IMPLEMENTASI KURIKULUM MUATAN LOKAL PADA PENIDIKAN AGAMA DAN KEAGAMAAN


Oleh : Badruzzaman
Penelitian kualitatif yang dilakukan di enam kota/kabupaten pada empat provinsi – Kota Gorontalo, Samarinda, Mamuju, Polman, Pare-Pare dan Bantaeng -- dalam wilayah kerja Balai Litbang Agama Makassar, bertujuan untuk mengetahui/ mengidentifikasi muatan unsur-unsur lokal dalam kurikulum yang diajarkan di lembaga pendidikan agama dan keagamaan dan respon masyarakat terhadap unsur-unsur lokal tersebut dengan sasaran Madrasah Aliyah dan Pondok Pesantren Modern (PPM).
Pengkajian mengenai pendidikan formal, terutama yang terkait dengan proses belajar mengajar, tidak bisa dipisahkan dari persoalan kurikulum, karena kurikulum menjadi semacam barometer tersendiri terhadap keberhasilan proses pengajaran pada lembaga pendidikan formal. KTSP adalah kurikulum yang dikembangakan di pendidikan dasar dan menengah. Salah satu komponen dalam sturuktur kurikulum tersebut adalah muatan lokal. Muatan lokal adalah program pendidikan yang isi dan media penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan alam, lingkungan sosial, serta kebutuhan daerah dan wajib dipelajari oleh peserta didik di daerah itu. Secara umum tujuan pelaksanaan kurikulum muatan lokal adalah agar pengembangan SDM yang berkepribadian kuat yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan daerah, sekaligus untuk mencegah terjadinya depopulasi daerah tersebut dari tenaga produktif.
Aspek muatan lokal menjadi penting ditelusuri karena disamping secara eksplisit disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 pada pasal 37 ayat 1, juga PP Standar Nasional Pendidikan No. 19 Tahun 2005 tentang Struktur Kurikulum. Selain itu, pada beberapa hasil penelitian Balai Litbang Agama Makassar, antara lain penelitian tentang pelakasanaan MGMP di Madrasah Aliyah, penelitian tentang muatan lingkungan hidup dalam kurikulum madrasah dan pesantren ditemukan, bahwa ketermuatan unsur-unsur lokal dalam kurikulum lembaga pendidikan yang ditelusuri, apalagi yang spesifik kedaerahan, belum terakomodasi secara memadai. Padahal unsur-unsur lokal dalam Sisdiknas, adalah merupakan penyanggah bahkan pemacu tercapainya tujuan pendidikan baik secara instruksional, institisional maupun nasional.
Penelitian ini menemukan, bahwa :
1. Substansi yang dijadikan sebagai komponen muatan lokal pada lembaga pendidikan agama dan keagamaan tampak beragam dan bervariasi jumlahnya. Keragaman tersebut dapat dilihat pada mata pelajaran yang dijadikan sebagai muatan lokal. Pada lembaga pendidikan agama (madrasah) mata pelajaran muatan lokal lebih bernuansa pengembangan skiil, nilai agama dan agrobisnis -- seperti mata pelajaran Tata Boga, Menjahit, Perbengkelan, Baca Tulis Alquran, dan Pertanian/Budidaya Tanaman. Sedangkan pada lembaga pendidikan keagamaan mata pelajaran muatan lokalnya lebih bernuansa skill, budaya dan teknologi. Mata pelajaran dimaksud adalah Tata Boga, Tata Busana, Bahasa Arab/Inggeris, Kaligrafi, Komputer dan Jaringan Internet.
2. Respon masyarakat terhadap mata pelajaran muatan lokal yang dikembangkan pada lembaga pendidikan agama dan keagamaan beragam. Pada lembaga pendidikan agama, respon masyarakat tampak positif, antara lain : kesesuaian dengan kebutuhan masyarakat terhadap pendidikan, potensi dan budaya daerah, dan perkembangan perkonomian. Respon serupa terhadap mata pelajaran muatan lokal pada lembanga pendidikan keagamaan. Mata pelajaran muatan lokal yang dikembangkan di PPM sudah mengakomodasi ragam kebutuhan masyarakat terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tuntutan perekonomian. Selain itu, respon yang lain adalah substansi muatan lokal -- budaya dan potensi-petensi lokal -- sepatutnya diseimbangkan dengan muatan-muatan pengembangan ilmu pengetahuan di masa akan datang; mata pelajaran muatan lokal yang diajarkan di PPM merupakan mata pelajaran inti/dan ciri khas pesantren, tidak bersubstansi muatan lokal. Kondisi tersebut disebabkan karena perkembangan PPM yang memadukan dua jenis kuriklum -- kurikulum diknas dan depag -- menyebabkannya meninggalkan sistem pembelajaran tradisional. Sehingga mata pelajaran tradisional itu yang merupakan mata pelajaran substantif dan inhern dengan pondok persantren dijadikan sebagai muatan lokal dewasa ini.

Dari kesimpulan tersebut diatas maka direkomendasikan sebagai berikut:
a. Lembaga Pendidikan Agama dan Keagamaan beragam memahami konsep “muatan lokal”. Keragaman tersebut tampak pada mata pelajaran yang digolongkan sebagai muatan lokal. Karena itu diperlukan sebuah kajian pengembangan untuk mengidentifikasi aspek-aspek yang dapat digolongkan sebagai mata pelajaran muatan lokal. Kajian pengembangan itu dapat berupa diskusi, lokakarya, workshop dan semacamnya dalam rangka menyusun sebuah draf mengenai mata pelajaran muatan lokal yang nantinya dapat dijadikan sebagai sebuah regulasi untuk dipedomani pada penyusunan mata pelajaran muatan lokal di setiap satuan pendidikan, termasuk lembanga pendidikan agama dan pendidikan keagamaan.
b. Animo lembaga pendidikan agama dalam mengakomodir aspek-aspek lokal dalam sistem pembelajaran perlu mendapat respon dari pemerintah. Respon tersebut dapat berupa keterlibatan pemerintah dalam memberikan dukungan penyediaan ketenagaan, pendanaan, dan pembinaan yang intensif oleh bidang-bidang yang terkait.
c. Perkembangan PPM tampak meninggalkan sistem pembelajaran tradisional sebagai ciri khas dan inhern dengan pondok pesantren, seperti kemampuan membaca kitab-kitab klasik yang bertulis aksara Arab dan tidak berharakat (kitab kuning/kitab gundul), berbahasa Arab dan Inggeris secara fasih, dan semangat kewirausahaan. Kenyataan ini perlu direponi secara ilmiyah. Pengkajian lebih lanjut perlu dilakukan dalam upaya merefitalisasi keunggulan-keunggulan pondok pesantren. Pengkajian itu dapat berupa kegiatan riset dalam upaya memahami secara mendalam kondisi real sistem pembelajaran pada pondok-pondok PPM lalu kemudian diikuti dengan kajian pengembangan. Sedangkan kajian pengembangan dapat berupa “kaji tindak” dalam upaya menyusun kembali format ciri khas pondok pesantren dan kemungkinan-kemungkinan pengembangan pondok pesantren untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan kebutuhan pendidikan masyarakat. Hasil kajian pengembangan ini nantinya dapat dijadikan sebagai regulasi atau pedoman pendirian sebuah pondok pesantren, baik salafiyah maupun khalafiyah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT SULAWESI SELATAN

SISTEM KEKERABATAN ORANG BUGIS, MAKASSAR, MANDAR DAN TORAJA

SEKILAS SEJARAH MASUKNYA KRISTEN DI ALOR