KHAZANAH SEJARAH: ANTARA BUDAYA BUNGA DAN BUDAYA MAKAN

by Prof. Dr. H. Ahmad Sewang, MA

Di dunia barat yang pernah penulis saksikan, khususnya di Eropa penulis sebut budaya mereka sebagai budaya bunga. Kapan pun ditemukan bunga setiap kegiatan. Dalam peristiwa duka selalu ditemukan bunga, sebaliknya dalam gembira pun selalu ada bunga. Di Belanda pada akhir pekan tidak ada satu pun toko yang terbuka kecuali toko bunga sebab bunga selalu diperlukan pada setiap event. Suatu saat,menjelang pulang ke tanah air setelah setahun melakukan riset dan studi di Universitas Leiden. Penulis diundang Persatuan Pemuda Islam Eropa di Den Haaq untuk ceramah,  kebetulan penulis bawa Ibu, setelah selesai acara penulis mendapat kehormatan dan dihadiahi bunga. Bunga itu, sangat bernilai sebab jika dirupiahkan harganya cukup mahal. Tiba di apartemen, Ibu simpan di kamar mandi agar tidak layu, tetapi ternyata besoknya, sudah layu. Ibu bilang, "Andai kata uang yang diberikan akan lebih bermanfaat." Penulis berkata, di sinilah bedanya dengan budaya di tanah air. Di sini, bunga adalah sebuah penghormatan tinggi yang tidak bisa dinilai dengan uang.

Beda dengan budaya ditanah air, yang penulis sebut budaya makan. Dalam suka dan duka selalu disertai dengan makan-makan. Kapan saja ada acara, selalu diringi dengan makanan. "Mambaca", (bahasa daerah) jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah berdoa. Kenapa selalu ada makanan? Bukankah berdoa tak perlu ada makanan? Jawabannya, makanan sudah menjadi budaya. Di antara mubalig ada yang tidak setuju jika orang yang sedang berduka kematian membebani lagi dengan makan di rumah duka bahkan lengkap dengan dalilnya, tetapi tetap saja sulit menghentikannya. Beberapa kali dosen yang tidak setuju membebani  mahasiswa membawa makanan ketika ujian sekrepsi, tesis, dan disertasi. Bahkan dosen yang tidak setuju mennseminarkan, misalnya di UIN Alauddin dengan mengundang bayak peserta. Alasannya, kasihan mahasiswa, mereka belum punya kerjaan, maka beban itu pasti kembali lagi ke orang tuanya. Tetapi, ada pimpinan perguruan tinggi pun menjawab dengan enteng, "Kami sama sekali tidak pernah menyuruh mereka untuk membawa makanan." Sampai sekarang, menurut pengamatan penulis, tidak ada satu pun perguruan tinggi yang bisa menghentikannya, karena sudah jadi budaya yang sulit menghilangkannya,  sama dengan budaya bunga di dunia Barat yang mulai berpengaruh ke tanah air. Dunia Barat, mungkin menganggap budaya makan adalah mubazir, tetapi, sebaliknya mungkin juga di antara kita beranggapan budaya bunga itu juga mubazir. Menurut ahli budaya tidak perlu saling mengejek, seharusnya saling menghormati budaya masing-masing. Jika saling mengejek, tidak akan bisa selesai, seperti kambing bertanya dengan heran setelah melihat ayam, "kenapa tandukmu di kaki"? Tetapi, ayam pun bertanya pada kambing, "Kamu, kenapa tandukmu di kepala?" Sebaiknya, saling menghargai budaya masing-masing. Namun mampaknya, menurut pengamatan penulis yang bisa mengubah budaya makan adalah Pandemi covid-19 yang membuat segala aktivitas berubah dan dipusatkan di rumah masing-masing. Berkantor, belanja, mengajar dan menguji pun di rumah. Penulis berapa kali menguji disertasi di rumah sepanjang covid-19, tetapi tidak ada lagi kelihata? makanan. Artinya, covid-19 telah mengubah budaya makan. Walaupun demikian, penulis meragukan bahwa budaya makan akan sulit dihentikan, mungkin saja akan berlanjutan lagi setelah corona berlalu, sebab ,makan sudah menjadi bagian dari budaya. Bukankah budaya tidak mudah distop?

Wassalam,
Makassar, 9 Juni 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT SULAWESI SELATAN

SISTEM KEKERABATAN ORANG BUGIS, MAKASSAR, MANDAR DAN TORAJA

SEKILAS SEJARAH MASUKNYA KRISTEN DI ALOR