M. DARWIS HAMSAH (1939-1988): You Are a leider and the Real Autodidact

by Ahmad M. Sewang

Beberapa waktu lewat, saya diminta Dr. Sri Musdikawati untuk menulis apa yang saya ketahui dari Bapaknya, almarhum M. Darwis Hamsah, seorang mantan Ketua DPC IMMIM Polmas (Polewali Mamasa).

Setiap upaya untuk menuliskan seorang tokoh, saya selalu menyambutnya dengan senang, karena setiap tokoh selalu saja banyak meninggalkan pelajaran darinya, terutama bagi generasi sesudahnya. Begitu banyak tokoh besar, kemudian mereka wafat, lalu dilupakan begitu saja bersamaan dengan hancurnya tulang-belulangnya di dalam tanah karena tidak ada media mengingatkannya. Apalagi tokoh sebesar M. Darwis Hamsah, sebuah nama beken di daerah Mandar pada pertengahan abad ke-20. Beliau lahir di Pambusuang, Polmas, 12 Desember 1939. Beliau adalah pimpinan cabang PSII Polmas. Ketua IMMIM Cabang Polmas dan memiliki kemampuan retorika dalam berpidato, berceramah, dan berkhotbah. Orangnya akrab, peduli, dan familiar. Tidak heran, jika orang yang pernah berjumpa dengannya pasti akan terpesona dengan daya pikat yang familiar, dan akrab. Keakraban saya dengannya karena di  samping kemampuannya dalam mengintgrasikan pengetahuan juga ada pertalian keluarga, karena itu sering saya sapa dengan Kak Darwis. Ketika saya sedang kuliah S1 di Makassar saya pernah dapat mandat dari beliau sebagai peserta up greading dakwah menjelang Ramadan di DPP IMMIM sekitar tahun 1974.
 
M. Darwis Hamsah seorang yang otodidat sejati dan memiliki pengetahuan integagrasi antara umum dan agama yang baik. Ia seorang manusia talenta yang memiliki segudan pengetahuan sejarah Mandar dengan sumber primer yang dikutip dari lontara. Pengetahuan itu, ia sampaikan dalam setiap pidatonya yang memukau dan tulisannya yang memikat serta menjadi bahan referensi bagi generasi sesudahnya sampai sekarang. Dia merupakan perintis dalam memperkenalkan sejarah Mandar lewat sumber Lontara yang bagi sejarawan dimasukkan sebagai sumber primer.

Awal tahun 1970, saya meninggalkan kampung halaman, desa Pambusuang, untuk melanjutkan sekolah di SP IAIN (Sekolah Persiapan Institut Agama Islam Negeri) Cabang Polmas. Di sinilah saya mengenal secara dekat dan berguru pada beliau. Sebagai pimpinan cabang PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia), membuat beliau super sibuk dengan urusan partai dan rumahnya tak pernah sepi dari tetamu yang datang silih berganti. Saya memiliki banyak pengetahuan, khususnya tentang Syarikat Islam (SI) dan tokoh pendirinya lewat beliau. Saya mengenal banyak HOS Tjokroaminoto, sebagai "Bapak Bangsa", H. Agus Salim, Abd. Muis,  A.M. Sangaji (Tokoh SI Pusat), serta tokoh SI Provinsi Sulawesi Selatan, de Rosari, B.A. Daeng Manambung, S.S. Mahmud dan lainnya. Waktu itu Sulawesi Barat belum terpisah dengan Sulawesi Selatan. M. Darwis Hamsah telah memperkenalkan pada saya sejarah pergerakan Syarikat Islam. Saya pun pernah tertarik mendengarkan, mengikuti, dan mencatatnya. Dari beliau saya dikenalkan ungkapan HOS Tjokroaminota yang sangat masyhur, "Als je een goede leider wilt worden, schrijf en als een journalist en spreek als een redenaar."
(Jika kalian ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator)."
Pesan Tjokroaminoto disampaikan pada murid-muridnya yang datang menimbah ilmu di rumahnya di Gang Paneleh VII, di tepi Sungai Kalimas, Surabaya. Rumah itu adalah rumah kos para pemuda, sekaligus juga dijadikan tempat pengkaderan kebangsaan dalam menuju Indonesia merdeka. Murid yang dikader, seperti Semaoen, Alimin, Muso, Soekarno, Kartosuwiryo, Darsono bahkan Tan Malaka. Mereka kelak inilah jadi pemimpin bangsa. Karena itu beliau dikenal sebagai Bapak Bangsa. Pesan pendek dari Tjokroaminoto di atas membius murid-muridnya. Soekarno pun termotivasi, pada suatu malam berteriak-teriak belajar berpidato, membuat kawan-kawannya di rumah kos merasa terganggu. Tetapi saat mereka bangun mencari datangnya suara yang nengganggu itu, mereka menyaksikan Soekarno sedang mengayun-ayunkan tangannya di depan cermin  praktek berpidato, membuat Muso, Alimin, Kartosuwiryo, Darsono, dan lainnya bukannya marah, namun berbalik jadi tertawa lucu menyaksikan ulah Soekarno. Memang, murid Tjokroaminoto yang paling disayang adalah Soekarno hingga ia rela menikahkan anaknya, Siti Oetari, sebagai istri pertama Soekarno. Itulah kisah Kak Darwis yang tidak bisa saya lupakan walau sudah berlalu hampir setengah abad silam. Terima kasih kak Darwis engkau telah memotivasi saya agar bisa jadi penulis dan orator yang baik. Walau ekseptasimu terlalu tinggi bagi saya sehingga sulit bisa terwujud dalam kenyataan. Engkau telah pergi selamanya tetapi kebaikanmu tetap dikenang bak bunga melati yang semerbak dan tetap dirasakan wanginya bagi orang yang memiliki kepekaan penciuman. Akhirnya, saya simpulkan,
You Are a leider and the Real Autodidact.

Wassalam,
Makassar, 17 Februari 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT SULAWESI SELATAN

SISTEM KEKERABATAN ORANG BUGIS, MAKASSAR, MANDAR DAN TORAJA

SEKILAS SEJARAH MASUKNYA KRISTEN DI ALOR