KHAZANAH SEJARAH: RETHINKING NORMATIVITAS DAN HISTORITAS


by Prof. Dr. H. Ahmad M. Sewang,. MA

Jika terjadi kesenjangan antara apa yang seharusnya dan realitas yang ada, dalam ilmu sosial disebut sebuah sebuah masalah, semakin lebar kesenjangan itu semakin besar masalahnya dan semakin menyatu antara yang seharusnya dan kenyataan semakin ideal. Masyarakat ideal dalam ilmu filsafat disebut jika antara das sollen atau pola cita dan das sein atau pola laku menyatu. Di dalam Islam, disebut antara iman dan amal salih  menyatu dalam diri seorang muslim yang tercermin dalam perilakunya sehari-hari. Dalam ilmu sejarah diperkenalkan istilah antara normativitas dan historitas.

Sekarang kita mencoba menganalisa komunitas muslim dalam tinjauan ilmu sejarah. Tetapi, perlu lebih dahulu didefinisikan istilah normativitas dan historitas untuk menyamakan persepsi dan pemahaman. Normativitas artinya, sejalan dengan norma yang seharusnya. Norma  dalam Islam terdapat dalam kitab suci al-Quran dan hadis-hadis Nabi yang sahih. Sedang historitas adalah periaku muslim yang tercermin dalam realitas historis. Semakin terjadi diviasi antara normativitas dan historitas semakin bermasalah. Jadi masyarakat muslim yang ideal apabila semakin dekat jarak antara iman dan amal salih. Dari sini, penulis bisa mengambil sebuah contoh tentang pandangan orang Barat yang non-muslim kepada masyarakat muslim.

Penulis mulai dari historitas. Seorang teman yang waktu itu, duduk sebagai senator yang mewakili komunitas Sulawesi Selatan di Senayan, Muhammad Iqbal Parewangi. Beliau mengeluh pada penulis sambil curhat bahwa baru saja melakukan kunjungan ke dunia Barat, di negara Canada, bertemu para senator di sana. Senator dari Sulawesi Selatan itu mengeluh, karena dia tidak bisa meyakinkan mereka bahwa Islam adalah agama damai, seperti yang terdapat dalam kitab suci bahwa Islam datang untuk menebarkan kasih sayang atau rahmat kepada seluruh semesta tanpa membedakan. Tetapi tetap saja para senator Canada itu tidak bisa yakin. Sebab yang mereka saksikan setiap hari via media sosial adalah kenyataan di Timur Tengah. Mereka menganggap Timur Tengah adalah refresentasi komunitas muslim. Di Timur Tengah yang mereka saksikan, sepertinya tidak ada hari tanpa pembunuhan, yang membunuh muslim dan yang dibunuh juga muslim, pertempuran antara negara bertetangga, yaitu Arab Saudi dan Yaman, seperti tak akan usai. Itulah kenyataan historis yang mereka saksikan setiap saat. Sedang norma damai dan rahmat tersimpan dalam kitab seci. Sedang mereka tidak pernah menyentuhnya, apalagi membacanya.

Di sinalah problema keumatan sendiri, karena ketidakmampuan mengharmoniskan antara historitas dan nomativitas. Secara normatif Islam mengajarkan damai. Kata "Islam" itu sendiri berarti damai, sejahtera, sentosa, dan selamat. Setiap ketemu, selalu dimulai dengan ucapan salam damai. Tidak sah salat bagi seorang muslim tanpa mengakhirinya dengan salam, sambil menolek ke kanan dan ke kiri. Artinya, tujuan akhir semua ibadah adalah menebarkan perdamian ke lingkungan sekitar. Selesai salat, umat dituntun membaca wirid damai yang artinya, "Ya Allah, Enkaulah Yang Maha Damai, daripada-Mulah perdamaian itu, dan kepada-Mu pula kembali kedamaian itu. Hidupkanlah kami dalam suasana damai, Ya si Pemilik Kekuasaan dan Kemuliaan dan masukanlah kami dalam surga-Mu, negeri salam yang penuh kedamaian." Inilah sebagian ajaran normatif Islam. Apakah umat bisa membuktikannya dalam realitas historis? Orang lain, non-muslim, hanya percaya pada realitas, dalam bahasa dakwah disebut dakwah bil hal, sebab mereka hanya melihat realitas historis bukan pada norma yang tersmpan dalam kitab suci. Itulah sebabnya, penulis mengajak "Sudah saatnya membuat orang lain terkagum-kagun pada komunitas muslim dengan akhlak al-karimah, bukan lagi dengan perilaku kasar." Hanya dengan mengubah maindset dengan lebih mengedepankan realitas historitas dalam bentuk akhlakul karimah, baru seorang muslim bisa meyakinkan orang lain atau para senator Canada tadi percaya  bahwa Islam adalah rahmat seluruh alam tanpa membedakan. Mungkin itu sebabnya, dalam kitab suci al-Quran tidak sempurna seorang muslim jika hanya beriman tetapi dia juga harus bisa membuktikan imannya itu dalam amal perbuatan salih. Dalam al-Quran setiap ada kata iman selalu diringi dengan amal salih. Ya ayyuha allazina amanu wa amilus as-salihat. Di tempat lain,  Abdul Halim Mahmud, mantan Grand Syekh al-Azhar, pernah berkata, "Problema utama umat abad ini, bukanlah masalah ilmu, tetapi problema umat sekarang bagaimana mengamalkan ilmu itu dalam realitas historis."

Wassalam,
Makassar. 16 Juni 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT SULAWESI SELATAN

SISTEM KEKERABATAN ORANG BUGIS, MAKASSAR, MANDAR DAN TORAJA

SEKILAS SEJARAH MASUKNYA KRISTEN DI ALOR