PERKOSA ISTRI, BERDOSAKAH?

Oleh: Dr. H.Muammar Bakry, MA.
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin


Berhubungan badan antara suami istri (jimak) adalah satu dari hikmah disyariatkannya pernikahan. Berbagai penelitian yang viral di beberapa medsos tentang manfaat berhubungan suami istri bagi kesehatan tubuh jika dilakukan secara sehat dan teratur, seperti membakar kalori, menjaga sistem kekebalan tubuh dan lain sebagainya. 

Tentu hasil penelitian seperti ini harus terus diuji keabsahannya dari masa ke masa atau dari kasus ke kasus. Sebab boleh jadi pengalaman antara satu dengan yang lainnya berbeda.  Namun hal yang pasti bahwa hubungan suami istri adalah satu dari sekian cara dalam mengakrabkan suami dengan istri untuk saling menikmati kebahagiaan hidup berumah tangga.

Hadis yang popular memerintahkan bagi yang sudah mampu (alba’ah) hendaknya segera menikah. Para ulama memaknai “Alba’ah” mampu secara materi dan nonmateri. Kemampuan nonmaterial ditandai salah satu di antaranya adalah memiliki gairah (syahwat) kepada lawan jenis. Hikmah pernikahan agar mengarahkan gairah itu dengan penyaluran yang benar dan halal,  maka Islam tidak pernah mengebiri atau memadamkan syahwat birahi dan melarang nikah. 

Potongan hadis “Aghadhu lil bashar wa ahshanu lil faraj” bahwa jimak (zawaj/nikah) dapat membendung mata dan menjaga faraj (kemaluan) seseorang, sangat relevan dengan lirik lagu Jeffry al-Buchari  (almarhum) “ hadirmu tempat berlindungku, dari kejahatan syahwatku, Tuhanku merestui itu, dijadikan engkau istriku, engkaulah bidadari surgaku”.

Dalam Islam, berhubungan suami istri dinilai sebagai ibadah yang tentu mendapat jaminan pahala.  Sekelompok sahabat pernah bertanya kepada Nabi Muhammad saw tentang adakah pahala bagi yang menjimak istrinya. Nabi menjawab dengan analogi terbalik dengan bekata, “apakah jika seseorang melakukannya pada bukan tempatnya (haram) dikenakan dosa baginya?”, maka demikian pula jika ia melakukannya pada yang halal akan mendapatkan pahala.  Hadis ini masyhur dalam sahih Muslim dikeluarkan oleh Annawawi. 

Hal yang menjadi bias gender dan terkesan merugikan perempuan adalah pemahaman secara patriarki dan sepihak pada hadis yang menguntungkan pihak laki laki, misalnya Hadis yang disepakati Buhkari dan Muslim sebagaimana riwayat Abu Huraerah bahwa “Apabila suami mengajak istrinya ke ranjang lalu ia menolak, kemudian suaminya marah kepadanya maka para malaikat akan melaknatnya sampai pagi hari”.  

Ketaatan seorang istri kepada suaminya sama dengan ketaatan anak kepada orang tuanya. Tiada ketaatan setelah Allah kepada makhluk selain ketaatan istri pada suaminya. Apabila istri taat pada suami maka ia bisa masuk surga melalui pintu apa saja. 

Ungkapan-ungkapan seperti ini terkadang dimanfaatkan oleh seorang suami untuk menekan istrinya tanpa peduli dengan hak-hak dan kenyamanannya. Egoisitasnya terkadang muncul dan melakukan pembenaran terhadap apa yang dilakukan.

Beberapa kasus rumah tangga yang sampai ke pengadilan misalnya istri mengajukan cerai karena tidak tahan dengan perlakuan suaminya seperti memaksakan berhubungan sekalipun haid, memaksakan berhubungan sekalipun puasa Ramadhan, memaksakan berhubungan sekalipun sakit dan perbuatan kasar lainnya.

Bertolak dari kasus kasus tersebut RUU KUHP pemerkosaan diperluas dan tidak ada batasan dalam rumah tangga seperti disebutkan  bahwa "Setiap orang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang bersetubuh dengannya dipidana karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun," demikian Pasal 480 ayat 1.   Masuk dalam definisi itu suami yang memaksa istrinya berhubungan badan. 

RUU KUHP di atas sebenarnya sejalan dengan Pasal 46 UU PKDRT berbunyi: Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun atau denda paling banyak Rp 36 juta.

Walhasil, Nabi Pernah bersabda, bahwa sebaik baik kalian adalah yang melakukan yang terbaik buat keluarganya (istrinya). Kebaikan yang dimaksud termasuk bagaimana memperlakukan istri secara manusiawi dalam hal berhubungan badan. Suami seharusnya mengetahui kondisi tertentu di mana istrinya mood untuk itu. Sebaliknya istri yang baik memahami kondisi suaminya dan melakukan yang terbaik agar suaminya tetap pada jalan yang benar. 

Karena itu berdosa atau tidaknya, dikembalikan pada pasangan suami istri. Alasan syari’i yang menentukan dosa tidaknya suatu tindakan. Dan terlepas dari alasan syarí, pengadilan yang memeiliki wewenang dalam menentukan ada tidaknya tindak pidana dalam rumah tangga  tersebut. Tapi, sebelum berlanjut ke pengadilan dalam kasus tindak pidana yang berakibat pada sanksi kurungan, akan lebih baik dipikirkan pintu perceraian jika tak lagi dapat harmonis. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT SULAWESI SELATAN

SISTEM KEKERABATAN ORANG BUGIS, MAKASSAR, MANDAR DAN TORAJA

SEKILAS SEJARAH MASUKNYA KRISTEN DI ALOR