Peranan Syara' dalam Pendidikan di Sulawesi Selatan

Oleh: Badruzzaman

Mengenai perkembagan pendidikan di Sulawesi Selatan tidak banyak diketahui. Peran parewa syara’ dalam dunia pendidikan di Sulawesi Selatan tanpak belum terungkap sepenuhnya. Hanya satu data yang berhasil ditemukan mengenai hal itu. Bahwa pada tahun 1636, Sayyid Ba’lawi mendirikan pengajian di Bontoala atas persetujuan Raja Gowa. Selain itu Assayid Jalaluddin AlAidid mendirikan juga pendidikan di Cikoang. Pendidikan yang lain berkembang adalah pengajaran-pengajaran Alquran oleh seseorang parewa syara’ di rumahnya. Para orang tua membawa anak-anaknya ke rumah seorang parewa syara untuk diajarkan Alquran. Awalnya mereka diajarkan untuk mengenal huruf-hruf hijaiyyah, membaca juz Amma kemudian membaca Juz pertama sampai jus ke 30. Setelah mereka berhasil menamatkan bacaannya masing-masing orang tua mengantarkan hadiah berupa beras, kelapa, kain-kain kepada parewa syara’. Dan biasanya diadakan upacara penamatan Alquran.
Sejak masuknya Belanda terutama setelah ditandatanginnya pernjanjian Bongaya, pada tahun 1667, maka pendidikan Islam mendapat tekanan, terutama di Kerajaan Gowa dan sekitarnya. Hal ini tidak terlalu dirasakan di daerah Bugis, mengingat pada waktu itu Arung Palakka kemudian diangkat menjadi Raja Bone bekerja sama dengan Belanda sehingga pengawasannya tidak terlalu ketat.
Perkembangan pendidikan Islam lebih nampak pada awal abad ke 20. terutama setelah gerakan Wahabi d Mekkah. Keadaan ini menyebabkan banyak ulama yang meninggalkan mekkah dan Madinah, dan sebagian tiba di Sulawesi Selatan. Diantaranya Syekh Hasan Al Yamani ayah kandung DR Zaqi Yamani menteri perminyakan Saudi, dan Syekh Umar Al Yamani. Keduanya mengajar di Pare-pare, Pinrang, dan Mandar. Syekh Muhammad Al Haddad mengajar di Pinrang dan Mandar. Syekh Muhammad Al Yafii mengajar di Wajo, Syekh Muhammad Al Jawad Al Madany mengajar di Bone, Syekh Abdurrahman Firdaus mengajar di Pare-Pare dan Pinrang, dan Syekh Sayyid Ali bin Abdurrahman bin Shihab mengajar di Rappang.
K.H. Muhammad As’ad kemudian dikenal dengan Anregurutta Haji Sade (penghulu syara’ di Wajo) adalah seorang ulama Sulawesi Selatan asal dari Wajo lahir di Mekkah pada tahun 1907 M. Beliau kembali ke Indonesia setelah gerakan Wahabi di Mekkah. Mula-mula ia mendirikan pesantren di Wajo, dan melancarkan dakwah islamiyah untuk menghilangkan khurfat yang berkembang di kalangan masyarakat. Pada tahun 1930 pesantren dikembangkan dengan didirikannya Madrasah Arabiyyatul Islam (MAI) dalam pesantren itu mulai dikembangkan sistem klasikal.
Pembaharuan pendidikan Islam di Sulawesi Selatan dipelopori oleh K.H.Muhamaad A’sad dan K.H. Abdullah Dahlan. Keduanya mempunyai latar belakang pendidikan yang sama, yakin sama-sama menperoleh pendidikan di Mekkah dan kembali ke Indonesia mendapat pengaruh aliran pendidikan modern di Mekkah yaitu Pendidikan Darul Falah dan Darul Ulum. Makassar dan Wajo sebagai pusat penyebaran pembaharuan pendidikan. Didirikanlah pendidikan Muhammadiyah yang diasuh oleh K.H. Abdullah Dahlan di Makassar.
Sementara itu pada masa yang sama (tahun 1930-an), berkembang pula pendidikan pesantren tradisional. Pesantren tradisional didirikan oleh H.Muhammah Tahir Imam Lapeo di Mandar, Kali H.M.Ramli di Palopo, H.Husain bi Umar di Bone, H. Katu di Soppeng dan H. Muhammad Thahir di Sinjai. Pesantren-pesantren tersebut kini sudah tidak ada sejak tahun 1950-an, antara lain disebabkan ulama pembinanya sudah meninggal dan tidak ada lagi yang melanjutkan. Sedangkan kader-kadernya mayoritas terserap oleh Departemen Agama menjadi pegawai atau menjadi guru di sekolah umum.
Keadaan pendidikan sesudah tahun 1950-an, sebagian ulama yang masih tetap bertahan, seperti pendidikan yang diasuh oleh K.H. Muhammd As’ad. Dan dirubah namanya menjadi Perguruan As’adiyah. Setelah K.H.As’ad wafat kemudian dilanjutkan muridnya K.H. Yunus Mataran. Perguruan ini berkembang dan membuka cabang hampir semua daerah Sulawesi Selatan, bahkan ada cabangnya di luar Sulawesi Selatan.
Selain itu, terdapat pula perguruan Islam yang didirkan di Soppeng Riaja (Kabupaten Barru) pada 14 Pebruari 1974. Penguruan itu adalah Darul Dakwah wal Irsyad (DDI). Perguruan ini pun memiliki cabang-cabang di Sulawesi Selatan.
Pada tahun 1970-an ada kecenderungan baru dalam dunia pendidikan Islam yang memiliki nama pesantren modern. Seperti Pesantren Modern IMMIM, Pesantren Modern Muhammadiyah Gombara, Pesantren Modern Falah Enrekang dan Pesantren Al Qamar di Takalar.
Selain itu dalam diktum Maklumat Bersama Menteri dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 3/1947 tugas dan fungsi syara’. Diktum tersebut mempertegas kewajiban para pemimpin/pengurus/pelayan kepentingan keagamaan masyarakat (umat) Islam yang telah berlangsung lama (sejak zaman kerajaan dan penjajahan) serta menambahkan beberapa kegiatan lain yang terkait dengan tugas-tugas pemerintahan masa kemerdekaan. Dalam konsideran maklumat bersama tersebut antara lain dinyatakan: “...... agar supaya pemerintahan desa (kelurahan) makin lama makin sempurna serta ada pembagian kerja antara anggota-anggota pamong desa (perabot desa) yang tertentu dan agar agama penduduk terpelihara dengan baik, dengan ini dipermaklumkan.....“. dalam konsideran ini, terlihat jelas pengakuan terhadap status (formal) para pemimpin/pengurus kepentingan urusan umat Islam (yang dalam Maklumat Bersama disebut “kaum“) sebagai anggota pamong desa. Maklumat ini dikeluarkan untuk memperjelas batas-batas bidang tugas mereka yang bertujuan agar agama penduduk terpelihara dengan baik.
Dinyatakan dalam diktum Maklumat Bersama bahwa kewajiban para kaum, kecuali membantu perkejaan-pekerjaan yang harus diselenggarakan oleh pamong desa seluruhnya, mengurus hal-hal yang bersangkutan paut dengan agama sebagai berikut :
a. mengurusi mayat,
b. menyembelih hewan ternak,
c. mengawasi pemeliharaan pekuburan,
d. turut campur dalam hal penyelenggaraan zakat penduduk serta turut mengawasi pembagian zakat itu,
e. mengunjungi sedekah-sedekahan apabila permintaan serta pembacaan doa seperlunya,
f. membantu pegawai pencatat nikah dengan memeriksa mereka yang akan menikah, menalak atau ditalak, merujuk atau dirujuk atas petunjuk-petunjuk dari pegawai pencatat nikah serta memberi keterangan-keterangan yang benar tentang hal-hal yang diperlukan oleh pegawai pencatat nikah tersebut,
g. memberi pertimbangan apabila diminta tentang pembagian malwaris (harta warisan), jika pembagian malwaris itu akan dilangsungkan dengan suka rela menurut ajaran agama,
h. mendidik penduduk supaya berbudi yang baik menjauhkan budi jelek menurut agama,
i. turut mengawasi pemeliharaan mesjid dan/atau langgar apabila di desanya ada mesjid dan/atau langgar,
j. memberi contoh pada penduduk dalam hal menjalankan kewajiban-kewajiban agama,
k. mengamati pendidikan agama agar tidak ada hal-hal yang dipelajarkan yang dapat menimbulkan panatisme serta membimbing rakyat ke arah masyarakat yang tasamuh, harga menghargai,
l. menghibur mereka diantara penduduk yang menderita kesengsaraan batin serta memperteguh imannya,
m. para kaum harus diperlakukan serta dihargai sebagai anggota pamong desa (perabot desa),
n. berhubungan dengan pekerjaan-pekerjaan kaum yang terbanyak mengenai urusan agama maka apabila ada lowongan kaum yang diadakan pemilihan-pemilihan calon-calon kaum sekurang-kurangnya 2 orang, sebanyak-banyaknya 4 orang untuk diuji tentang pengetahuan agama; penduduk dari luar desa (kelurahan) tidak dapat dijaukan sebagai calon kaum.
Memperhatikan hal-hal yang dinyatakan sebagai “kewajiban para kaum“ dalam dalam Maklumat Bersama tersebut, ternyata dua hal yang disebut terakhir (m dan n) bukan merupakan kewajiban, tetapi adalah hak-hak mereka yang perlu dan bahkan diperhatikan, baik oleh pejabat yang terkait maupun oleh masyarakat (umat) Islam.
Pertama menyangkut pengakuan akan fungsi dan peranan kaum dalam posisinya selaku anggota pamong desa dan karenanya mereka perlu “dihargai“. Dengan penghargaan di sini dimaksudkan tidak sekadar dalam bentuk “penghargaan sosial“ sebagaimana layaknya penghargaan yang diberikan kepada anggota pamong desa selaku unsur pemimpin masyarakat dalam desanya, tetapi juga meliputi penghargaan yang bersifat “jaminan sosial ekonomi“.
Dalam Maklumat Bersama tersebut, tidak disebutkan secara rinci bentuk-bentuk konkrit “penghargaan“ yang dimaksud, baik “penghargaan sosial“ maupun “penghargaan sosial ekonomi“. Semua itu merupakan hal-hal yang telah dimaklumi adanya dan telah diberlakukan masyarakat pedesaan secara turun-temurun sejak keberadaan jabatan kaum dalam kepemimpinan masyarakat (umat Islam) di Indonesia. Jabatan kaum dalam Maklumat Bersama tersebut sama dengan jabatan iman dalam institusi syara' di Sulawesi Selatan.
Dalam institusi syara' wujud kongkrit dari penghargaan terhadap fungsi dan peranan syara’ telah digariskan secara jelas sejak awal proses islamisasi di Sulawesi Selatan dan selalu disempurnakan sesuai perkembangan. Penghargaan dalam arti “jaminan sosial ekonomi“ bagi para pejabat syara', telah dikonvensikan secara turun-temurun bahwa setiap pejabat syara' berhak memperoleh jaminan hidup berupa:
- jaminan tetap oleh pemerintahan (dulu: pemerintahan kerajaan) berupa tana akkinanreng (bahasa Bugis, artinya sama dengan tanah bengkok) yang diberikan untuk dimanfaatkan selama menjabat syara',
- sumbangan tetap dari masyarakat (umat Islam) berupa lise’ kawing/cappa’ sompa (bahasa Bugis, artinya sumbangan tetap yang ditambahkan pada jumlah pehitungan (uang) mahar dari pansangan pengantin yang dinikahkan oleh pejabat syara' bersangkutan. Tambahan itu berjumlah seperempat dari jumah (uang) mahar yang diucapkan dalam ijab kabul,
- pendapatan (yang telah ditentukan menurut syariat Islam) dalam tugas syara' selaku amil atau pengurus (penerima dan penyalur) zakat, baik zakat fitrah maupun zakat harta,
- sumbangan insidentil dari masyarakat (umat Islam) yang diladeni kepentingannya oleh pejabat syara' sesuai dengan bidang tugas syara’.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT SULAWESI SELATAN

SISTEM KEKERABATAN ORANG BUGIS, MAKASSAR, MANDAR DAN TORAJA

SEKILAS SEJARAH MASUKNYA KRISTEN DI ALOR