FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DI ALOR

Oleh
Badruzzzaman


Beberapa faktor pendukung pemeliharaan kerukunan umat beragama di Kabupaten Alor adalah sebagai berikut:
Pranata Budaya. Masyarakat Alor memilki suatu pranata budaya yang berkembang sejak dahulu. Pranata budaya itu disebut “Bela” . Bela adalah pernjanjian persuadaraan antara penganut agama Islam dan Kristen untuk hidup tidak mencela, membenci memarahi, dan menyakiti. Menurut Prederik Pulinggomang, bahwa budaya ini telah ditanamkan para leluhur sejak dahulu. Jika terdapat suatu kasus perselisihan dalam masyarakat maka salah seorang dari yang berselisih tersebut mengakatan “ kita Bela”, maka perselisihan tersebut sudah behenti saat itu juga, dan tidak ada lagi dendam satu sama lain.
Selain Bela terdapat pula persepakatan persaudaraan antara beberapa suku besar di se Kabupaten Alor. Persepakatan persaudaraan itu disebut dengan ‘Tiga Tujuh Sepuluh”, maksdunya ada tiga suku besar di Pulau Pantar, tujuh suku besar sepanjang pesisir pantai pulau Alor dan sepulu suku besar di pegunungan pulau Alor mengikat perjanjian persudaraan.

Kekerabatan keluarga. Ada suatu keadaan yang berkembang di Alor sejak dahulu yang sangat mendukung kerukunan umat beragama, yaitu kekerabatan keluarga. Mayoritas penduduk Alor memiliki kekerabatan keluaga dari barbagai agama. Dalam suatu kekerabatan keluarga anggota keluarga terdiri dari berbagai agama. Menurut Pendeta Polinggolamang, bahwa dirinya memiliki keluarga yang menganut agama Islam sebab dahulu ibunya menganut agama Islam sebelum kawim dengan ayahnya. Dalam suatu perkawinan keluaganya yang muslim ia sering dipanggil membawakan sepatah kata dari keluarga sebagai orang yang dituakan. Agustinus Asamal, pengawas Penda Katolik pun menyatakan demikian, bahwa di rumahnya terdiri dari berbagai agama. Ia kawin dengan seorang yang menganut agama Kristern Protestan, karena itu semua keluarganya menganut agama itu sedangkan ia bersama isterinya menganut agama Kristen Katolik. Masyarakat kebanyakan pun mengalami hal yang sama. Subyekifitas agama masyarakat terkalahkan olek keeratan kekerabatan keluarga. Karena itu menurut Simon Fina, Kepala Kandep Agama Alor, bahwa sangat sukar untuk muncul konflik antar agama di Alor. Kalau ada seorang profokator yang akan memicu konflik itu maka dari berbagai kelurga baik Kristen maupun Islam akan mengantintsivasi itu.
Ikatan kekeluragaan tersebut diatas dijalin oleh ikatan perkawinan. Karena itu peralihan agama akibat perkawinan sering terjadi di Kabupaten Alor sejak dahulu sampai saat ini. Kalau ada seorang yang akan kawin dengan seorang yang menganut agama lain maka salah satu diantaranya akan beralih agama terdahulu sebelum perkawinan di langsungkan. Peralihan agama karena perkawinan di masyarakat Alor sudah suatu yang lumrah terjadi. Karena itu mereka merupakan rumpun keluraga yang besar dari berbagai agama dan etnik.
Kebiasaan masyarakat dalam kondisi heterogenitas agama. Kebiasaan ini terjadi di segala aspek kehidupan baik di aspek sosial, ekonomi, pemerintahan. Dalam kegiatan-kegiatan sosial di masyarakat keterlibatan dari berbagai jenis agama sering terjadi. Demikian halnya dalam transksi-transakti jual beli di pusat pertokoan dan pasar. Aktifitas ekonomi setiap hari dilakoni oleh berbagai penduduk yang berbeda agama. Hal yang sama dalam pemerintahan, di kantor mereka setiap hari bergaul dan bekerjasama dengan para sejawat yang saling berbeda agama.


FAKTOR PENGHAMBAT


Beberapa faktor yang dapat menghambat kerukunan umat beragama adalah antara lain:
Fluralitas Masyarakat Alor. Masyarakat Alor bukan saja heterogen dari segi agama akan tatapi juga suku, dan status sosial. Masyarakat Alor disamping terdiri dari berbagai jenis agama yaitu Kristen Protestn, Islam, Katolik dan Budha juga terdiri dari berbagai suku, baik suku yang merupakan penduduk asli Kabupaten Alor maupun dari luar. Beberapa suku besar di Alor antara lain tiga suku di Pulau Pantar, tujuh suku di pesisir pantai Pulau Alor dan sepuluh suku di pengunungan. Beberapa suku yang lain yang berasal dari luar, antara lain Suku Makassar, Bugis, Ternate, Jawa, Bali, Manado, dan lain-lain. Keadaan pluralitas ini membuka kemungkinan munculnya pembetukan komunitas-komunitas yang mendukung terjadikan konflik komunal. Bila terdapat seseorang yang tidak bertanggung jawab yang akan merusak keutuhan persaudaraan yang telah terbina sejak dahulu ini, maka dapat saja dimasuki melalui cela pluralitas ini. Karena itu kondisi pluralitas masayarakat Alor itu perlu diikuti dengan peningkatan dan pembinaan pemahaman yang pluralis terus menerus, seperti yang selama ini telah terbina dan terbangun di masyarakat Alor.
Peralihan agama karena perkawinan. Kasus peralihan agama yang sering terjadi di kabupaten Alor adalah peralihan agama dari agama Kristern Potestan dan Katolik ke Agama Islam. Menurut Abdul Wahid Ketua Yayasan Al Ikhlas, sebuah yayasan yang membina dan memberikan memebrikan pelayanan sosial dan kelegalitasan peralihan agama ke Islam, menyatakan bahwa, memang selama ini belum ada kasus yang konflik antar keluarga disebabkan oleh peralihan agama. Namun gejolak semacam ketidakrelaan beberapa keluarga dari orang yang beralih agama ada. Beberapa orang keluarga yang telah mendatanginya dan menanyakan hal itu. Akan tetapi Abdul Wahid memberikan penjelasan bahwa keyakinan agama itu merupakan hak inidividu. Ini dalam UUD Dasar 194 dan peraturan-peraturan lainnya. Jadi ia memperlihatkan aturan tersebut kepada mereka. Selain itu ia pula mengurusi surat pengesahan kepenganutan suatu agama di Pengadilan Negeri dengan melampirkan pernyataan peralihan agama dari bersangkutan. Lampiran keputusan dan pernyataan itu di sampaikan kepada Kantor Catatan Sipil, Pemda dan Kantor Dep. Agama Alor. Gejolak-gejolak semacam di atas dapat saja sewaktu-waktu terangkat menjadi kasus konflik laten. Yang pada akhirnya dapat dimanifestasikan melalui konflik nyata.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT SULAWESI SELATAN

SISTEM KEKERABATAN ORANG BUGIS, MAKASSAR, MANDAR DAN TORAJA

SEKILAS SEJARAH MASUKNYA KRISTEN DI ALOR