KHAZANAH SEJARAH: PERBEDAAN DALAM MASALAH FURU'; SEBUAH KEMESTIAN

Oleh: Prof. Dr. H. Ahmad M. Sewang, M.A.

Salah satu buku karangan Syekh Yusuf al-Qardawy  yang berjudul

الصحوة الاسلامية
بين الاختلاف المشروع والتفرقة المذموم

Buku itu berisikan bahwa tidak mungkin umat ini bersatu dalam satu pandangan atau pendapat dalam masalah furu', sebab Allah sendiri mewahyukan ayat-ayat Alquran, bukan saja ayat yang bersifat qat'iyat (pasti) dan sarih (jelas), tetapi ada yang bersifat mutasyabih (samar), zanniyat (belum pasti), dan ada ayat muawwal (memerlukan penafsiran). Tiga kategori ayat terakhir setiap ulama mujtahid memungkinkan timbulnya perbedaan penadapat dalam memahaminya sesuai hasil ijtihadnya masing-masing. Itu sebabnya hal-hal yang bersifat ijtihadiyah, khusus dalam memahami tiga ayat terakhir di atas tidak boleh dipaksakan pada  orang lain. Dari sini para ulama berpandangan bahwa perbedaan pendapat  para ulama adalah rahmat. Karena tidak mungkin semua sama pendapatnya dalam masalah yang bersifar ijtihad, maka sebaiknya yang perlu dibangun saling menghargai dan menghormati atau bahkan bagaimana menjadikan perbedaan itu sebagai sebuah kekayaan atau surwatun.

Itu sebabnya pula dalam buku  itu dikatakan ada perbedaan yang disyariatkan tetapi juga diakui ada pula perbedaan yang tercela, yaitu perbedaan yang  bisa membawa pada saling membenci dan saling bertengkar satu sama lain. Belum lagi jika menyebabkan terjadinya perang, seperti yang sedang berlangsung di Timur Tengah. Sebab perang itu sendiri adalah sama dengan penghancuran sebuah peradaban kemanusiaan. Karena itu, saya menagajak agar kita mengubah maindset dengan berkata, "Walau kita beda pendapat dalam hal furu tetapi saya hormati hasil ijtihadmu, karena itu, jika ada orang yang menghalangimu mengelluarkan hasil ijtihadmu, maka sayalah orang nomor satu membelah kebebasanmu berijtihad. Perbedaan ijtihad di sini adalah perbedaan yang berangkat dari hati yang bersih dan berasaskan  ilmu. pengetahuan dan niat yang tulus." Dalam Islam perbedaan pendapat yang muncul dari hasil ijtihad tetap dapat pahala walau di belakang diketahui pendapat itu salah. Mendapat pahala sebagai penghargaan pada usahanya berpikir yang serius.

Sekitar tahun 1987, saya satu meja dengan almarhum Prof. Nurcholish Madjid pada sebuah ruangan di  FPs IAIN Jakarta, Saya manfaatkan pertemuan itu dengang bertanya, "Kenapa Bapak tidak memberi jawaban atas kritikan Ridwan Saidi di koran?" Beliau menjawab, "Saya tidak ingin menjawab karena menganngap kurang relevan dan jangan sampai menghambat target saya menyelesaikan sebuah buku. Saya memang berbeda kepribadian dengan Ridwan Saidi, tetapi saya sama sekali tidak berbeda secara pribadi. Tulisannya, saya sudah baca dan memahaminya. Saya juga sengaja tidak menjawabnya untuk memberi pesan agar orang tidak menganggapnya bahwa sayalah paling tahu yang bisa meningkat pada kesombongan intelektual. Pesan Nurcholish di atas selalu terngian dalam hati saya. untuk itu saya doakan almarhum, "Semoga, Engkau menikmati amal kebaikanmu yang bukan saja mengajarkan ilmu pengetahuan juga kerendahan hati". Demikian juga postingan saya. Banyak pertanyaan muncul, tetapi hanya sebagian bisa saya jawab dan sebagian saya diamkan, karena saya anggap kurang relevan. Belum lagi pesan komunikasi berbunyi bahwa diam bukan berarti tdak menjawab. Diam adalah sebuah jawaban. Lagi pula, sejak awal sudah saya perkenalkan bahwa yang saya tulis ini adalah bahasan sebuah buku, yang diperuntukkan untuk mubalig IMMIM karena sesuai dengan misinya agar mubalig selalu berusaha menjalin persatuan, terutama antara intern sesama umat.

Alhamdulillah  saya menerima banyak masukan untuk memperkaya tulisan ini, apalagi jika ada pro-kontra. Hanya saja, muncul pula kekhawatiran, jika belum membaca buku al-Qardawy yang saya maksud dan langsung menanggapinya. Seorang intelektual sejati seharusnya mengetahui dahulu baru menanggapinya. Tanpa itu, maka tanggapan padanya akan semborono. Tulisan ini, secara tidak langsung mengajak membaca buku itu lebih dahulu. Saya bersyukur karena walau pun belum pulih dari sakit saya bisa menulis satu jari. Ternyata berkah sakitlah membuat banyak waktu luang membaca. Jangankan membaca buku itu bahkan membahasnya lewat sebuah penelitian yang biayanya saya sudah ajukan ke Departeman Agama RI di Jakarta.

Al-Qardawy, seorang ulama-penulis dan ketua ulama sedunia,  beliau asal Mesir yang sekarang bermukim di Abu Dabi. Beliau ulama produktif, sudah banyak buku yang lahir dari tangannya yang piawai. Al-Qardawy berpendapat bahwa penyebab timbulnya perbedaan dalam masalah furu', yaitu:
1. Tabiat Manusia atau  طبيعة البشر
2. Tabiat Alam dan Kehidupan atau طبيعة الكون والحياة
3. Tabiat  Bahasa atau   طبيعة اللغة dan
4. Tabiat Agama atau طبيعة الدين

Keempat faktor di atas, penyebab terjadinya perbedaan. Bahkan, menurut beliau, barang siapa yang  bercita-cita ingin menyatukan pendapat dalam hal yang bersifat furu, maka istilah beliau لم يكن وقوعه tidak mungkin terjadi dalam realitas.
Insya Allah penyebab perbedaan ini akan ditulis secara bersambung. Saya pun bersiap menunggu masukkan yang relevan.

Perbedaan disebabkan kepribadian, bukan hanya berlangsung di masa kini tetapi sudah berlangsung sepanjang sejarah. Al-Qardawy menyebutnya sebagai tabiat manusia atau طبيعة البشر. Perbedaan kepribadian terjadi juga di periode Nabi saw., misalnya antara sahabat utama Nabi sendiri, antara Abubakar ra. dan Umar bin Khattab ra.  Menurut al-Qardawy, "Setiap orang punya kepribadian, pemikiran, dan tabiat tersendiri."

Perbedaan-perbedaan ini tampak, baik dalam penampilan lahiriahnya atau pun sikap mentalnya. Sebagaimana setiap orang berbeda bentuk wajahnya, tekanan suaranya, dan sidik jarinya, demikian pula pola pemikirannya, kecenderungannya dan pandangannya tehadap sesuatu. Di antara sahabat yang sering berbeda adalah Abdullah bin Umar yang lebih tekstual dibanding Ibn Abbas yang lebih kontekstual. Ibn Umar berpendapat bahwa menyentuh perempuan adalah membatalkan wuduk sedang Ibn Abbas sebaliknya. Demikian pula didapati perbedaan kepribadian antara Abubakar r.a. yang selalu memperlihatkan kelembutan dan kasih sayang (الرفق والرحمة ). Sedang Umar bin Khattab senantiasa memperlihatkan kekuatan dan ketegasan ( القوة والشدة). Hal ini tercermin ketika keduanya dipanggil Nabi dan dimintai pendapat tentang tawanan perang. Abubakar memberi saran, "

فقال أبوبكر: يارسول الله هم قومك واهلك.......

Abubakar berkata, “Ya Rasulullah, mereka adalah kaummu dan keluargamu”.....
Sebaliknya, ketika Umar dimintai saran, ia menjawab:

وقال عمر: يا رسول الله هم كذبوك واخرجوك،

Umar memberi saran: “Ya Rasulullah, mereka telah mendustakan dan mengusirmu," maka seretlah ke depan dan penggallah leher mereka.

Menurut Abdullah yang meriwayatkan hadis tersebut mengatakan, Rasulullah saw. diam dan tidak menjawab dan masuk ke dalam kemah, kemudian beliau keluar kembali sambil berkata “Wahai Abubakar, engkau seperti Nabi Isa as. sepeti diabadikan dalam al-Quran. Nabi Isa berkata,

إِن تُعَذِّبۡهُمۡ فَإِنَّهُمۡ عِبَادُكَۖ وَإِن تَغۡفِرۡ لَهُمۡ فَإِنَّكَ أَنتَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡحَكِيمُ

Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. al- Ma'idah: 118.
Sebaliknya, ia menolek kepada Umar dan berkata, ”Sesungguhnya engkau wahai Umar tak ubahnya seperti Musa as. sambil membacakan ayat al-Quran,

وقال موسى .... ربنا اطمس على أموالهم واشدد على قلوبهم فلا يؤمنوا حتى يروا العذاب الأليم

Artinya:
Musa berkata: ".........Ya Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih" (Yunus: 88).

Di sini, lagi-lagi Nabi menampakan kearifan menyelesaikan dua pendapat yang kontradiktif, tampak mempersalahkan, apalagi menyesatkan satu di antara mereka. Disebabkan Nabi sangat paham kepribadian masing-masing sahabat-sahabatnya. Beda dengan sebagian kita, beda sedikit langsung dicap salah atau sesat. Al-Qardawy menjelaskan lebih jauh bahwa tabiat manusia tidaklah sama, maka sikapnya pun berlainan, sekalipun dua saudara kandung. Di antara contohnya yang paling menonjol di kalangan para Nabi adalah Musa dan Harum a.s. dan dari kalangan sahabat adalah Hasan dan Husein. Selanjutnya Nabi begitu arif menyikapinya.  (bersambung)

Makassar, 20 September 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT SULAWESI SELATAN

SISTEM KEKERABATAN ORANG BUGIS, MAKASSAR, MANDAR DAN TORAJA

SEKILAS SEJARAH MASUKNYA KRISTEN DI ALOR