatnya tetap jadi Pembina Pengurus DPP IMMIM sampai sekarang. Pertanyaannya, kenapa beliau berbeda dengan kebanyakan ulama? Menurut asumsi saya, Gurutta adalah alumni al-Azhar  Terbiasa mempelajari muqarana al mazahib 
sejak masih sebagai mahasiswa al-Azhar

Akhirnya!
Selamat jalan gurutta
Menemui sang  kekasih Abadimu
Semoga keluarga ditinggalkan tabah menerima musibah ini
Guruta pergi patut gembira
Telah meninggalkan legacy tak ternilai
Warisan toleransi dan ke lapangan dada
Menerima aneka perbedaan
Relevan negariku Indonesia
Berbhineka tunggal ika

Wassalam,
Makassar, 16 Mei 2021

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT SULAWESI SELATAN

SISTEM KEKERABATAN ORANG BUGIS, MAKASSAR, MANDAR DAN TORAJA

SEKILAS SEJARAH MASUKNYA KRISTEN DI ALOR